Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas pertunjukan para maestro di Panggung Maestro II.
Penampilnya adalah maestro dari Solo, Gowa, dan Karangasem.
KEDUA tangan Kanjeng Raden Nganten Tumenggung Suyati Tarwo Sumosutargio bergerak lemah gemulai. Sambil duduk di kursi roda, dia memperagakan beberapa gerakan tari Golek Montro, sebuah tari karya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII dari Pura Mangkunegaran Surakarta. Pandangan mata Suyati mengikuti arah gerakan kedua tangannya yang sedang menari. Senyum pun tak lepas menghiasi bibirnya.
Suyati—yang lebih dikenal dengan panggilan akrab Bu Tarwo atau Eyang Tarwo—adalah seorang maestro tari gaya Mangkunegaran Surakarta. Pada usianya yang saat ini sudah 90 tahun, masih tampak jelas semangat Suyati saat menari. Berbincang dengan Tempo di kediamannya di Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah, 4 Januari 2024, Suyati menuturkan pengalamannya menjadi penari di Pura Mangkunegaran Surakarta.
Perempuan kelahiran Surakarta, 27 Mei 1933, itu mulai belajar menari saat usianya sepuluh tahun. Kala itu Mangkunegara VII bertakhta sebagai pemimpin di Pura Mangkunegaran Surakarta. Awalnya Suyati berlatih di kampungnya, Gondowijayan, Kelurahan Timuran, Kecamatan Banjarsari. Dia berguru kepada Ki Demang Ponco Sewoko, seorang penari yang biasa menarikan Antasena, sekaligus juga abdi dalem Pura Mangkunegaran. Berkat kesungguhan dan ketekunannya dalam berlatih, bakat Suyati pun terasah hingga ia pandai menari. Berkat kepiawaian menari dan saran abdi dalem Pura Mangkunegaran, Bei Toro, Suyati pun akhirnya direstui Mangkunegara VII dan masuk asrama pura. Tak hanya berlatih tari, Suyati pun belajar tentang budi pekerti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Basri Baharuddin Sila, maestro keso-keso asal Kabupaten Gowa, di Sanggar Batara Gowa/Tempo/Didit Hariadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Latihan tari wajib dilakukan setiap Rabu pagi dan Sabtu malam di Pendapa Agung Pura Mangkunegaran. Ada sejumlah pelatih tari dengan spesialisasi masing-masing. Pelatih perempuan di sana adalah Ibu Krenten, Bei Mintoraras, Bei Mardusari, dan Rudjinem. Adapun pelatih laki-laki adalah Bei Trasno dan Bei Sasmoyo. Selain para pelatih tari, pada masa pemerintahannya, Mangkunegara VII juga sering mengawasi secara langsung para penari di Pura Mangkunegaran saat berlatih, bahkan memberi instruksi. “Para pelatih sangat berdisiplin. Bu Bei Mintoraras tergolong keras dalam mengajar agar penari bisa menari dengan baik,” ucap Suyati.
Dengan menari, ia tampil di berbagai negara. Bagi dia, menari merupakan bentuk pengabdian yang dijalaninya dengan bahagia. Seminggu dua kali, dia masih aktif melatih menari dan menunggui para penari berlatih di Pura Mangkunegaran dalam Pisowanan Rebon.
Beberapa tari yang diajarkan di Pura Mangkunegaran adalah tari Golek, Gambyong, Wireng, Langendriyan, dan Bedhaya. Salah satu tarinya, yaitu Golek Montro, diciptakan Mangkunegara VII. Suyati mengatakan tari Golek Montro biasanya dipersembahkan dalam setiap pergelaran acara di Pura Mangkunegaran. Tari tersebut dibawakan secara khusus untuk menyambut tamu acara. “Jumlah penarinya tidak ada ketentuan, boleh berapa saja,” ujarnya.
Tari Golek Montro pulalah yang dipentaskan Suyati bersama empat penari Pura Mangkunegaran Surakarta lain dalam pertunjukan bertajuk Panggung Maestro yang diselenggarakan di Gedung Kesenian Jakarta, 21-22 Desember 2023. Keempat penari pendamping Suyati itu adalah Citra Wahyu Arsiani, Novita Sofia Iskandar, Ina Vivana Putri, dan Sri Hastuti. Bersama mereka juga ada pemain kendang dan pengeprak dari kelompok karawitan Pura Mangkunegaran, Rustomo Widodo Muktiono dan Abisha Mahon Wilarto Putra. Di mata penari muda, Suyati sangat sabar dan telaten. Ia juga menunggu dan memberi evaluasi kepada mereka. “Eyang memberi masukannya kepada kami,” kata Citra, yang diamini pendamping lain.
Selain tari Golek Montro, beberapa tari lain dengan gaya Mangkunegaran kerap ditampilkan di berbagai momen. Bagi beberapa penari, Suyati melanjutkan, gerakan tari gaya Mangkunegaran cukup sulit dikuasai dengan cepat. “Karena gaya Mangkunegaran itu di tengah-tengah, antara gaya tari Yogyakarta dan gaya tari Surakarta, ada ciri khasnya sendiri,” tuturnya lagi.
Maestro tari Kanjeng Raden Nganten Tumenggung Suyati Tarwo Sumosutargio (kedua dari kanan) bersama sejumlah penari menampilkan tari Golek Montro saat perglearan Panggung Maestro II di Gedung Kesenian Jakarta, 21 Desember 2023./Tempo/Febri Angga Palguna
Kepiawaian Eyang Tarwo menurunkan ilmu kepada anak-anak muda menjadi usaha untuk melestarikan seni tari di Pura Mangkunegaran. Gusti Raden Ajeng Ancillasura Marina Sudjiwo, Pengageng Kawedanan Panti Budaya Mangkunegaran, mengatakan saat ini tak kurang dari 20 tarian yang secara detail dan jenisnya sudah didata. “Masih banyak yang harus digali karena banyak arsip,” ujar Gusti Sura—sapaan Ancillasura Marina Sudjiwo—kepada Tempo. Umumnya tari-tarian ini diciptakan pada masa Mangkunegara I hingga IX. Tari-tari tersebut antara lain Gambyong, Golek, Srimpi, Bedhaya, dan Wireng.
Upaya pelestarian lain adalah riset dari arsip dan sejumlah dokumentasi serta latihan dan pementasan secara rutin. Tak hanya abdi dalem, masyarakat umum pun diperbolehkan ikut berlatih. Para pengajarnya antara lain Eyang Tarwo dan penari senior lain, Eyang Rusini. Keduanya rutin datang melatih dalam Pisowanan Rebon.
•••
TAK berbeda dengan Kanjeng Suyati, maestro tari Legong dari Karangasem, Bali, Anak Agung Ayu Kusuma Arini masih lincah tangannya ketika ngagem. Lehernya sigap digerakkan untuk nyeledet. Gerak matanya tajam melihat ke atas dan bawah. Meski telah berusia 76 tahun, semangat Kusuma Arini tidak padam seperti kebanyakan perempuan paruh baya lain.
Saat Tempo bertandang ke rumahnya di Desa Sibanggede, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali, Kusuma Arini sudah tampak siap dengan setelan baju kebaya dan beberapa arsip mengenai kegiatan seninya. Pensiun sebagai dosen di Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar pada 2012, saat ini kegiatannya lebih banyak di rumah. “Kadang-kadang diminta melatih tari ketika ada persiapan kegiatan adat,” katanya kepada Tempo, 3 Januari 2024.
Anak Agung Ayu Kusuma Arini dan dua rekannya, Ida Ayu Wayan Supraba, 70 tahun, serta Ida Ayu Ketut Kartika, 77 tahun, menampilkan tari Legong dalam acara yang dihelat Yayasan Taut Seni Foundation di Gedung Kesenian Jakarta pada 21 Desember 2023. “Sangat beruntung di usia senja ini masih bisa tampil. Apalagi disebut maestro, luar biasa,” ujarnya semringah. Perjalanan seni nenek lima cucu ini bisa dikatakan tidak terlalu berliku. Cucu Raja Karangasem terakhir, Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem, itu merasa beruntung mendapat dukungan sejak dini. “Pernah kakek saya memberi hadiah cincin ketika saya menari di Lombok,” tuturnya.
Kanjeng Raden Nganten Tumenggung Suyati Tarwo Sumosutargio (tengah) bersama empat penari dan dua pengrawit (pemain karawitan) dari Pura Mangkunegaran Surakarta di rumah Suyati, Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah, 4 Januari 2024./Tempo/Septhia Ryanthie
Mengenal tarian sejak kelas II sekolah dasar, Kusuma Arini mengatakan secara tidak sengaja diajar oleh seniman asal Kabupaten Badung, yakni Ida Bagus Raka Bongkasa, pada 1954. Ketika itu Ida Bagus Raka Bongkasa bersama keluarganya mengungsi ke Karangasem karena ada pemberontakan Marsidi cs di Bali. “Awalnya belajar tari Candra Metu, Margapati, dan Panji Semirang sebelum belajar tari Legong,” ucapnya.
Pada 1956, Kusuma Arini sudah beberapa kali berkeliling Bali untuk berpentas. Momen yang diingatnya adalah menari di hadapan Presiden Sukarno di Inna Bali Hotel pada 1958-1959. Selain itu, ia pernah menari di Buleleng di hadapan Gubernur Sunda Kecil Sarimin Reksodihardjo. “Saya juga sempat dipangku oleh tamu asal India. Itu sangat berkesan,” tuturnya.
Kakeknya dikenal getol dalam berseni. Ia memprakarsai pembangunan Taman Ujung dan Tirta Gangga. Melihat cucunya belajar tari, ia akhirnya meminta seniman tari asal Denpasar, Ida Bagus Boda, dan seniman asal Kuta, Pan Lotring, mengajar menari. Dari dua seniman ini, Anak Agung Ayu Kusuma Arini belajar tari Legong khas Badung. Tidak hanya itu, bersama saudaranya, Ida Ayu Ketut Kartika, mereka belajar tari Legong khas Saba dari I Gusti Raka Saba pada 1958.
Meski di Puri Karangasem minim kegiatan seni, khususnya menari, Kusuma Arini menyebutkan kakeknya membentuk kelompok seni di perdesaan, seperti di Desa Selat, Ulakan, dan Rendang dengan diberi imbalan. “Katanya dulu diberikan imbalan untuk menggarap lahan atau sawah milik Puri Karangasem dengan sistem bagi hasil,” ujarnya.
Kusuma Arini menjelaskan, pada umumnya ada tiga gaya tarian Legong di Bali, yaitu Peliatan, Saba, dan Badung. Gaya Peliatan bersifat eksklusif karena hanya dibawakan di daerah Peliatan, Ubud, untuk wisatawan. Gaya Saba pun hanya berkembang di wilayah Blahbatuh, Gianyar. Yang banyak ditarikan di Bali adalah gaya Badung. “Karena gerakannya lebih sederhana. Gaya ini pula yang saya bawakan di Jakarta kemarin,” ucapnya. Ia menari bersama Ida Ayu Wayan Supraba dan Ida Ayu Ketut Kartika.
Ada kisah menarik dari Pura Mangkunegaran dan Kerajaan Karangasem. Keduanya rupanya sudah menjalin hubungan yang sangat baik hingga soal tari-tariannya. Kusuma Arini juga menuliskannya dalam buku Tari Legong dari Kajian Lontar ke Panggung Masa Kini. Ia menyebutkan Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem pernah membawa tari Legong dalam acara pernikahan Mangkunegara VII pada 1920 di Keraton Solo. “Konon, istilah tari Legong Keraton muncul setelah ini,” katanya.
Kanjeng Raden Nganten Tumenggung Suyati Tarwo Sumosutargio di Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah, 4 Januari 2024./Tempo/Septhia Ryanthie
Diundangnya Raja Karangasem di acara pernikahan Raja Solo bukan tanpa sebab. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII pada 1918 pernah berkunjung ke Puri Karangasem dan mendapat suguhan pementasan tari Legong Semarandana, yang salah satu penarinya menggunakan topeng Rangda. Pada 1937 dan 1941, Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem kembali membawa rombongan seni tari Legong ke Solo. Kunjungan terakhir diadakan dalam rangka perayaan 25 tahun Mangkunegara VII bertakhta. Saat itu Raja Karangasem tidak hanya menyajikan tari Legong, tapi juga mementaskan tari Arja dan Topeng dari Ulakan. Para penari mementaskan lakon Ken Arok Mati.
“Menurut cerita, hubungan Keraton Solo dengan Puri Karangasem terjalin karena sama-sama merupakan keturunan Raja Airlangga,” tuturnya. Ia menjelaskan, arsip foto kunjungan Mangkunegara VII ke Karangasem ada di Perpustakaan Mangkunegaran Solo.
•••
DARI Makassar, Sulawesi Selatan, hadir musikus tradisional yang mengiringi tari Pakarena Bura’ne. Mereka musikus yang mendapat gemblengan dan pengalaman bermusik yang sangat tangguh. Adalah Sirajuddin Daeng Pata, pemusik yang sekaligus bertanggung jawab dalam musik pengiring tarian Pakarena Bura’ne Kasuwiang. Dia adalah paggandrang (pengendang) dari Gowa. Ia mendapat kemampuan mengendang saat belajar di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Makassar diajari oleh mendiang Daeng Manda pada 1984. “Jadi setiap kali almarhum bikin karya (tari) selalu minta bantuan kepada saya untuk diiringi,” ucap Daeng Pata, 4 Januari 2024.
Sebelum mengiringi tarian, Daeng Pata akan menanyakan jenis tarian yang akan ditampilkan untuk mengetahui gerak dan makna yang disampaikan. Seperti tari Pakarena yang ditampilkan saat era Kerajaan Gowa, makna filosofinya adalah menghalau malapetaka dan mengobati orang sakit. Dari sana kemudian bunyi kendang dan gerak tarinya disesuaikan. Ia pun menjelaskan dua jenis kendang Makassar, yakni dimainkan dengan tangan (tumbu) dan menggunakan stik atau pemukul (tunrung).
Ia belajar irama kendang dari mendiang Daeng Jolla dan Daeng Serrang hingga kini. Sejak awal, ia belajar melihat dan mendengar tabuhan dari pengendang belakang (appatannang) yang memainkan ritme dasar dan pengendang depan (appalari) yang memainkan variasi. Karena itu, pengendang harus menguasai tabuhan dari awal hingga akhir. Variasi tersebut juga yang muncul dalam musik ketika dimainkan dalam acara pernikahan atau sunatan.
Daeng Serang Dakko mulai belajar main kendang sejak duduk di kelas I sekolah dasar. Ia belajar irama dari alam secara otodidaktik, meskipun ia berasal dari keluarga pengendang. Dia juga membuat kendang sendiri. “Waktu itu saya buat sendiri kendang dari kulit kambing,” tutur Daeng Serang di rumahnya di Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Setelah mampu mengendang, barulah ia mulai belajar kepada neneknya tentang hal dasar, termasuk nama jenis pukulan. Ia mengaku sulit mempelajari kendang Makassar. Sebab, pemain harus menguasai 12 irama dasar seperti yang dilakukan pengendang bagian belakang. Mereka membunyikan kendang dengan pelan-pelan kemudian nanti disambut oleh pengendang depan selaku bagian variasi dalam pementasan. “Yang sulit iramanya itu saat peralihan dari kendang belakang ke depan,” ucapnya. “Jadi dibutuhkan saling kode ketika ada yang lupa,” ujarnya.
Satu lagi pemusik yang ikut andil dalam iringan Pakarena Bura’ne di Gedung Kesenian Jakarta malam itu adalah Basri Baharuddin Sila, 71 tahun, maestro keso-keso asal Kabupaten Gowa. Keso-keso adalah alat musik gesek semacam rebab. Ia mempelajari alat musik itu dari mendiang Mappaselle Daeng Gau yang mengajar tanpa partitur. Hal mendasar yang harus dipelajari saat bermain keso-keso adalah cara menggeseknya. Mirip kendang, ada istilah yang harus diperhatikan, yaitu tunrung/tumbu se’re, rua, dan tallu. Tunrung adalah stik yang terbuat dari tanduk kerbau dan tumbu adalah memukul kendang dengan tangan.
Maestro tari Anak Agung Ayu Kusuma Arini menunjukkan foto saat masih muda di Pura Besakih ketika upacara Eka Dasa Rudra pada 1979./Tempo/Made Argawa
Dengan kemampuan yang beragam, mereka berlatih selama empat kali pertemuan di Makassar. Mereka mengiringi para penari yang akan tampil dan dikoordinasi oleh koreografer Wiwiek Sipala. Butuh belasan tahun bagi Wiwiek untuk merekonstruksi tari Pakarena Bura’ne Kasuwiyang bersama gurunya, Daeng Manda. Ini bermula dari rasa penasaran Wiwiek yang telah belajar tari Pakarena dari banyak guru. “Semuanya penari perempuan, semestinya kan ada untuk penari laki-laki,” ucapnya kepada Tempo, 4 Januari 2024.
Lalu datanglah ia kepada Daeng Manda pada 1994. Gurunya ini pun menanyakan keseriusan Wiwiek. Dia juga harus bersabar dalam waktu yang panjang. Sebab, sang guru tak langsung menurunkan ilmunya. Ketika Wiwiek berkunjung, gurunya kadang hanya mengajaknya mengobrol atau bahkan tidak beraktivitas sama sekali. Gurunya kadang bercerita dan memberinya pemahaman. Rupanya, ada sebuah tarian Pakarena untuk laki-laki berdasarkan informasi dari Daeng Manda yang neneknya adalah penari kerajaan. Tarian itu dulu di Kerajaan Gowa ditampilkan dalam acara ritual guna mengusir bencana atau wabah atau gagal panen. Lalu tarian ini berubah fungsi untuk menyambut tamu serta mengantar dan menyambut pasukan perang. Daeng Manda sempat mempelajarinya dari catatan lontar yang masih tersisa dan memorinya. Namun ia tak sempat menarikannya karena terjadinya peristiwa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.
Daeng Manda bersama putrinya, Nurlia, dan Wiwiek lalu merekonstruksi tarian tersebut. Tari ini kemudian dipentaskan di sebuah acara di replika Istana Kerajaan Gowa dan festival di Lombok pada 2010 dan 2012. Itu juga dimulai dengan sebuah ritual. Pergumulan rekonstruksi tari, musik, dan kostumnya pun lekat dengan tradisi dan ritual. Bahkan, hingga menjelang Daeng Manda meninggal, Wiwiek masih terus menggali pemahaman spiritualnya kepada sang guru. Menjelang pementasan Panggung Maestro, Wiwiek beruntung masih menemukan delapan penari lama. Ia juga harus melengkapi jumlah penari menjadi 12 dan mendapatkan penari dari Jakarta dengan karakter ketubuhan tari yang berbeda.
•••
BAGI Restu Imansari, produser sekaligus direktur artistik Panggung Maestro, acara ini bertujuan menampilkan kembali akar budaya yang selama ini hilang. ”Panggung Maestro ini tujuannya secara sadar adalah menjaga maestro untuk ke depan,” tuturnya. Karena itu, ia menyiapkan dengan serius setiap elemennya. Tak hanya para penampil, ia pun membawa set perangkat gamelan Bali tua Smara Pegulingan yang cukup bersejarah. “Ini gong yang kecil dan tua biasanya ada di puri atau griya kasta tertentu. Bukan gong kebyar yang umum dipakai,” kata Restu.
Kurator acara Sulistyo Tirtokusumo menjelaskan, kehadiran para maestro kali ini cukup menarik. Selama ini karya-karya Pura Mangkunegaran belum banyak terekspos. Keberadaan maestro Suyati menjadi penting. Apalagi ketika diketahui ternyata Pura Mangkunegaran mempunyai hubungan sejarah dengan Kerajaan Karangasem. Maestro dan cucu dari Raja Kerajaan Karangasem masih ada. “Tadinya penasaran dengan nama tari Legong Keraton. Setelah dapat informasinya, ternyata cukup menarik,” ucap Sulistyo.
Penampilan para maestro yang sudah sepuh, kata Sulistyo, memperlihatkan dedikasi besar mereka. Panggung Maestro diadakan untuk menghargai kiprah mereka. “Bukan mengeksploitasi ketuaan mereka, justru mereka merasa dihargai, diorangkan,” ujarnya. Ia bercerita, penari Topeng Cirebon, Mimi Tumus, yang semula hanya tergolek di tempat tidur, setelah ditawari menari malah bersemangat dan bisa berjalan lagi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Septhia Ryanthie dari Surakarta, Made Argawa dari Karangasem, dan Didit Hariadi dari Gowa berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Energi Para Sesepuh "