Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kurator pameran Pim Westerkamp menjelaskan tentang pameran
Pameran yang digelar di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda ini dipersiapkan selama tiga tahun.
Isu kolonialisme mengemuka dalam pameran di Tropenmuseum.
DI tengah-tengah kesibukannya menyambut tamu dalam acara pembukaan pameran “Onze Koloniale Erfenis” (“Warisan Kolonial Kita”), pertengahan Juni lalu, kurator pameran Pim Westerkamp menyisakan waktu untuk menerima Tempo dengan senyum mengembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bekerja sebagai kurator Asia Tenggara di Tropenmuseum sejak 2005, pengetahuan Westerkamp penuh dengan latar belakang Indonesia. Ia menamatkan pendidikan sarjana di Bahasa dan Budaya Indonesia Universiteit Leiden dengan studi tentang tari topeng Jawa. Lalu dilanjutkan dengan menamatkan ilmu antropologi yang meneliti kehidupan anak muda muslim di Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengalaman-pengalaman itu membuat Westerkamp fasih berbahasa Indonesia. Seluruh wawancara dilakukan dalam bahasa Indonesia, meski ia beberapa kali menggunakan gawainya untuk menemukan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia.
Kenapa durasi pameran ini hingga tujuh tahun? Dan kenapa disebut permanen?
Sebenarnya bukan permanen, tapi semipermanen. Saya tidak bisa menjawab hal itu karena itu keputusan direksi. Tapi setidaknya, menurut saya, dalam tujuh tahun ini kami akan memodifikasi sedikit, termasuk menggelar pameran yang temporer.
Berapa lama persiapan pameran ini?
Tiga tahun. Kami merancangnya sejak 2019.
Apa kesulitan terbesar menyiapkan pameran?
Kesulitan terbesar adalah storyline atau alur cerita. Apakah memakai alur cerita Indonesia atau yang lain. Kadang-kadang ada permasalahan karena satu alur cerita tidak bisa menyambungkan semuanya. Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan seni kontemporer, contohnya karya Zico Albaiquni Ruwatan Tanah Air Beta. Menurut saya, karya itu sangat penting sebagai koleksi kami. Kami membelinya dua tahun lalu.
Kenapa sangat penting?
Karena ada kritik besar dalam karya Zico terhadap sistem kolonialisme. Sebelah kiri ada patung Hindu, menurut Zico, tempat kebun raya sekarang adalah tempat suci untuk orang Sunda sebelum Belanda datang. Di awal abad ke-19, Belanda membangun istana yang sekarang menjadi Istana Bogor. Mereka menanam berbagai pohon untuk penelitian, termasuk kelapa sawit. Zico menggambarkan eksploitasi alam Indonesia, kekerasan terhadap orang Indonesia, dan lapis ketiga adalah zaman sekarang yang digambarkan Presiden Sukarno duduk di gazebo atau paviliun.
Selain karya Zico, ada karya orang Indonesia yang lain?
Karya lain adalah karya Maryanto yang kami peroleh delapan tahun lalu tentang tambang di Papua. Ada juga karya Heri Dono yang dibeli 12 tahun lalu berjudul Museum Etnografi yang mengkritik museum, termasuk Tropen, yang cuma berfokus pada kebudayaan tradisional. Heri bilang kebudayaan kami dikembangkan dengan elemen budaya populer yang digambarkannya dengan menaruh wayang bersama figur Mickey Mouse dan Batman.
Sebelum pameran ini, ada perdebatan soal periode Bersiap ketika Rijksmuseum membuat pameran “Revolusi”. Apakah itu menjadi pertimbangan juga?
Itu periode yang terjadi sesudah kemerdekaan Indonesia ketika mereka dipaksa harus memilih. Harus diakui ada kekerasan terhadap warga keturunan, termasuk Tionghoa dan lainnya. Tapi juga ada banyak kekerasan yang dilakukan Belanda terhadap orang Indonesia. Kami menggunakan kata “Bersiap” dalam teks kami dengan menyebutkan bahwa itu adalah istilah yang sangat kontroversial. Kami mengerti periode itu sangat traumatis terhadap keturunan Indo yang ada di Belanda. Tapi perlu juga dipertimbangkan apa yang dikatakan sejarawan Bonnie Triyana bahwa (Bersiap) itu framing. Itu butuh dibahas lebih dalam.
Satu hal lagi yang sensitif, bagaimana menghadapi permasalahan rasisme dan stereotipe dalam pameran ini. Kami punya banyak foto perempuan muda Jawa dengan sikap yang sedikit erotis. Misalnya mereka duduk di studio melihat kamera dan kembennya sedikit dilepas. Kami tidak tahu apa pertimbangan fotografernya, tapi itu adalah sesuatu yang erotis. Pertanyaannya apakah kami sebagai museum bisa menampilkan gambar seperti itu, dan kami memutuskan tidak. Karena kekerasan terhadap perempuan Indonesia akan bisa terulang dengan stereotipe seperti itu.
Berarti itu menjadi salah satu pertimbangan atau perdebatan untuk menentukan obyek yang ditampilkan dalam pameran ini.
Betul. Termasuk, misalnya, pemilihan kata. Kami tidak menggunakan kata “budak”, tapi “orang yang diperbudak”. Dalam bahasa Inggrisnya, kami tidak memakai slave, tapi enslave person.
Pameran ini menampilkan sejarah jauh ke zaman VOC, sementara di Belanda ada hasil riset menunjukkan bahwa sebagian besar warga Belanda bangga akan masa lalu kolonialnya. Apakah pameran ini dimaksudkan untuk merombak cara berpikir seperti itu?
Ada pemikiran yang berkembang bahwa Belanda melakukan pembangunan di sana, misalnya jalur kereta api, jalan raya, sekolah, dan lainnya. Namun, jika sistem pendidikannya benar, semua orang Indonesia pasti bisa berbahasa Belanda. Tapi ini tidak. Hanya sekelompok kecil yang bisa mengakses sekolah Belanda. Jika bukan Belanda yang membangun infrastruktur itu, mungkin orang Indonesia sendiri yang akan membangunnya.
Dengan pameran ini, kami ingin memberikan informasi tentang sistem kolonialisme, apa yang dilakukan orang Belanda di Indonesia ketika itu.
Penulis Belgia, David van Reybrouck, mengkritik pendidikan sejarah di Belanda yang timpang karena tidak seimbang memberikan informasi soal periode kolonial ini. Menurut Anda, apakah itu yang membuat hasil riset mayoritas warga Belanda bangga akan masa lalu kolonialnya?
Saya tidak bisa bilang setuju atau tidak. Tapi memang ada keanehan dalam sistem pendidikan Belanda. Siswa berusia 15 atau 16 tahun berhak memilih mata pelajaran yang akan diujikan. Jadi banyak yang tidak mengambil sejarah sebagai mata pelajaran yang diujikan. Padahal sejarah penting untuk mengetahui apa yang terjadi. Dengan pameran ini, kami berharap banyak siswa sekolah menengah datang ke sini untuk ikut program edukasi dalam pameran. Karena banyak yang tidak tahu sejarah itu tadi.
Di Belanda ada sekitar 2 juta orang yang punya hubungan dengan Indonesia, baik yang keturunan maupun yang sekadar kakeknya pernah bertugas di Indonesia. Juga yang aneh: sate ayam sudah dianggap sebagai makanan Belanda, seperti nasi goreng dan bakmi goreng, ha-ha-ha.... Itu kan salah satu akibat dari zaman penjajahan.
Seberapa signifikan pameran semacam ini bisa mengubah cara pandang orang Belanda atas fakta sejarah yang terjadi?
Kesulitan terbesar adalah publik harus berkunjung untuk datang dan melihat langsung pameran ini. Dengan itu, akan ada banyak orang berdialog dan berdiskusi dengan kami. Sebab, kami sendiri berada dalam posisi dikritik aktivis, dengan menyebut sikap Tropenmuseum terlalu lembek. Sementara itu, ada kelompok lain yang menilai Tropenmuseum sudah menjadi bagian dari aktivis dan progresif. Tapi keduanya penting.
Sekarang apa yang bisa dilakukan adalah secara bertahap mengubahnya. Dan kami sebagai museum cukup optimistis. Sebab, kalau tidak optimistis, kami tidak akan menggelar pameran ini.
Dalam konteks menulis ulang sejarah, terutama soal kekejaman kolonial, rasialisme, dan sistem yang menindas, apa yang harus kita lakukan sekarang? Soalnya dokumen resmi Kerajaan Belanda masih menulis kemerdekaan Indonesia adalah tahun 1949, bukan 1945....
Bagi saya, susah untuk mengatakan sesuatu terkait dengan kebijakan negara Belanda. Tapi, menurut saya, dengan memamerkan cerita seperti ini merupakan upaya museum memberi sumbangan dengan membuka dialog. Beberapa tahun lalu, kami membuat kerangka kerja tentang restitusi koleksi Indonesia. Kami mengusulkan bahwa semua obyek yang bisa dibuktikan didapatkan secara paksa, dengan kekerasan, dan melalui perang harus dikembalikan kalau Indonesia memintanya kembali. Tahun lalu ada panitia resmi pemerintah Belanda yang mengakui bahwa pemerintah Belanda di masa depan harus terbuka terhadap negara-negara asalnya. Itu merupakan salah satu langkah yang diharapkan bisa memperbaiki hubungan.
Selain itu, kami sebagai museum punya banyak relasi dengan museum lain, termasuk di Indonesia, ilmuwan, universitas, untuk menelitinya. Saya pikir semuanya akan membantu dengan mengakui apa yang pernah terjadi di zaman penjajahan dengan mengubah sikap orang Belanda terhadap zaman kolonial.
Raja Belanda sendiri sudah meminta maaf atas apa yang terjadi pada 1945-1949. Bagaimana Anda melihatnya?
Benar, itu salah satu tahap penting, tapi itu belum cukup. Sebab, bagi sebagian besar orang Belanda, kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949. Sekarang kami bisa bilang tidak. Karena kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945 dan kami sebagai museum menggunakan tanggal itu. Kami juga menghindari menggunakan Hindia Belanda, tapi Indonesia.
Hasil Konferensi Meja Bundar, Indonesia harus membayar 4,5 miliar gulden. Apakah menurut Anda hal itu masuk akal?
Saya tidak tahu harus menjawab sebagai Pim Westerkamp atau sebagai kurator. Tapi, menurut saya, hal itu tidak jujur dan tidak etis. Hal lain yang kurang etis adalah, setelah penghapusan perbudakan, yang menerima uang adalah orang Belanda yang memiliki orang yang diperbudak tersebut. Itu salah satu yang tidak masuk akal dan salah sama sekali. Orang yang pernah diperbudak tidak mendapatkan apa pun. Mereka bekerja untuk orang Belanda tanpa mendapatkan apa pun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo