Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lomba pacu jalur, sampan panjang, di Sungai Batang Kuantan.
Diikuti 193 jalur atau sampan panjang.
Meriah dan menyedot puluhan ribu penonton.
SENJA mulai turun tatkala sorak-sorai dan suara letusan mercon membahana. Beberapa menit sebelum pukul 18.00, ujung sampan panjang (jalur) Tuah Keramat Bukit Embun melaju kencang memasuki garis finis pancang keenam di muka jembatan gantung. Tukang tari berbaju biru langsung bersujud di haluan begitu jalurnya memasuki pancang finis. Para pendukung sampan Tuah Keramat di seberang panggung dewan hakim lebih riuh melihat kano panjang yang mereka dukung melesat mendahului lawan. Penentuan juara nyaris saja dilakukan dengan pengundian jika saja dua sampan yang tengah berlomba tak segera "dihilir"—istilah untuk mulai berlomba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak garis start, suara ribuan penonton di dua sisi Sungai Batang Kuantan sepanjang pacuan sudah bergemuruh ketika anak pacu (pendayung) dua perahu kayu panjang mengayuh dayung, memacu tenaga, dan menambah kecepatan. Menjelang magrib, Ahad, 27 Agustus lalu, sampan Tuah Keramat Bukit Embun asal Indragiri Hulu itu memenangi perlombaan Pacu Jalur 2023 di Sungai Batang Kuantan, Kuantan Singingi (Kuansing), Riau.
Sampan panjang yang baru dibuat pada 2020 itu mengalahkan sampan Cakaran Garuda Muda dari Desa Kuantan Singingi. Sampan Tuah berhasil melabuhkan mimpinya tahun lalu ketika mereka menjadi juara ketiga dalam lomba yang sama di Tepian Narosa, mengalahkan sampan yang banyak diisi atlet dayung. Sementara itu, peringkat ketiga dan keempat diraih oleh Sijontiak Lawuik Pulau Tanamo Desa Kepala Jambu dan Bintang Emas Cahaya Intan Tanjung Hulu Kuantan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini berkat latihan setiap hari sejak empat bulan lalu. Dua kilometer untuk anak pacu yang masih sekolah, yang dewasa tiga kali seminggu. Hari minggu seharian, istirahat makan saja,” ujar Haji Harison, tuo (sesepuh) rombongan Tuah Keramat Bukit Embun, yang ditemui seusai perlombaan.
Antusias masyarakat menonton proses latihan pacu jalur di tepi Sungai Narosa, pada 18 Agustus 2023/Tempo/Magang/Sabar Aliansyah
Yang menarik dari perjalanan menuju final ini, beberapa sampan unggulan ternyata tergelincir sebelum masuk ke final. Seperti sampan Siposan Rimbo (juara pertama 2014, 2016, 2017, 2018) dari Pauh Angit yang dikalahkan tim sampan Selendang Putie yang mendahului setengah badan sampan saja. Langkah tim sampan Siluman Buayo Danau (peringkat kelima 2022, juara kedua 2010) ditekuk oleh sampan Olang Buas. Juragan Kuantan yang juga diunggulkan ternyata harus menelan kekalahan.
Kemenangan demi kemenangan menjelang putaran menuju semifinal sering kali terlihat tragis. Ketika sebuah sampan sudah melaju mendahului lawan, kemudian ia tersusul oleh lawannya mendekati pancang finis. Tipis saja. Atau, ketika sudah melaju, sampan kemudian melenceng dari arah semula. Seperti yang terjadi pada sampan Langkah Siluman Buayo Danau yang sempat memimpin pacuan tapi arahnya melenceng ketika melawan jalur Olang Buas. Menjelang pancang finis, Olang Buas pun berhasil menyalip sampan Langkah Siluman. Ada pula salah satu pendayung sampan Tanjung Ghasau yang jatuh ke air ketika melawan tim sampan Sijontiak Lawuik.
Hadir pada lomba pacu jalur kali ini, tim sampan legenda yang merajai pada era 1960-1979, yakni tim sampan Bomber dari Siberakun dan tim sampan Pandan Baiduri yang sering menjadi juara pada 1990-2000. Dengan sebagian anak pacu yang sama, mereka mencoba mengadu tenaga melawan para pendayung muda. Penonton lawas pun sempat berharap mereka bisa mencapai kemenangan, tapi terempas pada hari ketiga perlombaan.
Tim peringkat 10 besar mendapatkan hadiah ratusan juta rupiah dari Pemerintah Kabupaten Kuansing dan Pemerintah Provinsi Riau. Selain itu, sejak hari pertama mereka berlomba, bonus mengalir dari perorangan dan berbagai pihak swasta, dari Rp 200 ribu hingga Rp 10 juta.
•••
PUNCAK perhelatan tahunan Pacu Jalur pada Agustus ini diikuti 193 jalur dari berbagai desa di Kabupaten Kuantan Singingi dan Indragiri Hulu pada 23-27 Agustus 2023. Jumlah ini lebih banyak ketimbang pada perlombaan tahun lalu yang pesertanya 178 tim sampan. Satu sampan biasanya berisi 40-60 orang pendayung. Sejak pagi penonton sudah mulai mengalir ke area Tepian Narosa di Desa Kampung Sawah dan Desa Seberang Taluk. Makin siang, masyarakat mulai membanjir dan mengisi kursi papan tribun di bantaran bahkan di pinggir badan sungai.
Penonton di tribun harus merogoh kocek hingga Rp 80 ribu per kepala. Padahal pemerintah Kuansing telah mengatur harga tiket Rp 40 ribu. Mereka yang cekak kantong menyesaki bagian belakang tribun atau bibir sungai area Desa Seberang. “Ya, ini acara setahun sekali, masyarakat senang datang berduyun-duyun,” ucap Siti Arofah, salah satu penonton. Anak-anak menjual kopian kertas undian seharga Rp 2.000, lebih mahal dari hari sebelumnya yang Rp 1.000. Sementara itu, stasiun radio setempat dan lima saluran YouTube menyiarkan langsung lomba pacu jalur dan ditonton ratusan ribu orang.
Seorang anak yang menjadi tukang tari tim Rajo Bujang saat festival pacu jalur di Sungai Batang Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, Agustus 2023./Diskominfo Kuansing
Perhelatan ini memang ditunggu-tunggu masyarakat Riau, terutama di Kuansing dan Indragiri Hulu. Tepian Narosa adalah lokasi puncak perlombaan pacu jalur utama dan bergengsi. Sebelumnya, pemerintah Kuansing telah menghelat sembilan lomba pacu jalur di tingkat kecamatan untuk mendatangkan uang. Masyarakat pun akan mendatangi arena pacu jalur itu. “Kami harapkan kegiatan ini bisa mempercepat peningkatan ekonomi masyarakat selepas masa pandemi, terutama di daerah terluar di sepanjang sungai,” ujar Azhar, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kuansing, kepada Tempo.
Meski sudah menyiapkan perbaikan, penataan, dan penyediaan sarana-prasarana, hal itu belum mencukupi. Penginapan yang terbatas, misalnya, tak mampu menampung penonton dari luar kota. Penginapan kelas melati hingga rumah penduduk bahkan jauh-jauh hari sudah habis dipesan oleh calon penonton. “Belum ada hotel berbintang, memang. Kami menyiapkan 150 rumah warga yang bisa jadi penginapan,” katanya.
•••
EPI Martison, seorang seniman asal Kuantan Singingi, masih mengingat sorak-sorai penonton di pacu jalur pada 1970-an. Ingatannya muncul ketika saat remaja menjadi salah satu anak pacu di tim jalurnya dari wilayah Kuantan Hilir. Tak hanya berjibaku menyibak air memacu dayung, ia ikut berlelah-lelah mengikuti sejumlah ritual dan acara mencari kayu untuk jalur di hutan rimba pada 1969-1970. Masyarakat desanya ingin kayu untuk pembuatan perahu adalah kayu khusus. Mereka lalu bersusah-susah masuk ke hutan mencari kayu kuyuang dengan dipandu seorang pawang. “Orang pintar yang nanti akan menunjukkan tempat kayu yang bagus. Kami berjalan membawa bekal untuk menginap, sekaligus perlengkapan untuk upacara ritualnya,” tutur Epi.
Si pawang atau dukun ini nanti akan bertanya kepada mambang (roh) pohon yang dituju apakah ikhlas pohonnya ditebang. “Kami lepaskan ayam hitam di sekitar pangkal pohon. Kalau ayamnya hilang, tandanya pohonnya rela ditebang.” Epi bercerita, tradisi ini merupakan kebijakan lokal yang memperhitungkan lingkungan. Mantra, doa, dan pemilihan kayu yang bagus tidak mencerminkan keserakahan. Ia pernah mementaskan pertunjukan dengan unsur mantra-mantra itu.
Merujuk pada buku Pacu Jalur Tradisional Kuantan Singingi Melintasi Masa karya Suhardiman Amby Datuk Panglimo Dalam dan Emil Harda Datuk Paduko Rajo, perangkat ritual sesajen dalam upacara kepada mambang pohon antara lain ayam hitam, kemenyan, dan tepung tawar yang terdiri atas tepung beras purasan, kumpai, sikurau, setawar, sedingin, suki-suki, bunga setaman, dan beras kuning. Tepung tawar ini nantinya disiramkan di sekeliling pohon kayu yang dipilih. Kayu tebangan pertama (baan) nanti akan disimpan oleh pawang. Setelah itu, pohon akan ditebang dengan arah dan waktu yang telah ditentukan oleh sang pawang.
Warga dan peserta pacu jalur membawa jalur menuju pinggir sungai dari dalam kandang, 17 Agustus 2023./Tempo/Magang/Sabar Aliansyah
Budayawan serta pengamat lomba pacu jalur, Said Mustafa Husin, mengatakan tradisi mencari kayu jalur di hutan ini disebut ritual melambe. Penunjukan pawang ini dipimpin oleh partuo jalur (pengurus jalur) dalam musyawarah desa. Kayu yang dipilih adalah kayu yang tahan air, tidak mudah pecah jika dibuat jalur, serta berdiameter besar dan panjang. Kayu yang dipilih adalah kayu kure (kuras), kuyuang, banio, tonam, dan meranti sogar. Dia menerangkan, ada banyak ritual dan tradisi yang dilakukan untuk jalur ini, dari pemilihan kayu hingga turun lomba di sungai.
Menurut Buyung—panggilan Said Mustafa—lomba pacu jalur di Kuansing berbeda dengan lomba perahu panjang seperti dragon boat di Cina atau lomba perahu di Thailand. Epi dan Buyung menyatakan lomba ini sejatinya cenderung menonjolkan tradisi ketimbang unsur olahraga. Hal ini terlihat pada filosofi pencarian kayu, penamaan jalur, hiasan jalur dari haluan hingga selembayung (ukiran tempat pegangan tukang onjai), serta kehadiran tukang tari, tukang timbo (penyemangat dan penimba air), dan tukang onjai. Karena itu, panitia memilih yang terbaik untuk menjadi tukang tari, tukang timbo, dan tukang onjai. Selembayung pun dibuat seindah mungkin.
Setelah kayu diperoleh, semua penduduk desa akan menarik kayu itu dari hutan menuju desa. Butuh waktu berbulan-bulan untuk mencari hingga menarik kayu tersebut secara tradisional. Pada zaman dulu, ketika kayu yang dipindahkan sudah mendekati desa, semua penduduk dewasa laki-laki dan perempuan bahu-membahu menarik kayu. Tradisi ini disebut maleo jalur dan sering kali menjadi ajang muda-mudi berkenalan. “Pas menarik kayu itu ada kalanya memang sengaja biar remaja laki-laki dan perempuan ini bersentuhan,” ujar Epi, kemudian tertawa.
Sejumlah ritual kini masih dijalankan, seperti saat memilih pohon atau kayu yang akan dijadikan jalur. Tapi, Buyung mengungkapkan, tak semua anggota panitia pacu jalur melakukan ritual melambe. Jika dulu butuh berminggu-minggu atau berbulan-bulan mencari dan menarik kayu ke desa, kini kayu banyak ditebang dengan mesin, lalu ditarik dan diangkut alat berat dan truk besar. Konsekuensinya adalah pada biaya. Untuk urusan kayu ini saja setidaknya membutuhkan minimal Rp 60 juta. Biaya ini belum termasuk pembuatan kayu menjadi sampan.
Warga membangun pondokan untuk kios berjualan saat Festival Pacu Jalur, pada 18 Agustus 2023/Tempo/Magang/Sabar Aliansyah
Seperti disampaikan Marpilis, sesepuh tim sampan Langkah Siluman Buayo Danau, pembuatan sampan melalui proses panjang, dari pencarian pohon jalur, penebangan, pengeringan, pengetaman, pemberian panggar jalur, hingga pengecatan. Dengan itu semua, setidaknya pembuatan sampan memakan waktu sekitar tiga bulan. Namun tak jarang ada yang sampai setahun. “Proses yang lama adalah menariknya dari hutan,” tutur Marpilis saat ditemui di Desa Sitorajo, Kamis, 17 Agustus lalu. Sampan yang dipakai sudah berusia lebih dari 11 tahun dan mengalami perbaikan.
Marpilis menjelaskan, kayu jalurnya adalah kayu mersawa kuning yang diambil dari Bukit Betabuh di bagian barat-tengah antara Riau dan Sumatera Barat. "Saat ini kami memakai mersawa kuning. Sebab, selain kayunya sedikit lebih keras dari yang putih, mersawa kuning lebih tahan lama,” ucapnya. Jalurnya dicat oleh beberapa anak muda beberapa hari sebelum turun kandang. Irama musik yang ceria kadang berganti lagu mendayu-dayu, menemani pengecatan di rumah jalur.
Berada di tepian Batang Pangean, Desa Pauh Angit, terletak kandang sampan Siposan Rimbo. Bangunannya masih berdiri kokoh dengan beberapa bagian sudah terlihat lapuk. Rumah yang beratap seng dan berdinding kayu tua itu sudah tampak kusam. Dua pintunya yang terbuka lebar juga tampak sudah kusam saat Tempo mengunjungi rumah itu dua pekan lalu. Saat itu warga dan panitia memadati kandang dan sibuk memperbaiki sampan yang akan dilombakan. Perbaikan dilakukan dari penaikan tempat air agar air tidak mudah masuk ke sampan hingga penggantian curuik atau tali yang mengikat sampan dengan rotan.
Sampan panjang Siposan Rimbo yang berarti lipan rimba itu sudah 24 kali berprestasi. Tujuh kali di antaranya juara pertama dan empat kali berturut-turut merebut piala untuk perhelatan berskala nasional. Kayu jalur berjenis kure berdiameter 1,5 meter dengan panjang 23 meter diambil pada 2011. Sudanto, ketua panitia jalur Siposan, mengisahkan kayu sampan ini diperoleh dari kesepakatan para tetua desa. Proses pembuatan sampan Siposan setidaknya memakan waktu sampai setahun.
Warga memperbaiki jalur dengan mengganti curuik di kandang Siposan Rimbo, pada 18 Agustus 2023/Tempo/Magang/Sabar Aliansyah
Pembuatan sampan ini memakan banyak biaya. Setidaknya dibutuhkan Rp 110 juta untuk mewujudkan sebuah sampan yang kokoh. Sampan seperti kebanggaan bagi desa-desa di Kuansing dan Indragiri Hulu. Kepala Desa Beringin, Bamba Arianto, yang jalurnya bernama Selendang Puti Rano Biso, kalah di hari pertama. Pembuatan sampan dari kayu yang diambil dari Tanjung Modang mengandalkan iuran swadaya warga sebesar Rp 50 ribu per keluarga dan donatur. “Mulai dari awal merintis begitu,” ujar Bamba.
Beberapa kepala desa lain, seperti Yandi Irson dari Desa Pulau Kedundung dan Dodi Fitrawan, pejabat Kepala Desa Sawah, mengakui biaya pembuatan perahu tak murah. Untuk biaya pembuatan perahu Desa Sawah bernama Kilau Jingga Batang Kuantan, misalnya, desa mengandalkan donasi serta sponsor yang masuk, seperti dari usaha fotokopi, gerai penjualan telepon seluler dan sepeda motor, lembaga pemerintahan, hingga para politikus. Menjelang lomba, mereka mulai menebarkan proposal permohonan sponsor untuk persiapan latihan hingga perlombaan. “Ini untuk kegotongroyongan,” ucap Yandi. Mereka berlatih sejak Maret dengan intensitas yang makin meningkat menjelang lomba. “Butuh kekompakan warga, tetua, dan anak pacu,” kata Dodi.
Latihan menjelang perlombaan pun butuh jutaan hingga puluhan juta rupiah untuk biaya jersei, makan dan minum, vitamin, serta jamu-jamuan untuk anak pacu. Beberapa bulan sebelum lomba, para pemuda atau laki-laki dewasa anak pacu memulai latihan fisik dan menjaga pola makan. Latihan fisik mereka lakukan secara berkala dan makin intensif mendekati hari-H. Di kelompok Siposan, anak pacu dilarang minum es guna menjaga stamina. “Setelah berlatih biasanya diberi telur itik dan air hangat. Pada malam sebelum berpacu, anak pacu harus minum teh telur dan makan pisang,” ucap Sudanto.
Para anak pacu tim sampan Langkah Siluman mempersiapkan diri dengan mengikuti berbagai lomba di tingkat kecamatan. Dalam seminggu, biasanya mereka berlatih tiga kali di sore hari. “Empat hari sebelum di Teluk, kami rutin berlatih setiap hari,” tuturnya. Ia meyakini mental dan fisik anak pacunya sudah terbentuk hingga 90 persen.
Bupati Kuansing Suhardiman Amby menjadi "timbo ruang" dari tim jalur Titian Akar Lubuak Balanti saat pacu jalur pada 24 Agustus 2023/Diskominfo Kuansing
Sejak Maret lalu, para pendayung tim sampan Upae Saghok Gimbo Dusun dari Pasar Baru, Basrah, Kuantan Hilir, mewajibkan 50 anggota inti dari 70 anggota pendayung berlatih tiga kali seminggu. Asriadi, salah satu anggota panitia tim jalur, mengatakan, menjelang turun gelanggang, mereka mengintensifkan latihan seminggu penuh pada sore hari. Sampan yang dibuat pada 2019 ini sebelum berpacu di Tepian Narosa 2023 mengikuti lima lomba pacu di kecamatan lain.
Kayu sampan Upae diambil dari hutan dekat perbatasan Sumatera Barat dengan alat berat dan memakan waktu seminggu. Agar anak pacu tetap bertenaga, kata Asriadi, mereka dilarang begadang. Mereka harus tidur paling larut pukul 23.00. Jika seorang anak pacu terlihat loyo, biasanya ia akan diganti dengan yang lain. Agar lebih bertenaga, mereka diberi jamu "kingkong" (semacam jamu kuat tradisonal dalam kemasan botol) dan telur itik. “Sekali berlatih 120 telur, ada kacang hijau juga,” ujarnya. “Biasanya telur itik dimakan pada malam sebelum berlatih,” ucap Kurniawan Saputra, salah satu pendayung.
Asriadi bercerita, yang menjadi tantangan selama lomba pacu adalah kekuatan lawan. Biasanya sebuah tim akan merekrut pendayung cabutan dari tim jalur yang kalah guna menambah kekuatan. “Mereka menengok lawan sebelum turun lomba lagi,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Sabar Aliansyah dari Kuansing berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berpacu di Tepian Narosa"