Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ali Sadikin tak ragu memukul dan memecut anaknya yang berbuat salah.
Ali tak pernah membicarakan masalah pekerjaan dengan keluarganya.
Ali Sadikin menyesal karena tak memberikan waktu lebih banyak untuk anak-anaknya.
DARI loteng rumah, Boy Bernadi Sadikin mendengar langkah Ali Sadikin berderap-derap pada suatu hari, tahun 1971. Boy seketika cemas mengetahui bapaknya berjalan menuju lantai dua griya mereka di Menteng, Jakarta Pusat. Ia tahu Ali sedang naik pitam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesaat sebelumnya, Boy baku pukul dengan adiknya, Irawan Hernadi Sadikin. Awalnya Irawan menjitak kepala Boy yang sedang berlatih angkat beban. Bogem dari Boy membuat hidung adiknya berdarah. Mendisiplinkan anaknya, Ali memukul lengan kiri Boy. “Tangan saya bengkak empat hari,” kata Boy kepada Tempo, Senin, 1 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boy, 66 tahun, kerap dihukum bapaknya. Ia, misalnya, pernah dipecut Ali karena pelor katapel yang terbuat dari tanah menghantam tembok tetangga yang baru selesai dicat. Tetangga itu melaporkan kelakuan Boy kepada Ali. Sebuah cambuk ekor kuda pun mendarat di badan Boy.
Lain waktu, Boy menurunkan potret Sukarno yang terpacak di tembok rumah. Pria kelahiran Surabaya itu meletakkan foto Sang Proklamator di dasbor mobil dan mengaraknya keliling Jakarta. “Bapak marah dan memerintahkan potret itu dikembalikan ke tempatnya semula,” ujar Boy.
Watak Ali yang keras dipengaruhi didikan ayahnya, Raden Sadikin. Raden adalah Kepala Pertanian di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Dalam buku Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab, purnawirawan letnan jenderal Korps Komando Angkatan Laut itu bercerita bahwa Raden adalah pribadi yang berdisiplin, tegas, tapi egaliter.
Ali pernah menyaksikan bapaknya mengundang makan sopir pribadi. Raden bahkan tak sungkan bersantap satu meja dengan para anak buahnya. “Saya melihat sifat Bapak dari perilaku sehari-hari,” katanya.
Bukan hanya soal disiplin, Ali juga sosok yang rewel ihwal kerapian. Sidarto Danusubroto, mantan ajudan Sukarno dan kini anggota Dewan Pertimbangan Presiden, selalu melihat Ali berpenampilan necis dan rambutnya tersisir rapi. Ali, dalam memoar yang ditulis Ramadhan K.H., bercerita pernah senewen saat melihat meja kerja di Balai Kota dipenuhi tumpukan kertas.
“Saya rewel dalam memelihara kerapian,” tuturnya dalam buku Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota Manusiawi.
Tatkala berdinas di Angkatan Laut, Ali bertemu dengan Nani Arnasih pada 1951. Kakak Ali, Hasan Sadikin, mencomblangi pasangan ini. Saat itu Ali baru pulang dari palagan di Pekalongan, Jawa Tengah; dan Surabaya. Adapun Nani kala itu mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya.
Nani dan Ali menikah pada Desember 1954. Boy mengatakan Nani adalah pacar pertama bapaknya. Sejoli ini dikaruniai empat anak. Selain Boy yang sulung, ada Eddy Trisnadi Sadikin, Irawan, dan Benyamin Irwansyah Sadikin.
Ali Sadikin tak pernah mengekang pilihan anak-anaknya, termasuk soal pendidikan dan karier. Ali hanya meminta anak-anaknya memberi dia menantu muslim. Ia tak memaksa putranya menjadi tentara, bahkan melarangnya. “Jika jadi tentara, atasan bilang apa harus diikuti,” kata Boy menirukan pesan bapaknya.
Keempat anak Ali memilih berbisnis. Tapi Boy belakangan mengikuti jejak Ali sebagai politikus. Ia menjadi kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta 2009-2014. Tapi, pada September 2016, ia mundur dari partai banteng.
Menurut Boy, Ali selalu menyimpan rapat-rapat urusan pekerjaan dari keluarga. Ia tak pernah membahas perkara kantor dengan istri dan anak-anaknya. Belakangan, Ali menyesal terlalu gandrung bekerja ketimbang mengajak keluarganya pergi berlibur. “Rasa dosa masih ada terus karena tak memperhatikan anak-anak,” tutur Ali dalam buku Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab.
Pada 1986, istri Ali berpulang karena sakit kanker. Ia menikah setahun kemudian dengan Linda Syamsuddin Mangan. Dari pernikahan dengan Linda, Ali mempunyai satu putra, Yasser Ali Umarsyah, yang lahir pada 1989.
Menurut Ali Sadikin, kelahiran Yasser membuat dia merasa muda kembali dan punya kesempatan memperbaiki kesalahan kepada anak-anaknya dari pernikahan dengan Nani. “Saya dahulu tidak bisa memperhatikan anak-anak karena urusan pekerjaan,” ujarnya. “Kini sepenuhnya waktu untuk si kecil.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pecut Kuda di Badan Putra"