Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kisah nelayan pemburu gurita.
Mulai sadar akan lingkungan.
TIGA nelayan muda di pantai Pulau Simatapi, Desa Sinakak, Pagai Selatan, pagi itu bersiap naik perahu. Mereka akan berburu gurita. Ketiganya menyusun bekal makan siang dan botol minuman, meletakkannya di perahu. Perlengkapan menyelam seperti snorkel dan kaki katak serta tombak besi dan pancing gurita juga ditata di perahu. Para nelayan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, itu mengenakan pakaian yang menutupi seluruh tubuh mereka, termasuk wajah, untuk mengantisipasi sengatan gurita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak lama kemudian, perahu bermesin tempel 15 PK itu menderu, memecah keheningan pagi. Cuaca cerah. Laut yang berwarna toska terbentang sangat tenang. Perahu melaju ke habitat gurita di bebatuan karang di sekeliling pulau-pulau kecil yang akan mereka tuju. Namun, pada Juni itu, nelayan di Desa Sinakak tidak bisa terlalu berharap akan mendapatkan banyak gurita. Sebab, musim gurita telah berakhir dua bulan sebelumnya. Jumlah gurita akan banyak lagi pada Oktober.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga sore, saat kembali ke pantai, ketiga nelayan muda itu memang tidak beroleh gurita. Mereka pulang hanya dengan menenteng peralatan menangkap gurita, juga beberapa ekor ikan karang dan tiga kima besar yang dibawa dalam wadah plastik buat makan malam. “Gurita tidak ada,” kata Juplemen Samaloisa melapor kepada Jertianus Madogaho yang menunggu di depan pondok guritanya di pantai Simatapi.
Jertianus, 46 tahun, adalah salah satu pengepul sekaligus nelayan gurita di Sinakak. Dia memodali 10-15 nelayan seperti Juplemen di dusunnya untuk menangkap gurita. Perahu dan bahan bakar ia sediakan. Semua biaya melaut akan dipotong setelah nelayan pulang dan mendapatkan gurita. Tapi, jika gurita tak diperoleh, tak ada pemotongan biaya apa pun.
Jertianus hanya bisa menatap laut dengan muram. Ia tahu bulan itu Juni, tidak banyak gurita yang bisa ditangkap nelayan lagi. Musim gurita yang singkat tahun ini datang pada Januari dan memuncak pada Maret. Pada April, jumlah gurita yang bisa ditangkap mulai turun dan musim gurita baru akan datang kembali pada Oktober-Desember.
Jertianus sehari-hari membeli gurita dari nelayan di Sinakak, lalu menjualnya di Sikakap, yang dicapai dalam dua jam perjalanan dengan perahu mesinnya. Di Sikakap, kota kecamatan teramai di Pulau Pagai Utara, sudah menunggu pedagang-pengepul yang akan membawa gurita-gurita itu ke Padang. Jertianus bercerita, dia pernah menampung 1 ton gurita dalam sehari. Saat itu gurita masih sangat banyak. “Saat ini rata-rata hanya dapat setoran 7 kilogram gurita dari nelayan, ini sangat merugikan. Mungkin saya akan segera menutup penampungan gurita dan beralih mencari lobster dan teripang,” tutur Jertianus.
•••
WALAU sudah bukan musim gurita, nelayan masih berusaha mencarinya karena hanya satwa laut berlengan delapan itu yang bisa dijual kepada pengepul. Salah satu penangkap gurita terandal di Sinakak adalah Sutrisno Madogaho. Ia bahkan dijuluki “Bapak Gurita” oleh teman-temannya sesama nelayan gurita. Pada puncak musim gurita Maret lalu, ia pernah dapat menjual gurita senilai Rp 1,9 juta dalam satu hari. “Saat itu tangkapan saya 54 kilogram, ada kapal penampung gurita dari Padang yang datang. Langsung saya jual. Itu pendapatan terbesar dari musim gurita lalu,” ujarnya.
Pada Maret itu, pendapatannya berkisar Rp 400-500 ribu sehari. Sutrisno mengungkapkan, ia lebih banyak menangkap gurita dengan pancing dibanding menggunakan tombak. Pancing itu berupa tali nilon yang di ujungnya terkait umpan yang ia sebut “mainan gurita” yang terbuat dari cangkang siput laut yang punggungnya diberi empat mata pancing. Di bagian bawahnya terjuntai panjang empat gantungan dari tangkai sendok besi berukuran sejengkal. Tangkai-tangkai sendok itu akan berkilau di dalam air dan menarik perhatian gurita. Dia juga menjual umpan itu seharga Rp 250 ribu, sementara pancing gurita ia hargai Rp 150 ribu.
Jika memakai pancing, kata Sutrisno, dia bisa berburu gurita sambil duduk di perahu. Sedangkan "mainan gurita" bisa juga digunakan saat menyelam atau digoyangkan di depan sarang gurita. “Ia akan tertarik dan memakannya,” ucap Sutrisno. Dengan umpan itu pula terumbu karang bisa lebih dijaga dibanding menggunakan tombak. Mata tombak dipakai untuk berburu gurita hingga ke sarangnya dan bisa menghancurkan karang.
Suatu ketika, Sutrisno melanjutkan, dengan pancing ini, ia bisa menangkap hingga 40 kilogram gurita dalam sehari pada saat musim gurita. “Tapi saat ini memang gurita sedang tidak musim, kemarin saya hanya dapat empat ekor,” katanya.
Namun Jertianus Madogaho tidak setuju dengan pendapat itu. Ia menilai penggunaan pancing bisa lebih cepat menghabiskan populasi gurita lebih cepat karena gurita yang kecil ikut terpancing. “Kalau dengan tombak, kita bisa memilih gurita yang besar. Saya juga meminta nelayan anggota saya tidak mengambil gurita yang beratnya di bawah 4 ons, agar bisa besar dulu dan harganya lebih mahal," tuturnya.
Gurita, menurut dia, masih menjadi andalan utama nelayan Sinakak untuk memperoleh pendapatan. Nelayan bisa mendapatkan upah hingga Rp 4 juta per minggu, bahkan ada yang sampai Rp 20 juta pada musim gurita. Namun, Jertianus menambahkan, mereka belum bisa mengelola keuangan. Saat gurita menghilang, mereka berutang kepadanya.
Nelayan di Desa Sinakak menyelam untuk mencari gurita. Adi Prima
Selain memburu gurita, mereka menangkap lobster dan ikan. Sayangnya, saat ini nelayan Sinakak masih menggunakan kompresor saat menangkap lobster. Kadang mereka juga diam-diam menggunakan potas untuk melumpuhkan udang. Jertianus mengaku masih menggunakan kompresor di tempat yang dangkal, di kedalaman sekitar 15 meter, untuk menangkap lobster. "Dulu saya menyelam sampai kedalaman 60 meter mencari teripang gajah, tapi sekarang ngeri. Banyak yang meninggal gara-gara itu,” ujarnya.
Pemerintah sudah melarang penggunaan kompresor, tapi tak berdaya mencegahnya. Pemerintah hanya dapat memberikan penyuluhan tentang bahaya kompresor. “Di lapangan kami sulit melarang karena menyangkut hidup mereka. Sebenarnya mereka sudah tahu bahayanya, banyak yang meninggal dan lumpuh,” ucap penyuluh perikanan dari kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan di Pagai Selatan, Bayu Sisyara.
Biasanya nelayan yang menggunakan kompresor bekerja untuk tauke. Mereka dimodali kompresor dan perahu serta bahan bakarnya. Saat ini jumlah nelayan yang meninggal makin sedikit karena mereka tak lagi senekat dulu ketika menyelam. Paling-paling mereka menyelam sampai kedalaman sekitar 15 meter.
Adapun potas biasanya digunakan nelayan untuk menangkap lobster pada siang. Sutrisno mengatakan lebih senang menggunakan pancing, menunggu mereka keluar dari sarang pada malam. “Kalau tidak pakai itu, tidak bisa dapat lobster karena mereka jauh bersembunyi di dalam karang. Kami menangkap dengan memancing lobster, karena lobster keluar saat malam,” kata Sutrisno.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Para Pemburu Satwa Laut Berlengan"