Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUKA atau tak suka, Setelah Lewat Djam Malam karya Yudi Tajudin membawa gambar hidup ke panggung pementasan teater yang tak lagi digunakan sebagai sebatas dekorasi atau pembawa suasana: adegan demi adegan merupakan “gambar” tiga dimensi yang terbentuk dari aktor di panggung berpadu dengan gambar film yang disorotkan ke layar. “Gambar-gambar” yang mungkin liris, impresif, juga ekspresif. Perpaduan yang mungkin harmonis, kadang kontras: siluet seseorang yang membayang di depan sebuah potret mungkin tanaman-tanaman di taman; dua pemeran diam berdiri mengapit seorang pemeran dalam film; adegan meja makan dengan latar gelapnya malam; atau adegan dansa di lantai atas, seorang laki-laki diam berdiri di panggung bawah, dan sebuah closeup wajah perempuan disorotkan ke layar sepenuh panggung. Agaknya pertunjukan ini membukakan pintu ke arah perpaduan teknologi digital dengan teater lebih jauh. Garasi Performance Institute serta KawanKawan Media memadukan film dan teater sedemikian rupa sehingga pertunjukan lebih dari satu jam tersebut tak lagi “dikotomis”—bahwa ini teater, itu film.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejauh ini, pementasan teater yang memadukan gambar hidup (film) dalam pertunjukan di panggung sebatas yang telah disebutkan. Misalnya, perapian di istana dalam Roro Jonggrang karya Teater Koma adalah adegan film yang disorotkan ke layar. Lebih ke belakang, pementasan A Notional History oleh Five Arts Centre asal Malaysia di Salihara, Jakarta, menghadirkan film agar ruang teater menjelma menjadi “pemandangan” yang diinginkan. Seandainya film dimatikan, pertunjukan tetap bisa dipahami—dialog tetap berjalan sebagaimana naskahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal tersebut, menghilangkan film dari pertunjukan, dalam Setelah Lewat Djam Malam (SLDM) akan berakibat tontonan ini sulit diapresiasi, dari adegan ke adegan tidak nyambung. Sebab, film dalam SLDM menjelma menjadi satu elemen yang sefungsi dengan peran. Maka tokoh utama drama ini, misalnya, yakni Iskandar (diperankan Reza Rahadian), bisa berdialog dengan Gunawan (diperankan Rd. Ismail, aktor lawas) dalam film. Tentu saja dialog ada di dalam kepala penonton. Adegan itu menyarankan demikian: Reza berdiri tak mengucapkan apa pun, memandang gambar di layar yang menampilkan Gunawan, dalam ukuran lebih besar daripada Reza, yang wajahnya mengekspresikan kemarahan. Dan hingga pertunjukan usai, ternyata Gunawan tidak dihadirkan di panggung. Ia hanya ada dalam film. Saya kira hal ini merupakan salah satu cara—meski baru saya pahami ketika sampai di penutup—memperkuat perpaduan teater dengan gambar hidup itu.
Sutradara Setelah Lewat Djam Malam, Yudi Ahmad Tajudin. di Bandung, Jawa Barat, 28 Desember 2022. TEMPO/Prima Mulia
Sejak awal, oleh pembawa acara dan dari dialog awal yang disampaikan seseorang, diberitahukan bahwa malam tersebut adalah upacara untuk mengenang kembali Iskandar, tokoh dalam film Lewat Djam Malam, film yang dibuat pada 1950-an. Upacara yang dimaksud adalah memainkan kembali kisah Iskandar sebagaimana diceritakan dalam film. Dan menceritakan kembali kisah itu dengan cara memadukan teater dengan film.
Penonton yang pernah menyaksikan film Lewat Djam Malam, setidaknya mengetahui sinopsisnya, tentu mudah menikmati pertunjukan “hibrida” ini. Yang belum pernah menonton film tersebut dan tidak mengetahui sinopsisnya semestinya juga bisa mengikuti kisah Iskandar karena dialog dalam film dan dialog di panggung serta gambar di layar dan adegan di panggung menciptakan satu imaji kisah Iskandar. Imaji, yakni kisah yang terjalin dalam imajinasi kita, terbangun oleh potongan demi potongan film yang diproyeksikan ke layar dan dialog serta adegan di panggung yang tidak membentuk sebuah cerita yang urut dari awal hingga penutup.
Memang, yang lebih tersaji dari pertunjukan ini bukan ceritanya, melainkan sebuah suguhan, katakanlah, “teater suasana”, suasana yang terbentuk oleh segala hal yang terjadi di dan dari panggung. Maka malam itu panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, terkesan riuh. Cahaya dari beberapa proyektor film silih berganti mati-hidup; pemeran bergerak, berdialog, baik dengan sesama pemeran maupun dengan aktor dalam film yang disorotkan ke layar. Dan musik.
Maka SLDM berada di seberang dengan teater yang hidup dari naskah, dari kata-kata, misalnya pementasan Surat-Surat Karna di Salihara beberapa waktu lalu. Surat-Surat Karna bisa menjadi sandiwara radio dan sudah terbukti direkam sebagai “sandiwara audio”. Sementara itu, sungguh tak mungkin menjadikan SLDM sebuah sandiwara radio—tanpa mengubah naskah, dan mengubah naskah berarti mengubah konsep pertunjukan.
Upaya memadukan teater dengan film tentu sudah dilakukan oleh beberapa grup teater, misalnya Research in Arts and Technology in Society (RATS). Produksi lembaga yang didirikan pada 2008 di Swedia ini menyajikan perpaduan teater dengan film yang tak terpisahkan. Misalnya Lise and Otto, produksi 2012, yang mengisahkan dua ilmuwan yang bekerja sama meriset fenomena pembelahan nuklir. Pertunjukan ini memang berangkat dari sebuah kisah nyata—kisah dua ilmuwan itu pernah menjadi berita di antara berita-berita Perang Dunia II.
Media mengkritik Yayasan Nobel tidak adil karena Otto Hahn (1879-1968) mendapat Hadiah Nobel Kimia pada 1944, sementara Lise Meitner (1878-1968) tidak—biarpun sudah beberapa kali dinyatakan sebagai nomine Hadiah Nobel (Fisika) dan hasil penelitian nuklir itu adalah kerja mereka berdua. RATS membuat film tentang bagaimana mereka bertemu, bekerja sama di laboratorium, dan seterusnya. Dalam pertunjukan, dua aktor yang memerankan Otto Hahn dan Lise Meitner dalam film tampil di pentas, melakukan adegan yang nyambung dengan film—bisa dilihat di YouTube. Misalnya pada layar disorotkan film yang menceritakan mereka bekerja lembur di laboratorium, sementara di pentas tampak Meitner tertidur di bangku yang saya duga di halte bus.
Pentas teater ''Setelah Lewat Djam Malam'' di Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini, Jakarta, 1 Desember 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Atau pertunjukan Laterna Magika di Praha, grup yang disebut-sebut sebagai yang pertama menggarap teater multimedia—bisa dilihat di YouTube juga. Grup yang didirikan pada 1958 ini mementaskan balet dengan gambar hidup sebagai latar, juga sebagai refleksi adegan di pentas. Namun karya-karya kedua grup ini, sejauh yang saya tonton di YouTube, tak memadukan teater dengan film dengan begitu padu, saling merespons sebagaimana SLDM.
Pada awal adegan, SLDM menghadirkan orang-orang berderet sepanjang lebar panggung Graha Bhakti Budaya. Setelah seseorang yang berpidato di samping peti lengkap dengan potret Iskandar, barulah panggung riuh. Keriuhan yang dimungkinkan oleh sebuah layar transparan (gauze screen) besar dan enam layar berukuran lebih kecil. Sejumlah proyektor untuk menyorotkan gambar hidup ke layar tersebut tentu setidaknya sejumlah dengan banyaknya layar, mungkin lebih. Panggung dibagi dua, atas dan bawah, dan di sisi kiri dari penonton ada sebuah jalan berundak ke atas dengan struktur agak melengkung, mirip dengan yang ada dalam film. Sebuah kerja yang tergolong besar, melibatkan lebih dari 200 orang; sebuah eksperimen yang berani; dan produser (pendiri KawanKawan Media, Yulia Evina) yang tahu soal mendanai karya yang perlu dan kreatif, misalnya film mereka, Istirahatlah Kata-Kata, tentang penyair yang lenyap karena kekuasaan, Wiji Thukul.
Kalaulah harus ada kritik, seluruh pertunjukan tak sebagaimana diumumkan oleh pembawa acara, bahwa ini adalah sebuah upacara. Semestinya dalam upacara penonton dilibatkan. Teknologi imersif visual tentu tak sulit diterapkan untuk mencapainya. Namun, hingga “upacara” berakhir, penonton tetaplah penonton. Padahal pementasan Teater Garasi di Gedung Kesenian Jakarta, lama sebelum terjadi pandemi Covid-19, Gong ex Machina judulnya, adalah teater bunyi yang imersif—musik atau suara bergaung di seluruh ruang gedung, tak hanya di panggung. Pertunjukan yang bising, tapi itulah yang dimaksudkan: bahwa hidup, antara lain, dibentuk oleh pengalaman mendengar dan mendengarkan. Mungkin produksi Teater Garasi selanjutnya menyuguhkan yang lebih total, atau ada grup lain yang tertarik mengembangkan perpaduan teater dengan teknologi digital?
Setidaknya sebuah pintu ke arah perpaduan itu sudah dibukakan, pembukaan yang perlu dicatat, sebuah pertunjukan yang memukau, di sana-sini ada kejutan, perpaduan antara yang di panggung dan di layar adalah gambar-gambar, menurut persepsi saya, yang “estetis”, yakni, dalam hal ini, yang merangsang indra penglihatan, terutama rangsangan yang menerbitkan imaji-imaji, yang terbentuk dari dan menambah perbendaharaan pengalaman.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo