Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANCAMAN disintegrasi terus membayangi Indonesia dengan konflik berkepanjangan di Papua. Pemerintah Indonesia mencoba membuat kebijakan keamanan, sosial-budaya, dan ekonomi, termasuk melalui otonomi khusus serta pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Namun berbagai pendekatan dan kebijakan itu belum mampu menurunkan tingkat konflik di Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini Badan Riset dan Inovasi Nasional) pada 2007 mempertanyakan ulang nasionalisme Indonesia. Kajian lain LIPI pada 2009 menemukan empat sumber konflik di Papua, yakni sejarah, integrasi, status, dan identitas politik. Kajian itu memperlihatkan ada perbedaan tajam dalam konstruksi nasionalisme Indonesia dan nasionalisme Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kajian Thung Ju Lan pada 2013 juga menjelaskan nasionalisme di Papua. Menurut dia, “Kita perlu berhati-hati karena pemahaman nasionalisme di wilayah ini bisa mempunyai arti yang berbeda dengan apa yang kita maksudkan, terutama jika nasionalisme yang kita bicarakan lebih mengacu pada nasionalisme Indonesia.” Thung Ju Lan menunjukkan kajian Chauvel dan Widjojo dkk yang menyatakan bahwa “nasionalisme Papua semakin terkonstruksi sebagai akibat dari kekecewaan sejarah terhadap proses integrasi ke Indonesia”.
Saprilla (2019) dalam kajiannya tentang siswa Papua dan nasionalisme menunjukkan persoalan keindonesiaan di antara generasi muda Papua tidak bisa dianggap sebagai persoalan sederhana. Saprilla menemukan fakta bahwa di ruang tamu rumah orang tua salah satu siswa sekolah menengah atas di Jayapura terpampang bendera Bintang Kejora berukuran cukup besar. Saprilla menganalisis, organisasi bawah tanah bekerja mengkampanyekan gerakan Papua merdeka. Dengan demikian, guru-guru di Papua memiliki tugas ganda mengajarkan dan menanamkan paham keindonesiaan di sekolah.
Kondisi itu tentu ironis dibanding upaya yang dirintis para tokoh Papua yang telah menyatukan Papua kembali ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumitnya perjuangan panjang sejak 1945 hingga 1969 mendorong Papua menjadi bagian dari Indonesia. Keberhasilan perjuangan ini dipengaruhi oleh peran para tokoh itu sehingga pemerintah menetapkan mereka sebagai pahlawan nasional untuk menghargai dan mengenang jasa-jasa mereka. Tokoh Papua tersebut adalah Frans Kaisiepo, Marthen Indey, dan Silas Papare.
Frans Kaisiepo, putra Papua asal Biak, bukan hanya orang Papua pertama yang secara resmi bertemu dengan tokoh-tokoh Indonesia di Malino. Frans juga salah seorang elite Papua yang sejak awal bersinggungan dengan keindonesiaan yang berkomitmen mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Papua. Frans tak hanya pernah menjabat Gubernur Irian Barat, tapi juga menjadi Ketua Penggerak Musyawarah Besar Rakyat Irian Barat yang mempersiapkan langkah-langkah penyatuan Irian Barat menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Pada 1968-1969, Frans menjadi Kepala Pemerintahan Komando Proyek XII Irian Barat. Suatu beban tanggung jawab yang sangat berat bagi seorang putra Papua saat itu karena menentukan keberhasilan Pepera. Al Rahap (2010) menyebutkan otoritas politik di Indonesia menyatakan seluruh proses integrasi itu telah berjalan sesuai dengan norma internasional dalam Perjanjian New York yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa. Proses itu telah berjalan mulus dengan “metode demokrasi Indonesia” yang ditandai pernyataan sikap perwakilan orang Papua dalam Dewan Musyawarah Pepera yang memilih tetap berada dalam Indonesia.
Marthen Indey, seorang polisi asal Doromena, pada awal perjuangan berkontribusi mensosialisasi isi Perjanjian Linggarjati dan mengupayakan Papua masuk ke federasi Indonesia kepada masyarakat Hollandia (Jayapura) dan sekitarnya. Untuk memperoleh dukungan penduduk Hollandia, Marthen bersama Corinus Krey mengadakan pertemuan dan membuat edaran yang dikirim ke distrik-distrik di Jayapura.
Adapun Silas Papare, perawat pada perusahaan minyak di Sorong, punya andil besar melayani pasien dari berbagai wilayah Indonesia yang bekerja di perusahaan minyak. Silas adalah tokoh yang bertanggung jawab melayani pasien tanpa melihat asal-usul mereka. Di Hollandia, Silas pun terlibat dalam berbagai diskusi menyangkut perkembangan proklamasi Indonesia melalui radio.
Kesediaan Silas bersama elite Papua lain di Serui berjuang menentang Belanda mencerminkan keberhasilan Sam Ratulangi, politikus asal Sulawesi Utara yang diasingkan pemerintah kolonial Belanda ke Serui, mendorong mereka memahami nasionalisme Indonesia. Sebab, pemerintah kolonial Belanda mengecap Silas dan para pemuda sangat anti-Indonesia. Sam Ratulangi bisa mengubah mereka menjadi pejuang Papua penentang Belanda.
Di Yogyakarta, bersama Soeparno, pemuda asal Jawa, serta tokoh-tokoh Indonesia lain, Silas mendirikan Badan Perjuangan Irian dan menerbitkan surat kabar Suara Irian untuk menyuarakan visi dan misi organisasi itu. Melalui Suara Irian, isu Papua meluas sebagai bagian dari Indonesia hingga membantu pemerintah Indonesia memasukkan Irian Barat ke wilayah Indonesia pada Oktober 1949.
Di bagian lain, masyarakat Papua, dari generasi ke generasi hingga kini, terus mempersoalkan pelurusan sejarah yang selama ini menurut mereka diabaikan. Menurut hasil Kongres Rakyat Papua pada 2000, rakyat di Papua menuntut pelurusan sejarah Papua. Undang-Undang Otonomi Khusus, terutama Pasal 24, mengisyaratkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang salah satu tugasnya meluruskan sejarah Papua. Masih terjadi perdebatan tentang bagian mana dari sejarah Papua yang perlu diluruskan. Bagi orang Papua, pelurusan sejarah merupakan titik awal penyelesaian masalah status politik Papua. Karena itu, pelurusan sejarah harus dilakukan melalui penggalian dokumen sejarah, terutama seputar Pepera.
Menanggapi tuntutan pelurusan sejarah masyarakat Papua, Solossa (2005) menyatakan Pepera adalah peristiwa politik. Ini yang tidak boleh dilupakan sebagai fakta sejarah. Sebagai peristiwa politik, wajar apabila banyak kepentingan politik Indonesia di dalamnya. Tidak bisa dimungkiri, Pepera meninggalkan banyak cerita yang memilukan.
Moses Kilangin (dalam Hanita, 2019) menyatakan, pada 1968, menjelang Pepera 1969, keamanan di Agimuga dan sekitarnya dijaga ketat oleh tentara Indonesia. Banyak orang yang dipukul dan ditahan karena menentang pemerintah Indonesia. Sementara itu, Greg Poulgrain (2022) menyinggung peran Adam Malik dalam Pepera: Adam Malik mengaku telah berperan dalam pembunuhan mengerikan yang terjadi selama 1965-1966 dan hal ini menjadi beban pikirannya.
Semestinya kemenangan rakyat Papua melalui Pepera 1969 tidak lagi memicu permasalahan di Papua. Dalam kenyataannya, pada 2021-2022, masih terjadi pengibaran bendera Bintang Kejora di beberapa tempat di Papua. Masyarakat Papua bahkan masih mengibarkan bendera itu di Jayapura pada 2 November 2022 setelah kematian tokoh pejuang kemerdekaan Papua, Filep Karma. Surat kabar Jubi menggambarkan antusiasme warga Papua mengantar jenazah Filep Karma ke peristirahatannya yang terakhir.
Pertanyaan reflektif perlu kita ajukan: apakah pemberian gelar pahlawan nasional kepada tokoh Papua seperti Frans Kaisiepo, Marthen Indey, Silas Papare, Johannes Abraham Dimara, dan Machmud Singgirei Rumagesan mampu meredam keresahan rakyat Papua dalam isu integrasi yang selalu memicu polemik dan konflik tak berkesudahan?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Soal Pahlawan Nasional dari Papua"