Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tommy Soeharto masuk bidikan Satgas BLBI.
Terbelit utang lama triliunan rupiah PT Timor Putra Nasional.
Mekanisme penyelesaian bergantung pada proposal skema pembayaran.
BAGI Mohammad Mahfud Mahmodin, utang Hutomo Mandala Putra kepada negara tidaklah besar. Nilainya Rp 2,61 triliun. Jika dibanding utang obligor penikmat dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) lain, tunggakan Tommy—panggilan Hutomo—masuk kategori teri. “Karena ada yang utangnya Rp 30 triliun, belasan triliun, atau Rp 7 triliun,” ujar Mahfud Md., Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, kepada Tempo, Jumat, 3 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walau begitu, Tommy, yang merebut kembali kursi Ketua Umum Partai Beringin Karya alias Berkarya lewat sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada Februari lalu, seolah-olah menjelma menjadi debitor paling besar. Nama putra bungsu mantan presiden Soeharto ini seperti menutup nama obligor kakap BLBI semacam Kaharudin Ongko, Samadikun Hartono, Trijono dan Sujanto Gondokusumo, Hindarto dan Anton Tantular, juga Sjamsul Nursalim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tommy berada di bawah sorot lampu karena namanya dipajang di iklan koran bersama Agus Anwar pada 23 Agustus lalu. Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara BLBI meminta keduanya datang ke Gedung Syafruddin Prawiranegara, kantor Kementerian Keuangan, pada 26 Agustus lalu untuk membereskan utang mereka.
Agus Anwar, pemilik Bank Pelita Istimarat, menunggak Rp 740 miliar. Bersama Tommy, Agus masuk kelompok debitor yang tidak datang dalam dua pemanggilan sebelumnya. “Yang diumumkan itu kan banyak sebenarnya,” kata Mahfud, yang juga menjadi Ketua Dewan Pengarah Satgas BLBI. Pada Kamis, 2 September lalu, giliran nama Kaharudin Ongko yang diumumkan di koran. “Tapi karena nama Tommy terkenal, yang jadi berita Tommy,” ucap Mahfud.
Dalam semesta megaskandal penggelapan dana BLBI—kucuran utang dari Bank Indonesia di masa krisis keuangan 1998—Tommy bukanlah obligor. Dia bukan pemilik bank yang menikmati dana bantuan likuiditas, lalu menyelewengkan dananya untuk disalurkan ke grup sendiri atau melunasi utang grup alih-alih memenuhi permintaan pencairan dana nasabah. Tommy juga bukan debitor dari 48 bank yang mendapat BLBI.
Pemilik Grup Humpuss tersebut justru masuk daftar pesakitan Satgas BLBI gara-gara utang PT Timor Putra Nasional, perusahaan bentukan bapaknya. Timor masih menunggak utang kepada belasan bank yang sebagian di antaranya telah dilebur menjadi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Bank Dagang Negara, salah satu bank yang dimerger dalam Bank Mandiri, adalah pemimpin kredit sindikasi senilai US$ 690 juta tersebut. Sindikasi bank ini dulu diminta patungan mengucurkan kredit untuk membiayai proyek mobil nasional Timor.
Saat krisis Asia menghantam Indonesia pada 1997-1998, kredit yang hanya dijamin dengan rekening giro dan deposito Timor tersebut macet. Bank-bank pemerintah dibubarkan dan dilebur menjadi Mandiri. Utang Timor sebesar Rp 4,5 triliun diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan menjadi hak tagih negara.
Utang Tommy sebetulnya sudah “lunas” pada 2003. Delapan belas tahun lalu, sebuah perusahaan yang berkantor di ruko bernama PT Vista Bella Pratama membeli hak tagih utang (cessie) Timor dari BPPN—yang saat itu sedang melelang sejumlah aset dan hak tagih obligor serta debitor BLBI. Vista Bella membelinya dengan harga sepersepuluh dari nilai piutang, Rp 512 miliar—sudah termasuk Bali Pecatu Utama dan Sempati Air, dua perusahaan Tommy lain.
Pengusaha Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto di Jakarta, September 2016. TEMPO/Tony Hartawan
Baru pada 2008 pemerintah mencium bau anyir dalam transaksi tersebut. Usut punya usut, Vista Bella diduga terafiliasi dengan Tommy sehingga ditengarai melanggar keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan Nomor 3 Tahun 2000 dan Pedoman Pelaksanaan Program Penjualan Aset Kredit yang dikeluarkan BPPN pada 31 Januari 2003. Dua peraturan itu melarang aset atau hak tagih dibeli oleh afiliasi obligor atau debitor. Pemerintah melalui Kejaksaan Agung menggugat Tommy.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga menyigi kasus ini. Hasilnya, Vista Bella diduga terafiliasi dengan Tommy lewat Surya Paloh dan orang-orangnya. Surya, Ketua Umum Partai NasDem, saat itu masih menjadi kader Golkar, partai penyokong Soeharto.
Laporan Tempo berjudul “Simsalabim Duit Timor” pada 8 September 2008 mengungkap Tommy, lewat orang dekatnya, meminta Surya membeli cessie itu. Seperti kebanyakan obligor dan debitur BLBI lain, Tommy menginginkan asetnya balik dari tangan BPPN.
Surya ditengarai menyuruh dua orangnya, Taufik Surya Dharma dan Alfan Sanjaya, menyiapkan sebuah perusahaan sebagai peserta tender pembeli hak tagih. Taufik lalu mengambil alih perusahaan kontraktor umum milik temannya, PT Vista Bella Pratama, sebagai kendaraan tender.
Diam-diam Tommy juga menyiapkan perusahaan untuk mengikuti tender lelang cessie Timor. Tapi Vista Bella yang keluar sebagai pemenang. Pembayaran ke BPPN dilakukan lewat dua sumber: rekening PT Mandala Buana Bakti sebesar Rp 342 miliar dan sisanya dari kelompok Surya. Adapun hulu setoran PT Mandala berasal dari rekening PT Humpuss, perusahaan milik Tommy.
Sebelum transaksi itu terjadi, Surya telah sepakat akan menjual cessie tersebut ke Tommy lagi, kali ini dengan harga dua kali lipat. Benar saja, setelah menguasai hak tagih itu, Vista Bella langsung menjual cessie ke Amazonas Finance, perusahaan yang berbasis di British Virgin Islands, kawasan surga pajak di perairan Karibia.
Oscar Guedes, direktur perusahaan cangkang itu, adalah warga negara Venezuela yang diduga berkaitan dengan Tommy. Hasil penyidikan KPK mengungkap Guedes memiliki izin tinggal di Indonesia atas sponsor PT Mandala Buana Bakti, perusahaan Tommy.
Selain menggugat Tommy dan mengejar keganjilan penjualan cessie dari BPPN, pemerintah saat itu lewat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyita deposito Timor di Bank Mandiri senilai Rp 1,2 triliun. Duit ini diperoleh dari penjualan mobil Timor yang dijadikan sumber cicilan utang perusahaan.
Kasus itu berakhir damai pada November 2008. Vista Bella sepakat mengembalikan cessie tersebut kepada BPPN—kala itu kepada Kementerian Keuangan sebagai pengelola aset setelah BPPN dibubarkan pada 2004. Sebaliknya, Kementerian Keuangan mengambil Rp 1,2 triliun deposito Timor di Mandiri dan Rp 512 miliar hasil penjualan cessie ke Vista Bella sebagai pengurang utang Timor sebesar Rp 4,5 triliun. Kementerian juga mengambil dokumen aset Timor beserta garansi personal Tommy. Jadilah sisa tunggakan Timor yang saat ini dikejar-kejar Satgas BLBI tinggal Rp 2,61 triliun.
Pada 26 Agustus, Kamis dua pekan lalu, perwakilan Tommy akhirnya memenuhi panggilan Satgas BLBI. Timor diwakili direktur utama perusahaan, Ronny Hendrarto Ronowicaksono. Adapun Tommy mengutus pengacaranya. “Ada kuasa hukumnya,” kata Rionald Silaban, Direktur Jenderal Kekayaan Negara sekaligus Ketua Satgas BLBI.
Menurut Mahfud Md., pengacara Tommy yang bernama Fredy P. Sibarani telah menyatakan kliennya bersedia melunasi utang dan sedang menyusun proposal skema pembayaran. “Yang penting utangnya segitu. Soal cara bayarnya bagaimana, itu proposalnya sedang disusun,” tutur Mahfud.
Nama Fredy tercatat sebagai mitra di firma hukum Batubara & Bels. Tempo menghubungi Rynaldo P. Batubara, pendiri firma hukum itu, lewat layanan pesan langsung di akun Instagram untuk menanyakan keterlibatan Fredy dalam tim kuasa hukum Tommy. Namun, hingga Sabtu, 4 September lalu, Rynaldo belum membalasnya.
Adapun dua orang yang dikenal dekat dengan Tommy Soeharto, Theo Lekatompessy dan Erwin Kallo, tak menjawab permintaan Tempo agar dihubungkan dengan Tommy. Theo kini menjabat Komisaris Utama PT Humpuss Intermoda Transportasi Tbk (HITS), lumbung bisnis Humpuss saat ini. Adapun Erwin, yang pernah tercatat sebagai kuasa hukum dan konsultan bisnis properti Tommy, adalah anggota Mahkamah Partai Berkarya. Pada 23 Agustus lalu, akun Twitter @hputrasoeharto yang diduga milik Tommy mengunggah foto pertemuannya dengan Erwin, Tedjo Edhy Purdijatno, dan Yayat Sudrajat.
KHAIRUL ANAM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo