Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas para maestro Di Panggung Maestro II.
Pentas ini menampilkan maestro dari Surakarta, Karangasem, dan Gowa.
SEJUMLAH foto lawas Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII dari Pura Mangkunegaran Surakarta dan Raja Karangasem terakhir, Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem, yang duduk berdua ditampilkan. Ada pula foto para penari Legong; pengrawit gamelan Smara Pegulingan; Mangkunegara VII dan istrinya, Gusti Ratu Timur; serta upacara Pelebon Raja Karangasem dalam acara pentas pada Kamis malam itu, 21 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto-foto tersebut menjadi salah satu bukti kehangatan hubungan Pura Mangkunegaran Surakarta, Jawa Tengah, dengan Kerajaan Karangasem, Bali, di masa lalu. Mangkunegara VII dari Pura Mangkunegaran dan Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem saling berkunjung dan mempersembahkan tari-tarian. Tari Golek Montro dan Legong Keraton (awalnya disebut Legong Lasem) menjadi tari persembahan saat kunjungan tersebut. Kedua tarian ini kembali dihadirkan di pentas Panggung Maestro II dan dimainkan langsung oleh penari yang menjadi saksi dan pelaku sejarah kala itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duduk di kursi di tengah panggung, Kanjeng Raden Nganten Tumenggung Suyati Tarwo Sumosutargio, 90 tahun, bergerak perlahan. Ia tampak khusyuk menggerakkan tangan dan lehernya. Senyampang ia menari dan menggerakkan sampur (selendang), empat penari Pura Mangkunegaran masuk dari sisi kiri panggung dengan langkah perlahan dan gerakan gemulai. Mereka mengikuti gerakan Suyati dalam sebuah formasi segi empat atau sejajar dengan tetap menempatkan Suyati di tengah. Suyati tidak mengenakan kostum menari seperti empat penari lain. Dia hanya berkain dan berkebaya dengan sanggul sederhana. Mereka tengah menarikan tari Golek Montro, sebuah koreografi ciptaan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII.
Yang tak kalah menarik adalah ketika tiga perempuan sepuh maestro Legong dari Bali, Anak Agung Ayu Kusuma Arini, 76 tahun, dan dua rekannya, Ida Ayu Wayan Supraba (70) serta Ida Ayu Ketut Kartika (77 tahun), masuk panggung. Arini melakukan gerakan dengan posisi rendah seperti hampir jongkok dan terjaga keseimbangannya. Ia menari menjelajahi semua sisi panggung dari sisi kiri dan kanan dengan langkah kecil seiring dengan alunan dinamis gamelan Smara Pegulingan. Set gamelan tua dan bersejarah ini didatangkan langsung dari Bali. Set gamelan tersebut juga digunakan saat menyambut tamu dari Solo di Karangasem serta dibawa ke Mangkunegaran dalam kunjungan ke Solo.
Akan halnya penampilan tari Pakarena Bura’ne dari Makassar dibawakan 12 penari laki-laki. Tarian ini dimulai dengan urutan seperti ritual. Seorang laki-laki menjalankan semacam doa dengan seperangkat alat upacara. Disambut musik yang mengiring, kendang bertalu dengan cukup atraktif dipadu dengan bebunyian keso-keso atau semacam rebab. Seiring dengan bunyi tabuhan, 12 penari laki-laki bergerak perlahan dari kedua sisi panggung. Tangan kiri mereka memegang semacam tameng kecil setinggi dada. Adapun tangan kanan mereka merentang lalu menekuk setinggi dada. Mereka berdiri berhadapan dalam barisan enam-enam dengan posisi diagonal sambil meletakkan tombak di ujung panggung. Setelah itu, mereka bergerak perlahan membentuk silangan seperti bentuk tanda plus dalam posisi membelakangi penonton.
Mendiang Daeng Manda bersama Wiwiek Sipala merekonstruksi tari lawas ini. Uniknya, kostum yang dipakai penari juga merupakan kreasi Daeng Manda. Setiap proses dalam upaya rekonstruksi ini pun didahului dengan mempertimbangkan waktu atau hari baik. “Daeng Manda sangat memperhatikan itu. Bahkan dalam membeli atau menggunting kain untuk kostum pun harus mencari hari baik,” ujar Wiwiek.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kehangatan dari Masa Lalu"