Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AIR mata Nicodemus Risakota mengalir saat menggenggam secarik foto Marthen Indey dan keluarganya. Pria 72 tahun itu merasakan haru saat menceritakan akhir kisah hidup ayah angkatnya tersebut. Nicodemus mengatakan Marthen berjuang habis-habisan demi membebaskan Papua dari Belanda, tapi miskin di masa senja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pengujung hayatnya, Marthen menderita sejumlah penyakit komplikasi. Ia sempat menolak dibawa ke rumah sakit. Kepada Tempo, Nicodemus mengaku merawat Marthen hingga tutup usia pada 17 Juli 1986 saat berusia 74 tahun. “Biar meninggal di rumah saja,” kata Nicodemus, menirukan ucapan Marthen kala itu. Nicodemus kini tinggal bersama keluarganya di Kampung Kertosari, Distrik Sentani Barat, Jayapura, Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah didesak, Marthen akhirnya bersedia dirawat di Rumah Sakit Umum Jayapura. Tapi ia hanya mampu membayar perawatan di kelas paling rendah. Kepada Nicodemus, Marthen meratapi kemiskinannya itu di tengah rasa sakit. “Saya berjuang untuk bangsa dan negara ini, tapi kenapa saya ditelantarkan?” ujar Nicodemus mengenang pernyataan Marthen. Namun, setelah ada petinggi pemerintahan daerah dan Tentara Nasional Indonesia yang menjenguk, Marthen akhirnya pindah ke ruang perawatan dengan kelas paling mahal.
Sentani merupakan kawasan terakhir perjalanan hidup Marthen sebelum malang-melintang memperjuangkan kebebasan Irian Barat dari penjajahan Belanda. Ia pernah ikut berjuang di luar negeri. Marthen ikut dalam Delegasi Irian Barat ke markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, pada 19-24 Desember 1962.
Marthen Indey (kedua kanan) saat mulai sakit dan Nikodemus Risakota (kedua kiri). Repro/Tempo/Francisca Christy Rosana
Marthen dan rombongan datang setelah Perjanjian New York berhasil dicetuskan pada 15 Agustus 1962. Perjanjian ini menegaskan bahwa United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) akan menyerahkan Irian Barat ke tangan Indonesia. Rekan-rekan Marthen yang pernah jadi pentolan Komite Indonesia Merdeka (KIM) juga ikut berjuang di PBB, seperti Elly Uyo dan Kaleb Hamadi.
Peneliti dan mantan wartawan Tempo, George Junius Aditjondro, pernah menelusuri kehidupan dan perjuangan Marthen. Hasil penelitian itu dipublikasikan pada Februari 1987 dengan judul “Marthen Indey, Pilar Perjuangan Pembebasan Irian Barat di Jayapura”. “Dia secara aktif ikut dalam kampanye memperpendek masa pemerintahan transisi PBB,” tulis George dalam hasil penelitiannya.
Pulang dari New York, Marthen ke Jakarta dan menyerahkan Piagam Kotabaru kepada Sukarno. Isinya menegaskan penduduk Irian Barat tetap setia pada Indonesia. Kotabaru tak lain adalah sebutan bagi Jayapura ketika Belanda menyerahkan Irian Barat ke UNTEA.
Karier Marthen berlanjut ke Senayan, Jakarta, pada Mei 1963. Ia ditunjuk pemerintah sebagai anggota Majelis Umum Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Di gedung parlemen, Marthen terus-menerus menyuarakan perlunya transmigrasi gaya baru di setiap daerah. Gagasan ini pernah disampaikan Marthen dalam pidatonya di MPRS pada 17 Juni 1966. “Transmigrasi harus diatur sehingga tidak menyusahkan masyarakat daerah yang lebih dulu ada,” ucap Marthen dalam pidatonya.
Rekan sejawatnya, Corinus Krey, juga masuk ke MPRS. Semasa menjadi anggota parlemen, Marthen dan Corinus disebutkan tinggal di Asrama Mahasiswa Papua di Jakarta. “Setiap hari ketemu,” tutur Max Krey, anak kedua Corinus, kepada Tempo di Jakarta, pada Sabtu, 29 Juli lalu. Asrama yang dimaksud adalah Mess Cenderawasih I yang sekarang berlokasi di Jalan KH Mas Mansyur Nomor 63, Kelurahan Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Menurut penuturan Ketua RW 09 Kelurahan Kebon Melati yang sekarang ikut menempati Mess Cenderawasih, Benny Maran, Corinus dan Marthen tidak pernah tinggal di sana. Seingat dia, hanya pahlawan Papua Johannes Abraham Dimara yang pernah tinggal di mes. “Dimara dulu tinggal di sini,” kata Benny Maran saat ditemui pada Rabu, 9 Agustus lalu. Benny mengklaim sudah tinggal bersama dengan warga Papua lain, termasuk Dimara, sejak mes diresmikan pada 17 September 1964.
Di tengah masa tugasnya di MPRS, Marthen diangkat menjadi mayor TNI tituler oleh Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih pada 1 Agustus 1964. Marthen kemudian juga sempat diminta bantuan untuk bekerja di Kantor Gubernur Irian Barat pada 1 Agustus 1965. Di tahun yang sama, Marthen juga sempat mengikuti Konferensi Asia-Afrika di Jakarta.
Meski menjadi seorang nasionalis, Marthen justru sempat dituduh terlibat dalam gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka pada tahun tersebut. Dugaan keterlibatan Marthen di OPM ini dibantah oleh Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua (PDP) Mohammad Thaha Alhamid. “Saya kira tidak,” ujar Thaha saat ditemui di Jayapura pada Senin, 24 Juli lalu. Thaha bertemu dengan Marthen pada akhir 1980-an. PDP pernah dipimpin oleh Theys Hiyo Eluay, tokoh yang menyuarakan kemerdekaan Papua.
Marthen menyelesaikan tugasnya di MPRS pada 1968. Saat itu usianya sudah memasuki 56 tahun. Marthen kemudian terbang meninggalkan Jakarta dan kembali ke kampung halaman. Pada tahun yang sama, Presiden Soeharto naik menjadi presiden menggantikan Sukarno. Belakangan, Marthen kerap menceritakan kekecewaannya terhadap pemerintah pada masa Orde Baru di bawah Soeharto karena kesejahteraan di Papua belum juga terwujud.
Di akhir hayatnya, Marthen pernah menyewakan kediamannya untuk dijadikan bioskop bagi masyarakat umum. Rumah tersebut diatur sedemikian rupa dan diisi layar yang dibuat secara manual. Bioskop ini dinamai Dafonsoro, yang disewa oleh seorang pengusaha India di Papua. "Putar film India,” tutur Nicodemus. Bioskop itu digemari para pendatang. Selain memainkan film India, beberapa film Indonesia yang dibawa pengusaha dari Jakarta juga diputar di rumah Marthen.
Hasil penyewaan rumah digunakan keluarga Marthen untuk mengisi kebutuhan dapur. Untuk urusan bisnis ini, istri Marthen, Agustina Adonia Heumassy, yang langsung bernegosiasi dengan penyewa. Di masa itu, Marthen sudah pensiun dari semua pekerjaan di kantor gubernur. “Usianya sudah 73 tahun mungkin saat itu,” ujar Nicodemus. Kala itu Marthen hanya menerima uang pensiun dari kantor gubernur dan jatah beras dan honor sebagai mayor tituler.
Marthen Indey bersama istrinya, sewaktu menjadi anggota MPRS, sekitar 1960-an/Majalah Prisma Edisi Februari 1987
Marthen dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kesuma Trikora, Waena, Jayapura. Pada 14 September 1993, Marthen menerima gelar pahlawan dari pemerintah lewat usul Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jayapura kala itu, Yan Pieter Karafir. Istri Marthen, Agustina, meninggal pada 18 Januari 2006 pada usia 93 tahun. Ia sempat dirawat di fasilitas kesehatan kelas naratama atau VIP yang menggunakan nama suaminya, Rumah Sakit Marthen Indey, di Jayapura.
Nama Marthen Indey juga diabadikan di sejumlah fasilitas lain. Salah satunya Lapangan Udara Marthen Indey di Wamena, Papua, milik TNI Angkatan Udara. “Dia putra Papua, awalnya polisi Papua, lalu berbalik arah melawan Belanda,” kata Kepala Subdinas Sejarah di Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Kolonel Sus Maylina Saragih, Kamis, 10 Agustus lalu.
Jasad Marthen Indey dipindahkan ke Sentani. Pemerintah setempat membangun kompleks makam khusus untuk Marthen dan Agustina dengan sepasang nisan berkeramik hijau muda. Ini sesuai dengan wasiat Agustina kepada Nicodemus agar mereka kelak mereka bisa dikuburkan bersama. “Ini wasiat Mama,” tutur Nicodemus.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sinema India di Pengujung Usia"