Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gerakan serikat buruh menolak omnibus law menggema di penjuru daerah.
Pembahasan omnibus law kluster ketenagakerjaan diduga berubah haluan.
Sejumlah poin perubahan aturan perburuhan dianggap justru akan menambah tingkat pengangguran.
DUDUK berhadapan dengan perwakilan buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia di ruang rapat KK II Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 20 Januari lalu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sufmi Dasco Ahmad lebih banyak mendengarkan ketimbang berbicara. Aspirasi buruh yang keberatan terhadap sejumlah poin dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja tak banyak ia tanggapi.
Ditemani Wakil Ketua Komisi Ketenagakerjaan DPR Emanuel Melkiades Laka Lena; Wakil Ketua Komisi Infrastruktur Ahmad Riza Patria; dan anggota Komisi Hukum, Habiburokhman, Dasco beralasan Dewan belum menerima salinan resmi naskah akademik dan draf RUU yang menjadi bagian dari rancangan aturan sapu jagat atau omnibus law tersebut. Gol atau tidaknya rancangan regulasi itu baru bisa dipastikan kelak dalam pembahasan di Senayan.
Dasco berjanji melibatkan buruh dalam rapat dengar pendapat di DPR. Ia pun meminta Komisi Ketenagakerjaan dan Badan Legislasi membentuk tim kecil untuk berkoordinasi dalam pembahasan itu. “Beberapa hal yang menjadi ganjalan kawan-kawan buruh akan kami bantu fasilitasi supaya undang-undang ini jadi kepunyaan buruh, pengusaha, dan kita semua,” kata politikus Partai Gerindra tersebut seusai rapat.
INTENSIF digodok sejak pertengahan November 2019, detail Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja memang belum terang-terangan dibuka ke publik. Walau begitu, masalah ketenagakerjaan menjadi satu dari sebelas kluster pembahasan.
Itu sebabnya, pada 6 Desember 2019, beberapa pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia serta perwakilan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia berkumpul di Graha Sawala, kompleks Kementerian Koordinator Perekonomian. Tiga hari kemudian, baru terang orang-orang itulah yang ditunjuk Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai awak Satuan Tugas Bersama Pemerintah dan Kadin untuk Konsultasi Publik Omnibus Law. Pembentukan satgas itu disahkan lewat penerbitan surat keputusan Menteri Koordinator Perekonomian. Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani menjadi ketuanya.
Banyaknya pengusaha dalam daftar berisi 138 orang itu cukup untuk memancing cibiran serikat pekerja. Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Roy Jinto mempertanyakan tak adanya unsur perwakilan buruh dalam pembahasan rancangan kluster ketenagakerjaan. “Semangat omnibus law justru memberikan karpet merah kepada pengusaha atau investor,” ucap Roy.
Seorang pejabat yang juga anggota tim perumus RUU Cipta Lapangan Kerja mengungkapkan, masuknya tim pengusaha banyak mempengaruhi keputusan dalam penyusunan aturan sapu jagat ini. Dalam kluster ketenagakerjaan, misalnya, tim teknis semula lebih banyak membahas sekolah vokasi, pelatihan sertifikasi, dan jaminan bagi para pekerja. Namun, belakangan, poin draf bergeser ke rencana pengaturan ulang skema upah per jam, kompensasi pemutusan hubungan kerja, fleksibilitas waktu kerja, dan perekrutan tenaga asing. “Kepentingan pengusaha ditampung satu per satu,” tuturnya.
Aksi unjuk rasa buruh menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja di halaman gedung Pemerintah Kota Tangerang, Banten, 22 Januari 2020. ANTARA/Fauzan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paparan Kementerian Koordinator Perekonomian menunjukkan 55 pasal dalam tiga undang-undang yang akan direvisi dalam kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Lapangan Kerja. Perubahan peraturan ini menyasar beberapa hal, dari penetapan upah minimum, perekrutan tenaga alih daya, tenaga kerja asing, waktu kerja, hingga pemutusan hubungan kerja. Aturan upah minimum, misalnya, hanya berlaku bagi pekerja baru yang bekerja kurang dari satu tahun. Pekerja dengan masa kerja satu tahun lebih mengikuti struktur dan skala upah di perusahaan masing-masing (bipartit). Selain itu, industri padat karya bisa mendapat insentif berupa hitungan upah minimum tersendiri dengan alasan mempertahankan kelangsungan usaha.
Staf Ahli Hubungan Ekonomi, Politik, dan Keamanan Kementerian Koordinator Perekonomian Elen Setiadi membantah adanya intervensi pengusaha. Menurut dia, perumusan program kartu prakerja dan peningkatan keahlian tenaga kerja sejak awal hanya memerlukan peraturan presiden, bukan revisi undang-undang.
Dia memastikan pengusaha tak ikut dalam pembahasan omnibus law yang menjadi domain pemerintah. Pengusaha dilibatkan hanya untuk memberikan masukan mengenai hambatan dalam berusaha dan berinvestasi di Tanah Air. “Hal-hal yang tidak putus di tim teknis kami bawa ke Kementerian Koordinator Perekonomian,” kata Elen. “Kalau masukan Kadin sesuai dengan inventarisasi masalah kami, ya tidak ada masalah, dong.”
Menurut Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono, sejak awal Januari lalu, tim teknis dari pemerintah berkali-kali mengundang serikat pekerja dan kelompok akademikus untuk berdiskusi. Diskusi terbatas itu digelar di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian secara tertutup. “Kami menerima masukan, tapi memang tidak bisa melibatkan semua unsur,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
BERSAMA masalah tumpang-tindih regulasi dan perizinan yang belibet, aturan perburuhan menjadi ratapan lama kalangan pengusaha. Hampir saban tahun pebisnis mengeluhkan tingginya tingkat upah minimum regional. Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Antonius Joenoes Supit mencontohkan upah minimum di Karawang, Jawa Barat, yang dianggapnya sangat tinggi, yaitu Rp 4,6 juta per bulan. Sementara itu, menurut para investor, kata dia, produktivitas pekerja sangat rendah dengan jam kerja 40 jam per minggu, lebih sedikit dibanding di Vietnam, yang mencapai 48 jam setiap pekan. “Ini sudah terlalu tinggi sehingga kita kalah,” ucap Supit. “Dan banyak perusahaan tidak patuh.”
Supit, yang juga menjadi perwakilan Kadin dalam satuan tugas omnibus law sektor tenaga kerja, mengatakan usul pengusaha tak hanya menyangkut upah minimum. Kewajiban memberikan pesangon maksimal 32 kali upah juga diusulkan diatur ulang. Nilai ini dianggap memberatkan di tengah tekanan ekonomi global. “Begitu ada perusahaan ingin masuk, lihat cerita perusahaan harus bayaran ratusan miliar untuk pesangon, pasti mereka pilih mundur,” ujarnya.
Menurut Supit, Kadin sebenarnya telah berulang kali mengusulkan perubahan aturan ketenagakerjaan ini kepada pemerintah era Kabinet Kerja, periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. Namun upaya itu nihil hasil. Pada periode kedua pemerintahan Jokowi inilah Kadin kembali membawanya lewat rancangan omnibus law. “Kalau kita lolos lagi, hilanglah investasi itu.”
Suasana pabrik garmen PT Pancaprima Ekabrothers, Tangerang, Banten. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal justru meminta pemerintah lebih jeli meneropong hambatan investasi. Sebab, Forum Ekonomi Dunia (WEF) mencatat penghambat investasi di Indonesia justru berupa korupsi dan inefisiensi birokrasi. Infrastruktur yang tidak memadai dan tidak stabilnya kebijakan pemerintah menempati urutan berikutnya. “Jadi jangan menyasar kesejahteraan ketenagakerjaan,” kata Said.
Anggota Gerakan Buruh Bersama Rakyat sekaligus Koordinator Advokasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi, Nur Aini, khawatir penurunan nilai pesangon yang diatur dalam rancangan omnibus law akan memudahkan perusahaan merekrut dan memecat karyawannya. “Ide hiring and firing ini justru tidak menciptakan lapangan kerja baru, tapi menambah pengangguran baru,” tutur Nur, Senin, 20 Januari lalu.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah memastikan urusan pesangon tak akan banyak diotak-atik dalam omnibus law. Malah, menurut Ida, pemerintah akan menambah jaminan sosial dalam aturan tersebut, yaitu berupa jaminan kehilangan pekerjaan apabila pekerja masih ingin bekerja. “Omnibus menjamin pekerja lebih produktif dan mendapat perlindungan yang sama bagi pekerja kontrak dan tetap.”
PUTRI ADITYOWATI, RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo