Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Berakhir di Buitenzorg

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERTANGGAL 25 Desember 1912, bundel dokumen itu ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda: Alexander Willem Frederik Idenburg. Isinya anggaran dasar Indische Partij yang diparaf ketuanya, E.F.E. Douwes Dekker, serta susunan pengurus organisasi. Lewat sang Gubernur Jenderal, para pemimpin Indische Partij berharap pemerintah merestui partai politik mereka menjadi badan hukum.

Douwes Dekker sebenarnya telah menyelesaikan draf anggaran dasar partai beberapa hari sebelumnya. Tapi dia baru membubuhkan tanggal pada dokumen tersebut setelah menggelar hajat besar partai di Bandung. Di depan peserta rapat umum pimpinan semua cabang, dia menjelaskan anggaran dasar dan program partai yang begitu progresif.

Laporan media, yang meliput rapat akbar itu, menyebutkan, dari sepuluh poin anggaran dasar partai, pasal dua yang paling menarik perhatian. Di sana disebutkan: "Tujuan dari Indische Partij adalah membangkitkan rasa patriotisme orang Hindia untuk tanah yang memberinya kehidupan, yang mendorongnya untuk bekerja sama atas dasar persamaan hak politik nasional untuk mengembangkan tanah air Hindia ini, dan untuk mempersiapkan sebuah kehidupan bangsa yang merdeka."

Menurut peneliti sejarah dari Komunitas Bambu, J.J. Rizal, kekuatan artikel tersebut terletak pada seruan akan kemerdekaan. Tema itu belum pernah dikemukakan organisasi lain yang bermunculan kala itu. Sewaktu organisasi lain masih berkutat dengan identitas kelompok, Douwes Dekker sudah menggambarkan pengertian Indonesia sebagai bangsa. "Ini jawaban yang paling konkret akan asal-usul nation kita. Kita ini bangsa Hindia," kata Rizal.

Sifat progresif Indische Partij juga tecermin pada pasal lain anggaran dasarnya. Misalnya, upaya partai melawan kebencian antaragama dan sektarianisme. "Sekarang kita belum lepas dari problem itu," kata Rizal. "Douwes Dekker sudah jauh-jauh hari membahasnya."

Indische Partij menyerukan penyingkiran kesombongan rasial serta keistimewaan ras dalam ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Partai ini juga memiliki program meluaskan pengetahuan umum sejarah Hindia. Lalu ada gerakan menyatukan cendekiawan yang masih bercerai-berai. Juga ada upaya menumbuhkan kesadaran dan kepercayaan diri. Semua itu, kata Rizal, "Merupakan tujuan politik yang jelas dan tanpa kompromi."

Sejarawan dari Universitas Indonesia, Linda Sunarti, melacak gagasan politik Douwes Dekker hingga masa Perang Boer di Transvaal, Afrika Selatan. Menurut Linda, tiga tahun mengikuti perang itu membuat jiwa antipenindasan Douwes Dekker mulai terbangun. (Baca: "Ilham dari Benua Hitam", halaman 66).

Betapa besarnya pengaruh perjuangan fisik itu pernah diutarakan sendiri oleh Douwes Dekker. Kepada Mimbar Indonesia pada Desember 1949, ia menyatakan, aksinya dalam perang membela para petani tak dapat dilupakan sepanjang hidup. "Saya mendapat keyakinan politik yang sampai hari ini tidak berubah: hanya dengan kekuatan dan kesadaran rakyat sendirilah kemerdekaan suatu bangsa dapat dicapai."

Pengembaraan intelektual Douwes Dekker pun tak sebatas di dunia pers, yang pernah dia geluti. Pada 1909, dia melawat ke Eropa. Ketika singgah di sejumlah negara Eropa, dia juga berinteraksi dengan sejumlah tokoh dan bertukar pikiran dengan mereka.

Tashadi, dalam biografi Douwes Dekker, mengisahkan tokoh yang ditemui itu, antara lain, Houston Stewart Chamberlain, sosok yang dianggap Douwes Dekker biang keladi pecahnya Perang Dunia Kedua. Douwes Dekker juga singgah di rumah Shiamaji Khrisnavarma di Paris, Prancis. Rumah orang India itu sering menjadi tempat pertemuan tokoh revolusioner dari Mesir, India, dan Eropa.

Jadi, tidaklah mengherankan bila pemerintah Hindia-Belanda menganggap pandangan Douwes Dekker lewat Indische Partij sangat berbahaya. Karena itu, pada 4 Maret 1913, Idenburg menolak berdirinya Indische Partij dengan dalih akan mengancam keamanan dan ketertiban umum.

Upaya pengurus Indische Partij mengajukan draf perubahan pun sia-sia. Istana Buitenzorg (kini Istana Bogor) memberi kata akhir yang sama. "Perubahan yang diadakan pada pasal dua anggaran dasar itu sekali-kali tidak bermaksud hendak mengubah dasar dan jiwa perkumpulan yang sebenarnya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus