Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski bukan penduduk Indonesia tulen, ke mana-mana Ernest François Eugène Douwes Dekker selalu mengaku sebagai orang Jawa. Kecintaannya kepada Hindia memang luar biasa. Ia mendedikasikan seluruh hidupnya demi kemerdekaan Indonesia.
8 Oktober 1879
Lahir di Pasuruan, Jawa Timur. Ernest Douwes Dekker, yang biasa dipanggil DD, menempuh pendidikan dasar di Batavia, dilanjutkan ke Hogere Burger School di Surabaya dan Batavia.
1987
Bekerja di perkebunan Soember Doeren di lereng Gunung Semeru. Kemudian bekerja di Pabrik Gula Padjarakan, dekat Kraksaan, Probolinggo. Di dua tempat itu, ia berkonflik dengan atasan demi membela nasib buruh.
1899
Ikut Perang Boer di Afrika Selatan melawan Inggris.
1902
Ditawan di sel Pretoria, Afrika Selatan, lalu dipindahkan ke Kolombo, Sri Lanka. Setahun kemudian, ia kembali ke Hindia-Belanda.
1904
Menikah dengan Clara Charlotte Deije. Dikaruniai lima anak, mereka bercerai pada 1919.
1907
Bekerja sebagai reporter koran De Locomotief, Semarang, lalu pindah ke Soerabaia Handelsblad. Di tahun yang sama, Douwes Dekker juga aktif di Insulinde.
3-5 Oktober 1908
Boedi Oetomo berdiri di Batavia. Rumah Douwes Dekker di Kramat kerap menjadi tempat pertemuan para pemuda pelajar STOVIA.
20 Mei 1908
Hadir dalam kongres pertama Boedi Oetomo. Douwes Dekker menyarankan pentingnya perhimpunan memiliki media massa.
1909
Menjadi Pemimpin Redaksi Bataviaasch Nieuwsblad. Di tahun yang sama, ia pergi ke Belanda dan berkeliling Eropa, bertemu dengan tokoh pergerakan.
1910
Menerbitkan majalah Het Tijdschrift di Bandung.
1 Maret 1912
Menerbitkan De Expres. Ia menjadi pemimpin redaksi dan Tjipto Mangoenkoesoemo duduk sebagai wakil.
6 September 1912
Douwes Dekker membentuk Indische Partij bersama para tokoh Insulinde. Salah satu tujuan partai: memperjuangkan kemerdekaan Hindia.
15 September-3 Oktober 1912
Douwes Dekker berpropaganda ke Bandung, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Yogyakarta, Semarang, Madiun, dan Surabaya. Indische Partij membuka 30 cabang dengan jumlah anggota 7.300 orang.
25 Desember 1912
Anggaran Dasar Indische Partij disahkan. Tjipto Mangoenkoesoemo ditetapkan sebagai Wakil Ketua Indische Partij.
21-23 Maret 1913
Kongres Indische Partij—yang pelaksanaannya menggunakan nama Insulinde—pertama kali digelar di Semarang, dihadiri 1.000 orang.
31 Maret 1913
Indische Partij dibubarkan. Semua anggota beralih ke Insulinde.
1913
Tjipto, Soewardi Soerjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Komite Bumiputera. Suwardi membuat tulisan berjudul "Andai Aku Seorang Belanda", yang mengkritik kolonialisme Belanda.
21 Juli 1913
Tokoh Bumiputera dipenjarakan pemerintah Hindia-Belanda. Douwes Dekker, yang mendukung tokoh Bumiputera, ikut ditahan.
6 September 1913
Douwes Dekker, Tjipto, dan Soewardi dibuang ke Belanda. Selain menjalankan aksi politik, mereka melanjutkan studi. Soewardi memilih sekolah guru. Tjipto kuliah kedokteran. Douwes Dekker memilih jurusan ekonomi politik di Zurich, Swiss.
1915
Dari Zurich, Douwes Dekker berhubungan dengan tokoh perjuangan yang melawan kolonialisme Inggris. Ia ditangkap di Hong Kong dan dijatuhi hukuman mati.
1917
Sempat menjalani hukuman penjara di beberapa negara. Hukuman mati dibatalkan oleh Komandan Tertinggi Inggris di Singapura, Jenderal Ridout.
1918
Kembali ke Tanah Air. Bersama Tjipto dan Soewardi, Douwes Dekker aktif di Insulinde Semarang dan berusaha mengubahnya menjadi Nationaal Indische Partij.
1919
Belanda menahan Douwes Dekker karena ia dianggap memprovokasi gerakan buruh di perkebunan Polanharjo, Klaten.
1922
Nationaal Indische Partij dilarang Belanda. Douwes Dekker meninggalkan Semarang, lalu menetap di Sukabumi.
September 1922
Douwes Dekker menjadi guru di sekolah Nyonya Meyer di Kebon Kelapa, Bandung. Satu tahun kemudian, ia mendirikan Ksatrian Instituut.
22 September 1926
Menikah dengan Johanna Petronella Mossel. Pernikahan ini berakhir saat ia dibuang ke Suriname.
1936 - 1940
Buku-buku di Ksatrian Instituut disita dan dibakar oleh Pemerintah Kolonial. Setelah dilarang mengajar, Douwes Dekker bekerja di kamar dagang Jepang di Jakarta.
Mei 1941
Ditangkap dengan tuduhan menjadi kaki tangan Jepang. Dia ditahan di Jakarta, kemudian dibawa ke Ngawi, Magelang, dan Madiun. Selama di penjara mengalami gangguan penglihatan.
1942
Bersama tahanan lain, ia dibawa ke penjara Fort Nieuw Amsterdam, Suriname. Kemudian dipindahkan ke penjara Fort Zeelandia, Jodensavanne, dan berakhir di Paramaribo.
8 Maret 1942
Tjipto meninggal pada usia 57 tahun.
19 Juli 1946
Douwes Dekker dibawa ke Amsterdam dengan menggunakan kapal S.S. Boissevain.
6 Desember 1946
Melarikan diri ke Tanah Air dengan menggunakan dokumen Jopie Radjiman. Perawatnya, Nelly Alberta Kruymel, diajak serta.
4 Januari 1947
Berkunjung ke Istana Negara Yogyakarta menemui Presiden Sukarno dan para tokoh lain. Ia mengubah namanya menjadi Danudirja Setiabudi. Pemerintah memberinya berbagai jabatan, di antaranya menteri negara dan anggota Dewan Pertimbangan Agung.
8 Maret 1947
Menikah dengan Nelly, yang berganti nama menjadi Harumi Wanasita, di Yogyakarta.
21 Desember 1948
Belanda menciduk Douwes Dekker dalam Aksi Polisionil atau operasi militer untuk merebut kekuasaan Republik Indonesia.
1949
Ia dibebaskan, kemudian menetap di Bandung.
28 Agustus 1950
Douwes Dekker meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo