Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKU puisi Dua Marga karya Nirwan Dewanto menjadi pilihan para juri untuk Buku Sastra Pilihan Tempo 2022. Selain menikmati buku puisi Dua Marga, para pembaca atau pencinta puisi pun bisa menikmati buku puisi lain. Dua buku puisi ini menemani Dua Marga dalam tiga besar nomine buku Sastra Pilihan Tempo. Para juri melihat dua karya ini cukup menarik dibincangkan. Kedua karya yang menjadi pilihan para juri adalah Bertemu Belalang karya Gody Usnaat dan Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya karya Mardi Luhung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya-karya lain, seperti Bertemu Belalang dari Gody Usnaat, memperlihatkan kecenderungan yang membuat masyarakat Papua tidak sekadar sebagai bahan, melainkan perspektif. Dari pertimbangan juri, bisa jadi karena penulisnya orang setempat yang sudah menyerap budayanya sendiri, isinya menjadi lebih kaya. Melalui metafora-metafora yang digunakan, yang tampaknya diambil dari masyarakat setempat, tampak bagaimana masyarakat itu memandang dunia, termasuk persentuhan dan konflik antara penduduk setempat dan negara. Bertemu Belalang adalah buku ketiga Gody. Sebelumnya ia menulis buku berjudul Mama Menganyam Noken yang masuk daftar pendek Kusala Sastra Khatulistiwa.
Sementara itu, pembaca juga bisa menengok kumpulan puisi Mardi Luhung berjudul Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya. Dari penilaian juri, buku ini menjadikan kuda sebagai bahan tapi sekaligus memaknainya sebagai jalan kehidupan yang beraneka, bahkan sampai ke masalah spiritual. Puisi-puisi dalam kumpulan ini mengambil bentuk naratif dan bahkan prosais yang relatif panjang dengan beberapa citra dan peristiwa yang berpindah secara mengejutkan. “Pengalaman spiritual yang kejawaan membuatnya tampak tidak mengejutkan karena sudah terlalu banyak dikenal dan dijadikan bahan dalam sejarah puisi, bahkan budaya Indonesia,” ujar Faruk, salah satu juri sastra.
Dari jenis prosa, tim juri merekomendasikan dua buku sastra berjudul Pertempuran Lain Dropadi karya Triyanto Triwikromo dan Rahasia Kesaktian Raja Tua dari Zen Hae. Dalam dua novel ini, menurut para juri, para penulis berusaha menggali kembali cerita yang sudah populer. Karya Zen bernuansa mitologis, sedangkan karya Triyanto mengisahkan tokoh pewayangan dan teks yang sudah banyak diketahui. ”Ada kerja keras untuk menghidupkan dengan tafsir baru,” ujar Oka Rusmini, salah satu juri. Dari karya keduanya ada gagasan baru dengan teknik menulis yang berbeda. Mereka juga memilih diksi yang pas agar tidak berkesan lawas atau jadul. Ada kesegaran dari teks lama.
Rahasia Kesaktian Raja Tua karya Zen Hae berisi cerita (panjang dan pendek) yang ditulis dari khazanah sastra lisan Tulang Bawang Barat (Tubaba), Lampung. Zen memulai ceritanya dari cerita Kelahiran Juru Cerita Marhala Syahrazadi. Sebuah dermaga yang riuh, hiruk-pikuk dengan kapal bersandar di Muara Kepayang. Dermaga di kota ini masyhur dikunjungi para saudagar yang berniaga, para musafir, dan para perempuan yang terusir dari rumah setelah dikawin paksa. Riuh ini dihadirkan oleh mereka yang mabuk setelah pesta kecil dan berlalu lalang di kota. Muara Kepayang juga tempat hidup mereka yang berkuasa dengan segala ambisi dan kehausan akan kekuasaan. Para kaum darah biru, putri, dan pangeran menghiasi kejayaan Muara Kepayang. Kisah kejayaan Muara Kayang yang jaya tinggal cerita dibawakan oleh si empunya cerita di kedai Ararat, yaitu Zahid Akhadia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah Marhala Syahrazadi yang menjadi buah bibir. Lelaki ini selama tiga dasawarsa menjadi kelasi kapal asing dan akrab dipanggil Matros Marhala. Dialah anak Zahid Akhadia, lelaki paruh baya yang kembali ke kampung halamannya dan harus kembali beradaptasi setelah kematian ayahnya. Ia pergi untuk melupakan Nirmala, perempuan yang menjadi rebutan banyak pemuda di Muara Kepayang. Marhala ikut dalam gegap gempita para pemuda yang terseret revolusi dan melucuti tentara Jepang. Nirmala yang dicintainya ia tinggalkan. Jadilah Marhala kembali sebagai laki-laki tua kesepian, tinggal di rumah warisan sang ayah. Marhala mendapati sisa-sisa cintanya dari Nirmala di usia senja mereka. Setelah kisah Marhala, berlanjut ke kisah Petualangan Radin Jambat, lalu asal-usul kejadian Lebak Lambu, dan rahasia kesaktian Minak Indah. Ada pula kisah Makdum Sadeli di Nunung Nughik dan kisah-kisah lain. Ia menyajikan kisah omnibus ini dengan menyerap, membikin baru, atau memelesetkan sastra lisan daerah Tubaba. Zen Hae mengoplos kisah dan struktur cerita dalam sebuah buku seperti membingkai kisah Seribu Satu Malam.
Triyanto Triwikromo menghadirkan sepenggal narasi Perang Bharata atau Bharata Yudha tentang Dropadi atau Drupadi. Ia adalah istri Pandawa atau Yudhistira pada versi lain. Triyanto menghidupkan lagi kisah pewayangan Dropadi dalam cerita yang berjudul Pertempuran Lain Dropadi. Novel Pertempuran Lain Dropadi adalah pertempuran keluarga Bharata yang dikisahkan oleh pencerita yang dianggap gila, yakni Dewi Sarasvati, dari perspektif Dropadi. Perempuan perkasa ini berjuang menegakkan martabatnya dan menjadi bagian terpenting Bharatayuda. Dia dianggap sebagai pemicu pertempuran. Perempuan ini hadir sebagai sosok yang berjuang melawan kehendak para dewa, menghadapi kelicikan Korawa dan tekanan Pandawa.
Triyanto memulai pertempuran Dropadi dengan situasi yang menempatkannya sebagai maharatu. Situasi ini membuat Dropadi tak nyaman dalam sebuah pesta besar keturunan Pandu dan Drestarastra di Istana Hastinapura. Ini terjadi setelah Pandawa mengolok-olok jatuhnya Duryodana di kolam dan Drestarastra, ayahanda para Korawa yang buta. Dropadi dalam “pertempurannya” banyak hadir dalam dialog dengan Pandawa dan Gandari—ibu para Korawa. Triyanto mengeksplorasi kegelisahan Dropadi atas peristiwa-peristiwa yang mengikuti takdirnya.
DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo