Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI kebun samping rumahnya, Gustaf Taikatubutoinan memetik sekuntum bunga simakkainuk putih yang sedang mekar. Ia juga mengambil sembilan kuncup bunga simakkainuk alias gandasuli. Di kebun tanaman obatnya itu, dia juga mengambil seruas kencur. Pagi itu, ia akan meramu obat sakit kepala untuk dirinya sendiri. Gustaf adalah ahli pengobatan di Desa Goiso Oinan, di sekitar hutan Sipora Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Di rumahnya, tumbuhan berkhasiat obat itu ia parut dengan gigiok, alat parut dari sepotong pelepah enau yang berduri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kencur dan bunga dihaluskan. Aromanya yang wangi langsung tercium. Ia menuangkan sedikit minyak kelapa ke dalam ramuan itu. Setelah jadi, ramuan itu ia peras di atas kepalanya, lalu diusapkan ke kening dan rambutnya. Sisa ramuan dimasukkan ke kain, kemudian diikat ke kepala sehingga menempel di keningnya. “Ini terasa dingin dan menyegarkan. Sakit kepala saya akan segera sembuh,” kata Gustaf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbeda dengan sikerei, ahli tanaman obat di Pulau Siberut, Gustaf tidak menggunakan ritual seperti menyanyi dan menari untuk berkomunikasi dengan roh seperti dalam ritual Arat Sabulungan, kepercayaan lama Mentawai yang percaya kepada roh-roh.
Gustaf, yang kini berusia 64 tahun, tidak lagi mempercayai Arat Sabulungan. Ia hanya berdoa meminta kesembuhan kepada Tuhan sesuai dengan kepercayaannya saat ini. “Saya hanya berdoa dalam hati, kepada Tuhan Yesus, agar obat yang saya berikan bisa menyembuhkan,” tutur Gustaf, yang kini memeluk Protestan.
Suasana Desa Saurenuk, Sipora Utara, Mentawai. Rus Akbar
Gustaf adalah ahli tanaman obat yang diandalkan warga Goiso Oinan. Kakak tertuanya, Viktoria Taikatubutoinan, semasa hidup dulu juga ahli pengobatan. “Nenek moyang kami dulu adalah sikerei di Sipora. Saya juga mendapatkan keterampilan obat ini dari mimpi, sama seperti seorang sikerei, dituntun untuk mengambil jenis tanaman obat yang saya butuhkan,” ucapnya.
Selain menanam di kebun sebelah rumahnya, Gustaf biasanya mencari tanaman obat di dalam hutan Sipora di dekat kampungnya karena tidak semua tanaman itu bisa dibudidayakan. Terkadang ia harus masuk jauh ke hutan selama berjam-jam untuk mencari tanaman obat karena hutan sudah banyak dibuka untuk perladangan. “Ini sangat berbeda dengan 20 tahun lalu, hutannya dekat dengan kampung, saya tidak perlu jauh mencari tanaman obat,” ujarnya.
•••
DI Pulau Sipora, seperti dua pulau di sebelah selatannya, Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan, sudah tidak ada lagi kebudayaan sikerei dengan semua ritual Arat Sabulungan-nya. “Budaya lama itu sudah lama hilang sejak masuknya misionaris Kristen ke Mentawai, lebih dari 100 tahun lalu, dan diteruskan oleh pemerintah Indonesia pada 1954,” kata Tirjelius Taikatubutoinan, Kepala Desa Saurenuk, desa tetangga Goiso Oinan.
Tirjelius mengenang, pada 1970-an, ia masih bisa melihat sisa-sisa bangunan uma—rumah komunal Mentawai—yang berdiri di Saurenuk tapi tidak ditinggali lagi. Masyarakat pindah dari uma ke rumah-rumah kecil di kampung baru bentukan pemerintah. “Padahal uma itu rumah besar, kayunya terpilih dan bagus, dan itu dibiarkan hancur begitu saja,” ucapnya.
Suasana Desa Saurenuk, Sipora Utara, Mentawai. Rus Akbar
Betapapun mereka tak lagi menjalankan ritual-ritual lama, kesadaran akan pentingnya hutan adat dan tanaman obat tetap dijaga. Di Desa Saurenuk, terdapat lembaga adat yang dinamai Uma Saurenuk. Salah satu tugas Uma Saurenuk adalah mengelola hutan adat. “Hutan adat menjadi tempat tanaman obat yang sangat diperlukan oleh ahli pengobatan di Desa Saurenuk.
Dulu tanaman obat mudah dicari, tapi sekarang, karena banyak yang rusak, para ahli pengobatan tradisional di sini harus jauh mencarinya ke hutan adat. Hutan adat itu sangat perlu dijaga. Kalau hutan sudah ditebang, tanaman obat juga akan lenyap,” ujar Nulker Sababalat, pengurus Uma Saurenuk.
Pada 2019, masyarakat Sipora dibantu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Mentawai menetapkan 5.000 hektare hutan di Desa Saurenuk yang awalnya hutan produksi sebagai hutan adat di bawah pengelolaan Uma Saurenuk. Pada Kamis, 18 Agustus lalu, Uma Saurenuk mendapat penghargaan Wana Lestari dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Uma Saurenuk dianggap mampu mengelola hutan adatnya secara lestari.
Nulker mengatakan Uma Saurenuk mendapat penghargaan Wana Lestari karena usaha kerasnya menggunakan kearifan lokal dalam mengelola ekosistem hutan. Di antaranya dalam sistem perladangan. Pembukaan ladang oleh masyarakat masih dilakukan dengan tradisi kuno seperti yang dipraktikkan nenek moyang mereka dulu. Pembukaan ladang baru dimulai dengan penentuan lokasi. Mereka mencari tanah yang subur, dekat dengan sumber air, dan tidak terlalu curam.
Warga memetakan hutan adat Uma Saurenuk di Pulau Sipora, Mentawai. Dok. Uma Saurenuk
Setelah lokasi didapatkan, barulah tanah dibersihkan dari belukar. Belukar hasil pembersihan itu tidak dibakar, melainkan dibiarkan di tanah sampai lapuk sendiri. Lahan tidak dibakar agar tanaman yang masih berguna, seperti tanaman obat, tidak ikut mati. Kemudian tanaman muda untuk kebutuhan pangan segera ditanam, seperti pisang, ubi, talas, keladi, palawija, sayuran, cabai, dan jahe-jahean. Setelah akarnya tumbuh, barulah pohon besar mulai ditebang.
Tapi pohon yang diperlukan untuk membuat rumah dan sampan, seperti pohon keruing, meranti, dan katuka, tetap dibiarkan tumbuh. Untuk kehidupan sehari-hari, masyarakat hanya mengambil hasil ladang. Di sepanjang sisi sungai hutan adat juga penuh pohon yang tidak boleh ditebang. Bagian hutan di kawasan yang curam pun diatur tidak boleh ditebang. Selain itu, ada aturan bagi warga yang ingin mengambil pohon untuk bangunan rumah atau sampan. Ia harus mengganti pohon yang ditebang dengan menanam pohon buah-buahan di tempat itu.
Penebangan pohon tanpa izin akan diganjar sanksi yang lebih berat. Setiap kubik kayu yang diambil harus diganti rugi sesuai dengan harga per kubik kayu, ditambah denda lain. “Jadi, untuk pencurian kayu, karena beratnya sanksi, bisa saja tanah orang yang mengambil kayu itu yang harus menjadi gantinya,” tutur Nulker. Perburuan binatang yang dilindungi juga tidak diperbolehkan lagi, seperti burung dan primata Mentawai.
•••
DI sungai-sungai dalam hutan, warga Desa Goiso Oinan dan Saurenuk sampai sekarang masih membudidayakan toek sebagai sumber pangan mereka. Toek adalah moluska yang hidup dalam sungai berair payau. “Hutan masih menjadi sumber kehidupan bagi kami. Sungai hutan adalah tempat memelihara toek sebagai sumber pangan yang penting,” kata Nulker Sababalat.
Memasuki hutan, kita bisa melihat di setiap sungai dan anak sungai terdapat puluhan potongan kayu tumung yang terendam untuk sarang toek. Bahkan kayu yang terapung itu bisa dijadikan jembatan untuk menyeberangi sungai. Di sungai-sungai di Saurenuk dan Goiso Oinan, setiap hari terlihat beberapa perempuan memanen toek. Potongan kayu besar yang telah direndam selama enam bulan siap dibawa ke pinggir sungai dan dikapak untuk mengeluarkan toek dari dalam kayu yang telah menjadi sarangnya.
Perempuan di Desa Goisooinan, Sipora Utara, memanen toek di sungai. TEMPO/Febrianti
Toek berbentuk seperti cacing, berwarna putih, dan berlendir. Panjangnya sekitar 30 sentimeter. Ia memakan kayu yang menjadi sarangnya. Para perempuan, dengan kaki terendam air sungai, sering memanen toek sambil memakannya. “Rasanya lebih enak kalau segar daripada dimasak dulu. Tinggal dibersihkan kepala dan sedikit kotorannya, langsung dimakan,” ucap Dian Novita, warga Goiso Oinan yang sedang memanen toek.
Dian bersama empat temannya membuka kayu sarang toek yang keras dengan kapak dan menarik satu per satu hewan itu dari dalam kayu. “Membuat toek ini pekerjaan perempuan, laki-laki hanya menolong mengambil pohon tumung untuk sarang toek dan menggulingkannya dari dalam hutan ke tepi sungai ini. Selanjutnya jadi pekerjaan kami kaum perempuan,” ujarnya.
Toek bisa dibudidayakan di sepanjang sungai, dari muara hingga sejauh 10 kilometer ke perairan daratan, asalkan mendapat pasang-surut air laut. Makin dekat ke muara, rasa toek makin asin. Dian yakin toek yang paling bagus dan ukurannya besar-besar adalah toek dari Goiso Oinan karena air sungainya tenang dan tidak terlalu dekat dengan laut. Selain untuk dimakan sehari-hari, toek menjadi sumber pendapatan keluarga di Goiso Oinan dan Saurenuk.
“Yang jadi musuh budi daya toek adalah banjir. Apalagi kalau airnya keruh, semua toek bisa rusak di dalam kayu,” kata Dian. Penebangan hutan berskala besar di hulu Sungai Saurenuk dan Sungai Goiso Oinan yang terjadi pada awal 2022 membuat Dian resah. Sebab, banjir mulai sering datang.
•••
SEJAK awal tahun ini, hutan-hutan di garis pantai Pulau Sipora menghadapi ancaman penebangan besar-besaran. Sebagian hutan alam yang berada di kawasan area penggunaan lain itu mulai ditebang para pemilik lahan yang mengantongi izin hak akses yang dikeluarkan Balai Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah III Pekanbaru.
Namun bukan pemilik lahan yang melakukan penebangan di lapangan, melainkan investor kayu yang menggandeng mereka. Para pemilik kayu menjual setiap kubik kayu seharga Rp 25-70 ribu kepada investor. Penebangan sudah terjadi di Hutan Berkat di Desa Tuapeijat dan hutan di SP3, Desa Bukit Pamewa. Lokasi ini menjadi hulu sungai di Goiso Oinan dan Saurenuk.
“Sekarang banjirnya lain dari biasanya. Airnya keruh bercampur lumpur. Hujan satu hari saja seperti sekarang langsung banjir,” tutur Tirjelius Taikatubutoinan, Kepala Desa Saurenuk. Ia mengatakan masyarakat Saurenuk sangat bergantung pada air sungai. Selain sebagai tempat budi daya toek, anak-anak sungai menjadi sumber air minum.
Pemodal penebangan kayu juga mulai mengincar hutan di Saurenuk. Mereka mendekati pemilik lahan. Sudah banyak pohon yang ditandai oleh pemodal untuk ditebang. “Bahkan di ladang saya banyak pohon besar milik saya yang juga sudah ditandai kertas merah sebagai tanda siap tebang. Saya tanya tidak ada yang mengaku melakukannya,” ujar Tirjelius.
Warga Saureinuk berpatroli di hutan adat Pulau Sipora, Mentawai. Dok. Uma Saureinuk
Tirjelius resah. Sebab, selain mengakibatkan kerusakan lingkungan, penebangan menyebabkan hilangnya tanaman obat dan terganggunya pasokan sumber pangan mereka, juga memicu potensi pecahnya pertikaian antarsuku setelah perusahaan kayu pergi. Hal ini pernah terjadi pada 1990-an, saat perusahaan kayu masuk dan menebang hutan masyarakat. “Saat ada fee kayu, hidup elite saat ada uang. Saat perusahaan itu pergi, masyarakat kembali miskin dan hutannya habis, konflik sosial terjadi,” ucap Tirjelius.
Jumlah konflik antar-anggota keluarga juga meningkat. Sebab, ada yang menyerahkan lahan komunal tanpa persetujuan anggota keluarga lain. “Pola ini kembali terjadi sekarang. Seharusnya masyarakat sadar dan tidak melakukan kesalahan itu kembali,” kata Tirjelius.
Jumsen Sababalat, anak muda lain di Tuapeijat, misalnya, sangat terkejut saat pergi ke ladangnya. Ia mendapati sudah banyak pohon besar di dekat ladangnya yang diberi kertas merah tanda siap ditebang. “Semua tanda itu saya cabut. Saya akan menolaknya. Di sana ada ladang saya, anak sungai, dan air terjun. Saya akan mempertahankannya,” tutur Jumsen.
Robert Coy, yang tinggal di Desa Matobek, Sipora Selatan, mengatakan maraknya investor kayu yang ingin menebang hutan masyarakat juga sampai ke rumahnya. “Saya sudah menolak masuknya perusahaan kayu yang akan mengelola hutan di tanah kaum kami baru-baru ini. Mereka menawari kami uang Rp 1 miliar, juga sepeda motor, tapi tetap kami tolak karena hutan itu sangat penting bagi masa depan kami,” ujar Robert.
Menghadapi ancaman ini, Tirjelius memastikan Uma Saurenuk sebagai pengelola hutan adat akan berupaya keras menjaga hutan Sipora. Hutan adat tidak akan bisa masuk rencana penebangan. “Aturan-aturan adat dalam pengelolaan hutan, penyelesaian sengketa lahan, sudah mulai kami jalankan lagi seperti dulu lewat lembaga adat. Ke depan, budaya Mentawai lama, seperti membangun uma sebagai rumah komunal, juga akan kami upayakan,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo