Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUNI lalu, di ujung jalan masuk Hutan Berkat, Desa Tuapeijat, Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, sebuah alat berat berwarna oranye tampak sedang bekerja. Alat itu menumpuk kayu gelondong yang baru dikeluarkan dari dalam hutan. Suara gergaji mesin yang memotong pohon juga terdengar meraung-raung dari hutan. Pada sore menjelang malam, aktivitas di hutan itu baru berhenti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hutan Berkat dikenal sebagai habitat empat satwa primata endemis Mentawai yang berada di Pulau Sipora. Satwa itu adalah bokoi (Macaca pagensis), joja pagai (Presbytis potenziani), bilou (Hylobates klossii), dan simakobu (Simias concolor). Semuanya tinggal di dalam hutan di pohon yang berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenis primata di Pulau Sipora sama dengan primata di Pulau Pagai. Dalam penelitian terbaru, ahli taksonomi primata memisahkan joja di Pagai dan Sipora dengan joja di Pulau Siberut karena perbedaan spesies. Begitu juga bokoi di Siberut, yang berbeda spesies dengan bokoi di Pagai.
Ciri morfologi membedakan kedua jenis primata ini. Joja di Siberut cenderung berwarna gelap di bagian depan tubuhnya, sementara joja di Sipora dan Pagai mempunyai warna keemasan di dada. Macaca siberu memiliki ekor yang menggulung di ujung, sementara Macaca pagensis berekor lurus.
Burung Hantu Mentawai (Otus mentawai), di Pulau Sipora, Mentawai. Mateus Sakaliau
Seperti tiga pulau lain di Kepulauan Mentawai, Sipora memiliki keberagaman hayati satwa dan tumbuhan karena sejarah geologi Mentawai yang unik. Diperkirakan sejak 500 ribu tahun silam fauna dan flora di kepulauan ini terpelihara berkat perubahan-perubahan evolusi dinamis, seperti yang terjadi pada daerah lain di Paparan Sunda. Sebanyak 65 persen mamalianya endemis. Di samping primata di Hutan Berkat, Pulau Sipora, misalnya, memiliki satwa endemis tupai terbang (Iomy sipora) yang langka. Juga burung hantu Mentawai (Otus mentawi), satu-satunya burung endemis di Kepulauan Mentawai.
•••
JUNI lalu, pohon-pohon penting bagi primata Mentawai di Hutan Berkat sedang ditebang. Sedangkan pohon-pohon yang masih tegak sudah ditandai dengan kertas merah, menunggu giliran ditebang.
Pagi itu, di Hutan Berkat terlihat pohon-pohon sudah tidak lagi rapat. Seekor bilou tampak di atas pohon tumung bersembunyi di balik kerapatan daun. Lengannya yang panjang memeluk dahan. Siamang kerdil itu berbulu hitam mengkilat. Bilou terkenal karena kemerduan pekikan suaranya setiap pagi. Pekikan tinggi dan merdu itu disebut sebagai irama terindah yang dikeluarkan mamalia.
Bilou juga dianggap jenis ungka atau wau-wau yang paling primitif karena pekikannya yang sederhana yang diduga menyerupai pekik nenek moyang primata tersebut. Namun pagi itu bilou muda tersebut tidak bersuara. Ia berayun ke pohon lain. Bayangannya berkelebat hingga tak terlihat. Ia satu-satunya primata yang terlihat menghuni hutan hari itu.
Hutan Berkat tempat habitat primata di Sipora Utara, pada Juni 2022. TEMPO/Febrianti
“Mungkin bilou itu yang tersisa di hutan ini, tidak bisa melarikan diri karena pohon-pohon untuk jalannya sudah jarang, banyak ditebang,” kata Mateus Sakaliau, pegiat konservasi di Malinggai Uma yang bersama Tempo ke Hutan Berkat. Dia mengungkapkan, setahun lalu, saat berkunjung ke Hutan Berkat, sangat banyak primata endemis Mentawai yang bisa dilihat dengan mudah.
Tebangan pohon keruing dan meranti, pohon penting bagi primata di hutan itu, terlihat sedang disusun oleh alat berat dalam tumpukan kayu gelondong yang akan dibawa truk keluar dari hutan. Meranti adalah pohon yang penting bagi bilou. Kanopi paling atasnya, di tajuk pohon yang rimbun, menjadi tempat tidur dan berlindung primata itu.
Tak jauh dari situ, aktivitas log pond di pantai terus berlangsung. Kapal ponton yang pada hari sebelumnya penuh muatan kayu terlihat siap berangkat membawa ribuan kubik kayu gelondong ke luar Mentawai. Satu kapal ponton lain yang kosong sudah bersandar di dermaga untuk menunggu muatan.
Tupai terbang (Iomi sipora), di Sipora Utara, Mantawai. Mateus Sakaliau
Hampir semua pohon berdiameter di atas 30 sentimeter di kawasan Hutan Berkat sudah ditandai dengan kertas merah yang ditempelkan pada batangnya. Pemilik hutan itu, Aser Sababalat, warga Sipora Utara, sudah mendapat hak akses hutan dari Balai Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah III Pekanbaru. Seluas 200 hektare hutan di tempat itu telah ditebang sejak awal tahun ini.
Dosen biologi Universitas Andalas, Wilson Novarino, mengatakan saat ini adalah masa paling penting untuk menyelamatkan keberagaman hayati di hutan-hutan Pulau Sipora, seperti Hutan Berkat, yang terancam deforestasi besar-besaran. Ia mengatakan, selain primata endemis, ada beragam subspesies di Kepulauan Mentawai, seperti burung dan anggrek, dan banyak yang belum diteliti. “Jangan sampai semuanya punah di masa kita tanpa kita bisa melakukan apa-apa. Hutan di Sipora harus diselamatkan, banyak keunikan di sana,” tutur Wilson.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo