Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Ilusi-ilusi Dana Revolusi

Sejak Orde Baru, pejabat hingga tokoh masyarakat meyakini Presiden Sukarno dan berbagai kerajaan Nusantara mewariskan harta karun dana revolusi untuk membayar utang dan buat biaya pembangunan. Tak pernah terbukti.

7 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri era Presiden Soeharto pernah berburu warisan dana revolusi Sukarno.

  • Upaya mencari harta karun masih berlangsung hingga kini.

  • Dokumen dan informasi tentang keberadaan dana revolusi Sukarno dianggap abal-abal.

CERITA dana revolusi ada dari masa ke masa. Bukan hanya di zaman Orde Baru, tapi juga di era modern, di era media sosial dan Internet. Simak pengumuman ini:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya mohon legawa hati beliau (Presiden RI) untuk membentuk satu tim pelacakan sejarah. Yang terdiri dari para sejarawan. Semua orang yang punya akses terhadap informasi tentang fakta-fakta di sekitar Kemerdekaan RI 1945. Yang berada di sekitar keluarga Bung Karno. Yang memiliki pengetahuan tentang simpanan kekayaan NKRI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini kutipan satu paragraf artikel di portal Caknun.com, yang merujuk pada budayawan Emha Ainun Nadjib, pada Februari 2021. Artikel bertajuk “Kepada Siapa Saja Presiden Indonesia” itu melampirkan foto dokumen yang mengindikasikan keberadaan harta dan kekayaan milik Indonesia di bank luar negeri. Dokumen itu bernama Yunnan Agreement yang diklaim ditandatangani Presiden Sukarno dan pemimpin Cina, Mao Tse Tung, pada 7 Agustus 1957. Ada pula dokumen yang disebut White Spiritual Boy.

Azwar Anas, di kantornya, Jakarta, 1991./TEMPO/ Donny Metri

Menurut cerita artikel itu, Yunnan Agreement adalah perjanjian utang antara Cina dan pemerintah Indonesia. Sedangkan White Spiritual Boy merupakan dokumen setebal 44 halaman yang berisi daftar 884 rekening di The Committee of 300 The World Bank Group USA yang nilainya mencapai US$ 598,8 triliun. Jika dicairkan sekarang, nilainya setara dengan Rp 8.370.000 triliun. Dalam artikel yang sama, pria yang biasa disapa Cak Nun itu menyertakan foto tumpukan emas batangan.

Tulisan di web itu sempat viral bahkan dimuat di sejumlah media massa. Namun Cak Nun enggan menanggapi lebih jauh. Ahmad Syakurun Muzakki, asisten Cak Nun, mengatakan pemimpinnya itu tak bisa diganggu. “Beliau sedang sibuk menulis buku,” ujar Muzakki, yang sekaligus penanggung jawab situs Caknun.com, kepada Shinta Maharani dari Tempo pada Rabu, 3 Agustus lalu.

Beberapa jam setelah Muzakki berbicara, artikel itu menghilang dari laman Caknun.com. Muzakki mengatakan artikel itu dihapus karena hanya untuk konsumsi terbatas anggota Jamaah Maiyah, kelompok pengajian yang dikelola Cak Nun.

•••

MISTERI warisan dan harta karun Presiden Sukarno beredar sejak era Presiden Soeharto, yang menggantikannya. Sumber utamanya para pejabat Orde Baru. Pada awal 1987, pemerintah membentuk tim pelacak keberadaan semua dana pemerintah Orde Lama yang diduga tercecer di luar negeri.

Menurut Menteri Muda Sekretaris Kabinet kala itu, Moerdiono, duit yang dihimpun Presiden Sukarno berasal dari berbagai kerajaan di Nusantara melalui penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. Uang ini selanjutnya dikenal sebagai “dana revolusi”.

Sebagian dana revolusi dipercaya tersimpan di Union Bank, Swiss, atas nama Subandrio, Menteri Luar Negeri pada zaman Orde Lama. Nilainya fantastis, yakni mencapai US$ 16 miliar atau sekitar Rp 240 triliun. “Ini soal rawan. Penanganan ini jelas harus hati-hati sekali,” kata Moerdiono kepada Tempo kala itu.

Cerita-cerita dana revolusi melahirkan banyak pemburu harta dadakan yang menawarkan jasa penarikan uang dari luar negeri. Ada yang meminta imbalan hingga 30 persen.

Moerdiono, di Jakarta, 10 Januari 2008./Dok. TEMPO/ Novi Kartika

Bertahun-tahun kemudian, keberadaan uang tak kunjung terbukti. Tapi Soeharto dikabarkan masih penasaran. Pada 15 April 1997, ia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1997 yang berisi perintah kepada Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Azwar Anas untuk mencari harta Sukarno di luar negeri.

Hasilnya bisa diduga: Azwar lempar handuk setelah sekitar satu tahun blusukan tanpa hasil. Dalam buku Azwar Anas: Teladan dari Tanah Minang, dia menulis pernah menghadap Soeharto untuk mengembalikan surat tugas. Tapi Soeharto menolak. Ia mengembalikan surat tugas bahkan dengan catatan tambahan: “Selesaikan sampai rampung”. Hingga Soeharto lengser, harta Sukarno tetap misterius.

Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, anak Sukarno, perburuan harta karun berlanjut. Kali ini lewat Menteri Agama Said Agil al-Munawar. Ia menggali pelataran situs purbakala Batutulis di Bogor, Jawa Barat. Said mengklaim mendapat petunjuk dari seorang ulama tentang harta peninggalan Prabu Siliwangi di sana. Penggalian itu, menurut Said, atas setahu Megawati. Rencananya harta hasil galian itu akan dipakai untuk melunasi semua utang pemerintah.

Bersama empat orang kepercayaannya, Said menggali pelataran situs Batutulis. Mereka sempat membuat parit sedalam dua meter. Hasilnya nihil. Menurut Said, pencarian tidak berhasil karena satu dari empat penggali menginginkan pembagian harta untuk pribadi. “Ada yang tidak ikhlas sehingga hartanya keburu raib,” ia beralasan kala itu.

•••

DI luar negeri, mitos keberadaan harta Sukarno pernah dimanfaatkan oleh James Lindon Graham untuk menipu. Pria asal Selandia Baru itu mengaku sebagai anak angkat Sukarno dan memiliki kuasa atas emas simpanan Sukarno di Swiss. Graham merayu banyak orang agar memberi pinjaman modal untuk menarik harta itu. Dia meraup fulus hingga US$ 1,6 juta. Polisi mencokok Graham di Bandar Udara Auckland, Selandia Baru, pada 2009.

Tiga tahun kemudian, kabar harta Sukarno muncul di Austria. Koran Kronen Zeitung edisi 17 dan 19 Desember 2012 menuliskan, seorang mediator bernama Gustav Jobstmann mengaku bisa membantu mencairkan harta Sukarno di Bank Swiss dengan syarat uang itu diinvestasikan di Austria. Cucu Sukarno, Puan Maharani menepis kabar tersebut. “Kami tak berkaitan dengan isu di Swiss itu. Kami sekeluarga tidak tahu-menahu,” ujarnya.

Pada 2014, cerita keberadaan harta Sukarno kembali diungkit lewat buku Harta Amanah Soekarno yang ditulis Safari A.N.S. Ia mengulas dokumen The Green Hilton Memorial Agreement, dokumen yang diklaim ditandatangani Sukarno dan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang disaksikan perwakilan dari Swiss, William Vouker, di Jenewa pada 14 November 1963. Menurut Safari, dokumen tersebut berisi pengakuan Amerika bahwa harta berbentuk emas sebanyak 57 ribu ton merupakan pinjaman dari Indonesia.

Said Agil Husin al Munawar, 6 Oktober 2005./TEMPO/ Gunawan Wicaksono

Sejarawan dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan cerita tentang harta warisan Sukarno hanya fiksi. Setelah tidak menjabat presiden, kata Asvi, Sukarno hidup miskin hingga tak mampu membayar dokter setelah berobat. “Tidak masuk akal jika seseorang yang memiliki simpanan segunung harta mau menjalani hidup miskin hingga akhir hayatnya,” tuturnya.

Ia pun ragu terhadap keaslian dokumen The Green Hilton Memorial Agreement. Sejumlah referensi menyatakan Kennedy berada di Washington, DC, pada 14 November 1963, bukan di Jenewa. Kejanggalan lain: stempel yang digunakan dalam dokumen tersebut berlambang garuda. Lambang garuda adalah cap yang digunakan oleh kabinet dan kementerian, bukan presiden. Stempel presiden pun menggunakan simbol bintang yang diapit padi dan kapas. “Keaslian dokumen itu perlu diuji di Arsip Nasional Republik Indonesia,” ujarnya.

Pengamat sosial dan dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sindung Tjahyadi, mengatakan cerita tentang harta Sukarno kerap mengemuka saat perekonomian negara sedang sulit. “Dulu rumor itu menyebar dari mulut ke mulut di warung kopi, kini menyebar di berbagai media sosial,” ucapnya.

James Lindon Graham./Natasha Martin/The Timaru Herald.

Keyakinan para pejabat negara yang mempercayai mitos itu kian memperparah keadaan. Akibatnya, bermunculan komunitas pemburu harta karun. Di sejumlah daerah bahkan muncul kerajaan abal-abal, seperti Keraton Agung Sejagat di Jawa Tengah dan Sunda Empire di Jawa Barat.

Mereka dianggap memanfaatkan mitos dana revolusi yang tersimpan di Swiss untuk meraup pengikut. “Kepercayaan sejumlah tokoh terhadap keberadaan harta itu mirip dengan para profesor yang percaya dengan bumi datar,” kata Sindung.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus