Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Kooperatif atau Tidak Akan Kami Kejar

Strategi Satuan Tugas (Satgas) BLBI menagih utang para obligor kakap. Pengusutan pidana jika ada pencucian uang.

4 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden membentuk Satgas BLBI untuk menagih utang kakap.

  • Ada yang kooperatif dan ada yang mangkir.

  • Tommy Soeharto mengirim perwakilan membawa proposal pembayaran.

PEMERINTAH membentuk Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) pada April lalu untuk menagih secara perdata utang 48 obligor BLBI dalam krisis moneter 1997-1998. Apakah langkah pemerintah ini tepat? Apakah cara perdata akan mengesampingkan pidana sehingga menguntungkan para pengusaha yang menikmati uang negara?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada wartawan Tempo, Jumat, 3 September lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menjelaskan latar belakang pembentukan Satgas BLBI dan cara perdata yang ditempuh pemerintah. Sebagai penggagas sekaligus Ketua Dewan Pengarah Satgas BLBI, Mahfud menjamin cara perdata tidak akan menutup kemungkinan penggunaan cara pidana terhadap para obligor BLBI. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengapa pemerintah memilih perdata, bukan pidana?
Kalau kita lihat kasus-kasusnya, ini semula perdata: utang-utang negara yang besar itu diberi surat keterangan lunas. Surat keterangan sudah diuji secara hukum, sah sebagai perdata sampai ada dugaan korupsi. Selama ini juga sudah masuk ke pengadilan korupsi. Kalau menunggu pidana terus enggak ada bukti dan enggak ada indikasi baru terhadap itu, nanti perdatanya habis. Malah negara enggak dapat dua-duanya. Kami akan bertindak tanpa menutup kemungkinan kalau masyarakat, civil society, punya bukti yang bisa dibawa ke pidana, silakan. Tapi utang kepada negara ini harus dibayar. 

Apa cara perdata ini ditempuh akibat kasus Sjamsul Nursalim?
Sjamsul Nursalim hanya pintu masuk. Kami enggak ada kesulitan dengan itu dan akan tagih dia. Sjamsul punya utang kepada negara. Dalam rangka surat keterangan lunas, ada lima orang saat itu. Semuanya 48 orang. Yang pada waktu bersamaan ada Anthony Salim, utangnya Rp 52,27 triliun lalu diturunkan jadi Rp 19,4 triliun. Sjamsul Nursalim dari Rp 28,4 triliun jadi Rp 4,9 triliun, Muhammad Hasan Rp 6,2 triliun jadi Rp 1,7 triliun, Sudwikatmono Rp 1,9 triliun jadi Rp 713 miliar, Ibrahim Risjad Rp 664,1 miliar jadi Rp 370 miliar.

Mereka semua sudah membayar?
Iya, selesai dokumennya dan sudah diserahkan ke negara saat itu. Sjamsul Nursalim itu Rp 4,9 triliun utangnya dinyatakan lunas, tapi ketika dinilai ternyata hanya bernilai Rp 1,2 triliun atau Rp 1,3 triliun saja. Itu yang diduga dikorupsi dengan Syafruddin (Syafruddin Arsyad Temenggung). Lalu kami bawa ke pengadilan, tapi menurut Mahkamah Agung bukan pidana. Kalau bukan pidana berarti harus kembali ditagih ke utang semula, yakni Rp 4,9 triliun. Itu hanya satu contoh.

Penyelesaian perdata dan pembentukan satuan tugas ini atas arahan Presiden?
Iya, ada keputusan presiden.

Apa latar belakangnya?
Ketika ada putusan kasus Sjamsul Nursalim, dalam konteks ada dugaan kolusi, Mahkamah Agung mengatakan ini perdata, bukan pidana. Pak Luhut (Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan) menanyakan sudut pandang hukum agar dunia investasi bergerak. Maka kasus ini segera diumumkan agar pasti dan yang lain tidak merasa disandera. Berdasarkan usul Pak Luhut, semua diundang rapat, termasuk Kepala Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, kementerian koordinator, Kementerian Keuangan. Komisi Pemberantasan Korupsi juga diundang. Menteri Keuangan mungkin tak cukup leluasa melakukan langkah-langkah sehingga perlu lintas kementerian. Itu latar belakangnya.

Kenapa penagihan utang dan aset dimulai dari Tommy Soeharto?
Para obligor kami kirimi surat secara bertahap. Ada yang langsung datang, mau membayar dan menyerahkan aset. Ada yang dipanggil sekali-dua kali tidak datang, itu yang kami umumkan. Dan yang diumumkan itu kan sebetulnya banyak. Karena nama Tommy Soeharto terkenal, lantas jadi berita. Setelah diberitakan, ada perwakilannya yang datang. Dia menyatakan akan mengajukan proposal pembayaran. Dalam konteks BLBI, Tommy bukan yang punya utang sangat besar, hanya Rp 2,6 triliun.

Bagaimana dengan obligor yang kooperatif?
Kooperatif atau tidak akan kami kejar. Saya tidak bisa menyebut nama. Nanti bisa jadi perkara baru. Pokoknya bakal dikejar saja.

Bagaimana dengan aset Lippo yang bermasalah?
Sudah lunas, sudah diserahkan ke negara. Sebelum dibaliknamakan sudah ada yang ditempati, disewakan, pajaknya juga tidak dibayar atas usahanya. Kami tidak menyebut Lippo punya utang, tapi itu aset yang dulu diserahkan Lippo Bank Group dalam bentuk aset, kemudian ada yang mengakui. Ya kami pasang plang. Ini akan kami lakukan untuk semua aset. Di Jakarta banyak, Bali, Bogor, Medan, Pekanbaru, Jawa Timur, akan didatangi semua.

Dari penelusuran di lapangan, ada aset yang dijual para jenderal, termasuk anak buah Anda?
Saya dengar desas-desus itu. Masih didalami, ada cerita. Saya tidak mau tahu namanya. Ini masih ditelusuri. Biar namanya muncul dari hasil penelusuran, bukan gosip. Saya mendengar itu, saya tidak bisa mengelak.

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) bertahun-tahun kesulitan menagih. Apakah realistis bagi Satgas memulihkan Rp 110 triliun dengan tenggat 2023?
Yang mengusulkan sampai 2023 itu Satgas. Saya yang menggagas Satgas. Ukurannya kalau 2024 itu pemilihan umum, mungkin sampai 2023 kami bisa bekerja. Apakah optimistis? Kami usahakan sebanyak mungkin. Kalau ada yang tidak selesai, akan jadi hak tagih negara selamanya. Hasilnya sudah lumayan. DJKN kurang powerful karena sendirian. Sekarang didukung banyak pihak. Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, hingga Kementerian Agraria siap membereskan 15 juta hektare tanah yang dijaminkan ke negara ini sehingga akan ada hasilnya, daripada menggantungkan masalah.

Sejak Satgas dibentuk sudah berapa banyak utang yang kembali?
Kesepakatannya tidak boleh diumumkan. Kalau diumumkan jumlahnya, nanti akan ada yang menduga-duga. Bisa jadi fitnah. Kami akan bekerja sebaik-baiknya, memanggil dengan baik-baik, termasuk Agus Anwar. Mereka mau menyelesaikan.

Seperti apa komunikasi dengan Agus Anwar?
Dia di Singapura. Tidak bisa datang, minta virtual saja. Tapi dia tidak mau di kedutaan besar, maunya di rumahnya. Tidak bisa kami penuhi. Kalau mau di kedutaan besar, kami jamin tidak ada penangkapan. Soal teknis dapat diatur. Dia beriktikad baik untuk menyelesaikan, tapi mau berbicara dulu. Kami tidak akan main tangkap.

Apakah mungkin Satgas menyita aset obligor yang tidak kooperatif?
Mungkin. Makanya ada jalur litigasi dan nonlitigasi. Nonlitigasi itu ngomong-ngomong. Litigasi nanti bisa penyitaan, bahkan sudah kami siapkan instrumen hukum penahanan, sudah menghitung kemungkinan pidana tindak pencucian uang, tindak pidana korupsi, penipuan, penggelapan. Jangan main-main. Di sini ahli hukum semua ada, kami kumpulkan semua.

Hingga saat ini belum ada undang-undang tentang perampasan aset. Apa dasar hukum Satgas BLBI?
Kami memakai hukum perdata saja. Orang punya utang kan bisa dirampas kalau dia mangkir, tapi itu tahap terakhir. Ini masih bicara-bicara. Waktu kami masih panjang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus