Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATA Mariska Setiawan tak segera terpejam dalam perjalanan malam dari Surabaya ke Jakarta dengan kereta api Argo Bromo Anggrek. Duduk di barisan dekat jendela, penyanyi sopran asal Surabaya itu terjaga dan memandangi bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia pun merenung. Dari tafakurnya pada tahun lalu itu Mariska terinspirasi membuat sebuah lagu. “Judulnya ‘Rembulan’,” kata Mariska kepada Tempo, Ahad, 1 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mariska menuturkan, perjalanan yang memakan waktu sekitar delapan setengah jam itu dia metaforakan sebagai perjalanan hidup mencari sesuatu, yang akhirnya memberi tujuan dalam hidup. Ada penggalan lirik yang menjadi kata kunci dalam lagu tersebut: “Bila kita tak pernah jumpa, mungkin ku tak kembali merasa."
Sepotong lirik tersebut adalah pesan yang hendak dia sampaikan bahwa perjalanan hidup sebenarnya adalah pencarian terhadap sesuatu. “Entah apa itu yang memberi kita semangat untuk terus maju, untuk kita bisa merasa lagi,” ujar perempuan 33 tahun ini.
Setelah menulis liriknya, Mariska berencana merilis rekaman lagu dengan vokal dan piano. Tapi itu semua berubah setelah ia bertemu dengan temannya yang berprofesi videografer. Setelah mendengarkan “Rembulan”, temannya berinisiatif membantu Mariska membuat video musik untuk lagu tersebut.
Karena lagu ini bercerita tentang perjalanan, Mariska dan temannya menjadikan stasiun kereta sebagai lokasi syuting. Ia juga sengaja membeli tiket agar bisa syuting di dalam kereta yang sedang melaju.
Namun, setelah video musiknya jadi, ia sempat minder dengan lagunya. “Pas lihat videonya, saya ngerasa, aduh lagunya kebanting, cuma vokal dan piano,” tuturnya. Akhirnya Mariska memutuskan menambahkan iringan orkestra pada musiknya.
Melalui Instagram, Mariska mencari pemain orkes yang bisa bergabung dengan proyek single-nya tersebut. Lalu ada enam musikus yang bersedia, yakni empat pemain biola, serta seorang pemain harpa dan pemain flute.
Menurut Mariska, tim orkestra dan videografernya adalah arek Suroboyo seperti dia. “Ini lucu. Sebab, ternyata apa yang saya lakukan ini bersumber dari tempat tinggal, kota kelahiran saya,” ucapnya.
Tembang yang dia garap selama satu tahun itu menjadi capaian baru dalam kariernya di musik klasik. Dia menulis lirik dan mengaransemen sendiri single yang akan diluncurkan pada 8 September 2024 tersebut.
Melalui tembang “Rembulan”, Mariska ingin menunjukkan sisi lainnya. Selama ini ia dikenal sebagai penyanyi tembang puitik atau seriosa Indonesia. Padahal kiprahnya justru jauh lebih dari itu.
Selama berkarier, ia telah meraih berbagai penghargaan dalam dunia seni pertunjukan. Ia antara lain memenangi kompetisi nasional Tembang Puitik 2011 sebagai penyanyi seriosa pada usia 19 tahun dan meraih beasiswa pelatihan Indonesia Menuju Broadway di New York, Amerika Serikat, pada 2019.
Ia juga pernah berperan sebagai Eulis Zuraidah, istri pahlawan nasional Ismail Marzuki, saat tampil dalam drama musikal Payung Fantasi pada 2022. Mariska menjadi satu dari empat solois Indonesia yang terpilih tampil bersama G20 Symphony Orchestra. Kini, selain sebagai penyanyi sopran, ia aktif menjadi edukator dengan mendirikan sekolah musik Studio Sangita di Surabaya.
•••
LAHIR di Surabaya, Jawa Timur, 6 Desember 1990, Mariska Setiawan gemar bernyanyi sejak kecil. Namun anak bungsu dari dua bersaudara ini bukan berasal dari keluarga musikus. Ibunya berprofesi arsitek dan sang ayah adalah pegawai kantoran.
Mariska mengungkapkan, ia sudah mulai bernyanyi ketika baru bisa berbicara. Lantaran Mariska terlalu sering bernyanyi, ibunya sempat merasa terganggu. Sang ibu pun kemudian mendaftarkan dia ke kelompok paduan suara di gereja dan sekolahnya.
“Pokoknya jangan nyanyi di rumah. Bikin berisik. Jadi ikutlah berbagai macam kelompok paduan suara,” kata perempuan yang gemar membuat ilustrasi tersebut.
Mariska mulai mengenal musik klasik ketika bergabung dengan kelompok paduan suara di gereja Katolik. Guru paduan suaranya mengajari dia teknik bernyanyi dan etos kerja, yang melekat dalam diri Mariska hingga sekarang. “Jadi kecintaan terhadap musik klasik muncul dari situ,” ujarnya.
Begitu lulus Sekolah Menengah Atas St. Louis 1, Surabaya, pada 2008, Mariska pun punya keinginan untuk kuliah di jurusan musik. Namun ia galau karena informasi mengenai kuliah musik masih minim.
Di tengah kegalauan itu, pada waktu yang bersamaan, situasi ekonomi keluarganya sedang jatuh. Mariska kemudian memilih tidak mendaftar kuliah untuk meringankan beban orang tuanya. Kepada sang ibu, ia mengaku enggan kuliah dan ingin langsung bekerja sebagai guru musik.
“Padahal kenyataannya enggak ada yang mau merekrut saya. Waktu itu baru lulus SMA. Mau ngelamar jadi guru, enggak punya sertifikat, kan,” tuturnya.
Ia tetap nekat melamar ke beberapa sekolah musik. Suatu hari, Mariska bertemu dengan mantan guru les pianonya dan membuat perjanjian. Mariska bisa mendapatkan les piano cuma-cuma. Tapi, sebagai gantinya, ia harus membantu pekerjaan gurunya yang mengelola event organizer kegiatan musik klasik di Surabaya.
Selama beberapa tahun, ia menjadi pembantu umum di event organizer tersebut, dari membuat kopi, menjadi liaison officer, sampai mengirimkan poster ke sekolah dan lembaga musik. “Saya bawa sendiri gulungan posternya, dimasukin ransel, terus naik sepeda motor, keliling nempelin poster-posternya,” ucapnya.
Penyanyi soprano, Mariska Setiawan mementaskan Sajak dari Ruang Juang bersama Ananda Sukarlan di Galeri Indonesia Kaya. Dok. Michael Metekohy/Galeri Indonesia Kaya
Sembari membantu mengkoordinasi kegiatan musik klasik, tebersit keinginan Mariska tampil di panggung. Saat menginjak usia 19 tahun, ia memberanikan diri mengikuti kontes Tembang Puitik Ananda Sukarlan di Surabaya pada 2011.
Kompetisi seriosa nasional itu menjadi capaian terbesar dalam hidup Mariska karena ia berhasil menjadi juara. Sejak saat itu, ia banyak terlibat dalam pementasan bersama pianis Ananda Sukarlan.
Mariska mengungkapkan, ia dan Ananda punya kesamaan yang membuat mereka cocok bekerja sama selama belasan tahun. Mereka berdua mencintai sastra. Ananda banyak menggubah musik dari sajak dan puisi, sementara Mariska suka membaca buku dan puisi. “Banyak karya Mas Ananda yang begitu saya baca musiknya, langsung nyambung sama interpretasinya,” ujarnya.
Bersama Ananda Sukarlan, Mariska tampil di sejumlah opera sejak 2011. Di antaranya opera Laki-Laki Sejati yang diangkat dari kisah dialog sastrawan Putu Wijaya. Kemudian opera Saidjah dan Adinda yang digelar di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Banten, pada 2018. Pada 17 Agustus 2024, ia dan Ananda tampil dalam acara musikalisasi puisi “Sajak dari Ruang Juang” di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta.
Saat ini Mariska dan Ananda tengah menyiapkan pertunjukan opera berjudul I Am Not for Sale karya penyair Emi Suy. Opera yang berkisah tentang Auw Tjoei Lan, perempuan keturunan Cina yang melawan perdagangan manusia di Batavia, ini rencananya akan dipentaskan tahun depan.
•••
SELAIN menyukai musik klasik, sejak kecil Mariska Setiawan jatuh cinta pada sastra. Ayahnya suka mencekoki dia dengan beragam buku sastra, seperti novel Ronggeng Dukuh Paruk karangan Ahmad Tohari dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Padahal Mariska sama sekali tak paham isinya.
Buku-buku sastra yang dia baca ketika sekolah dasar itu akhirnya baru ia pahami setelah duduk di bangku sekolah menengah atas. Sampai sekarang pun, meski hidup terpisah dengan ayahnya, Mariska masih suka tukar-menukar buku bacaan. “Kalau nulis sajak, puisi, saya kirim ke Papa minta di-review,” ucap kutu buku ini.
Kecintaannya pada musik, sastra, dan budaya kemudian mendorong Mariska mendirikan Studio Sangita pada 2020. Mariska menjelaskan, sepanjang perjalanannya bermusik, ia selalu ditemani para guru atau pelatih yang memberikan arahan. Di sinilah ia merasa mendapat pelajaran bahwa tiket untuk keluar dari keterpurukan adalah pendidikan.
Pendidikan yang dia dapat, Mariska mengimbuhkan, tak hanya menjadikannya musikus yang mahir, tapi juga bisa membawanya menjadi individu profesional yang mempunyai etos kerja. “Saya bisa jadi lebih berbudi karena banyak diajarin sosok hebat.”
Itulah yang kemudian menginspirasi Mariska tak sekadar menjadi pementas, tapi juga mendirikan sekolah. Studio Sangita menjadi cara Mariska meneruskan kebaikan dan ajaran dari para guru dan pelatih yang menginspirasinya. Ia bahkan memiliki konsultan psikologi yang membantu menciptakan skema mengajar untuk kesehatan mental murid.
Selain itu, para guru didorong menerima pilihan murid. Misalnya berkaitan dengan repertoar yang sesuai dengan karakter murid. “Jadi kita menghargai keunikan tiap individu. Karena penting ya, saya menjadi musikus kayak gini dengan karakter saya karena ada orang-orang yang percaya pada pilihan saya,” ujarnya.
Karena merasakan sendiri manfaatnya menjadi orang yang terdidik, ia pun memotivasi murid-muridnya tidak berhenti mencari ilmu. Mariska sendiri, meski tidak kuliah, terus mengembangkan ilmunya dengan mengikuti berbagai kelas pelatihan. “Saya kan guru juga. Jadi harus kasih contoh ke murid-murid bahwa ilmu, kalau enggak diasah, lama-lama habis.”
Mariska pernah mengikuti master class Aning Katamsi, penyanyi sopran Indonesia, di Jakarta. Ia juga mengikuti langsung master class Profesor Renate Faltin di Berlin, Jerman, dan Profesor Ildiko Raimondi di Salzburg, Austria, yang merupakan kota kelahiran maestro musik klasik Wolfgang Amadeus Mozart.
Dengan pengalaman yang cukup panjang di musik klasik, Mariska pun menjumpai berbagai tantangan. Lekat dengan kehidupan panggung membuat ia selalu dilihat banyak orang. Ia tak lepas dari kritik sampai dibandingkan dengan artis lain.
Setelah lebih dari satu dekade berkarier, Mariska menyadari bahwa tidak ada gunanya berusaha menjadi orang lain. “Ujung-ujungnya balik lagi ke dalam diri sendiri. Saya kepingin menjadi versi terbaik Mariska Setiawan,” ucapnya.
Ia juga bersyukur musik klasik Indonesia cukup berkembang dalam lima tahun terakhir. Mariska mengamati peminat tembang puitik atau musik klasik Indonesia ini makin banyak.
Dulu, ketika dia awal belajar musik klasik, Mariska menambahkan, banyak yang berkiblat ke Eropa. Kini sudah mulai banyak yang menggeluti musik klasik Indonesia, terutama tembang puitik. Bahkan, dia menjelaskan, banyak pula yang penasaran dan berakhir menggali lebih dalam tentang sastra.
Mariska mengatakan musik klasik yang dipandang hanya bisa dinikmati kalangan tertentu sudah tak lagi relevan. Musik klasik kini tak lagi identik dengan musik untuk persembahan kepada raja dan dipentaskan di istana seperti di Eropa zaman dulu.
Bahkan Mariska menilai musik klasik Indonesia, termasuk tembang puitik, justru sangat merakyat. Itu karena banyak penyair Indonesia yang berasal dari kalangan rakyat biasa.
Jadi, dia menambahkan, puisi-puisinya yang menginspirasi tembang puitik banyak membahas kehidupan sehari-hari. Misalnya tentang suasana pagi, kegiatan menyapu halaman, minum kopi, dan kritik terhadap pemerintah. “Itu spirit yang berbeda dengan musik klasik Eropa,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo