Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jeda penangkapan gurita.
Sejumlah masyarakat nelayan menerapkan sistem jeda panen.
Lebih berkesinambungan dan lestari.
SEBUAH perahu nelayan dengan lima penumpang di atasnya melaju mengelilingi Pulau Beriulou, Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada 17 Juni lalu. Mereka adalah Sijago Koat, penjaga wilayah laut Desa Sinakak. Perahu cepat itu terlihat berhenti di tengah laut, sekitar 100 meter dari pantai Pulau Beriulou.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perahu kayu itu terombang-ambing diayun gelombang Samudra Hindia yang sedang tinggi. Para penumpangnya berusaha keras mengeluarkan bendera dengan tiang yang ujung bawahnya diberi pelampung dan pemberat agar bisa tegak saat diletakkan di permukaan laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya, satu bendera berwarna putih dengan tulisan merah “Ditutup Sementara, Jangan Melakukan Penangkapan di Wilayah Ini” bisa dipasang dengan mulus. Bendera itu tegak dan bergerak turun-naik diayun gelombang. Satu bendera kemudian juga diletakkan di sisi lain Pulau Beriulou.
Lokasi jeda tangkap di perairan Sinakak di Pagai Selatan, Kepulalauan Mentawai, 17 Juni 2023. Tempo/Febrianti
Hari itu, sejarah baru di Desa Sinakak tercipta. Semua warga desa yang merupakan nelayan bersepakat dan untuk pertama kalinya menerapkan sistem jeda tangkap gurita. Kepala Desa Sinakak, Tarsan Samaloisa, dan warga yang berdiri mengikuti proses penutupan kawasan penangkapan gurita di pantai Beriulou terlihat bergembira melihat bendera tanda penutupan sudah dipasang di tengah laut dengan baik. “Penutupan sementara ini dilakukan agar gurita dan biota laut lain bisa berkembang biak dengan baik dan bobot gurita lebih berat,” ujar Tarsan. Ia menambahkan, selama ini masyarakat menangkapi gurita tanpa henti sehingga jumlah dan beratnya makin berkurang.
Penutupan di sekeliling pulau akan berlangsung selama tiga bulan dengan radius hingga 100 meter dari pantai. Pada masa itu, nelayan dilarang mencari ikan di sekitar lokasi tersebut. Urusan pengawasannya diserahkan kepada kelompok Sijago Koat yang terdiri atas sepuluh nelayan dan pemuda dari Desa Sinakak. Mereka akan berpatroli di kawasan perikanan tradisional, terutama di wilayah jeda tangkap.
Beriulou adalah pulau kecil seluas 2 kilometer persegi. Di depannya terdapat salah satu titik lokasi pencarian gurita di Pulau Pagai Selatan. Populasi gurita tersebar di 20 pulau kecil dan 100 gosong atau pulau pasir di depan Desa Sinakak. Sinakak adalah desa penghasil utama gurita di Kepulauan Mentawai. Desa paling selatan di bagian timur Pagai Selatan ini memiliki garis pantai sepanjang 199,7 kilometer dengan pulau-pulau kecil, gosong, dan barisan mangrove.
Salah satu pulau itu adalah Simatapi, yang di dalamnya terdapat Dusun Sinakak, permukiman nelayan gurita. Delapan dusun lain berada di pesisir timur Pagai Selatan. Sedangkan 19 pulau kecil lain di desa itu tidak berpenghuni.
Gurita menjadi sumber daya ekonomi utama warga Desa Sinakak sejak 2000. Awalnya warga hanya menangkap satu-dua gurita untuk lauk makan sehari-hari, sama seperti ikan. Tapi kemudian, pada 2000, pedagang datang ke Sinakak untuk membeli gurita, mendatangkan uang yang besar. Sejak kedatangan penampung gurita, puluhan nelayan di Sinakak berfokus mencari satwa laut ini. "Booming" penangkapan gurita terjadi pada 2007, saat gurita dihargai Rp 5.000 per kilogram, jauh lebih murah daripada saat ini, ketika harga gurita sudah mencapai Rp 65 ribu per kilogram. “Nilai penjualan gurita tiap tahun dari Desa Sinakak mencapai Rp 4 miliar. Jumlah ini baru dari beberapa sampel dusun, belum keseluruhan. Jika penjualan gurita dari semua dusun, angka itu akan lebih besar,” kata Tarsan.
Salah satu lokasi penangkapan gurita di Pulau Beriolou, Desa Sinakak Kepulauan Mentawai, saat pemberlakuan jeda tangkap gurita, 17 Juni 2023. Dok. Adi Prima
Seorang nelayan lain, Suharjono Samaloisa, bercerita, saat gurita masih banyak, nelayan cukup mencari di depan Pulau Simatapi, tak jauh dari pantai. Hanya dalam setengah hari, mereka sudah bisa mendapatkan gurita hingga 20 kilogram. “Walaupun harganya lebih murah dari sekarang, pendapatan dalam sehari rasanya dulu sudah cukup banyak,” tutur Suharjono.
Pada masa itu, kapal-kapal ikan datang dari Padang dan langsung membuang jangkar di Teluk Tanopo di depan Pulau Simatapi, menunggu gurita dari nelayan. Gurita tangkapan akan dimasukkan ke kotak fiber yang diisi es balok yang bisa menjamin kesegaran gurita selama seminggu. “Dua hari saja kami menangkap gurita di sini, penuh kapal itu. Sekali bawa gurita 3 ton. Satu orang dulu bisa menangkap gurita sampai 30 kilogram,” ucap Suharjono.
Suharjono mengenang, saat itu penangkapan gurita seperti tak kenal musim. Gurita selalu ada saat dicari. Namun kini, menurut dia, jumlah gurita sudah jauh berkurang dan hanya ada pada musim tertentu. Musim gurita yang singkat tahun ini datang pada Januari dan mencapai puncak pada Maret. Pada April, jumlah tangkapan mulai turun dan musim gurita akan datang lagi pada Oktober-Desember.
Pada Juni lalu, saat musim gurita sudah usai, Suharjono hanya bisa menangkap dua-tiga gurita setiap hari. “Kadang juga tidak dapat, pulang hanya bawa alat tangkap, karena gurita sudah mulai habis,” katanya. Saat ini dia menangkap apa saja yang ada di laut, seperti gurita, ikan, teripang, dan lobster.
Menurut mantan nelayan Sinakak seperti Eliakim Samaloisa, 60 tahun, gurita yang bisa ditangkap makin sedikit karena penangkapan gurita berlangsung tanpa henti. Hal ini juga pernah terjadi di Sinakak pada teripang dan lobster. Pada era “kejayaan” teripang pada 1980-an, hewan laut yang juga dinamai swalo itu diambil terus-menerus karena harganya mahal. Dari hasil penjualan teripang, warga bisa membangun rumah permanen. Padahal, untuk ukuran di Mentawai, biaya pembangunan rumah permanen sangat mahal karena material bangunan didatangkan dengan kapal dari Padang.
“Teripang lalu ditangkap tanpa henti, bahkan banyak yang menyelam mencari teripang memakai kompresor. Nelayan yang menangkap teripang juga banyak yang datang dari luar, dari Padang, bahkan dari Madura. Akhirnya pada akhir 1990 teripang habis semua,” ujar Eliakim.
Nelayan kemudian juga jorjoran menangkap lobster karena tingginya harga jual. Hal yang sama terjadi pada gurita. Akibatnya, jumlah gurita mulai berkurang dan ukuran yang ditangkap makin kecil dibanding sebelumnya. “Dulu seekor gurita beratnya bisa sampai 5 kilogram, sekarang paling berat 1,2 kilogram. Kalau ada yang dapat gurita 5 kilogram saat ini, boleh cukil mata saya,” ucap Eliakim. Saat bobot gurita besar, dia melanjutkan, nelayan lebih sejahtera karena harganya tinggi. Karena itu, ia mendukung penerapan kebijakan jeda tangkap ini. “Sangat baik. Ditunggu dulu guritanya besar, baru ditangkap lagi. Kalau perlu, waktu jeda tangkapnya lebih lama."
Eksploitasi besar-besaran itulah yang mendorong pemerintah Desa Sinakak, warga setempat, dan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) menyusun kebijakan dalam setahun ini. Kebijakan dalam bentuk peraturan desa itu bertujuan mengendalikan penangkapan gurita dan ikan agar tidak berlebihan dan merusak lingkungan. YCMM pun memberikan pendampingan dalam hal pengelolaan perikanan secara berkelanjutan di Dusun Sinakak dan Korit Buah di desa ini.
Gurita hasil tangkapan nelayan Desa Sinakak. Dok. Adi Prima
Menurut pendataan YCMM pada April 2022-Juni 2023, total gurita tangkapan nelayan di dua dusun itu lebih dari 23 ton dengan pendapatan Rp 936,5 miliar. Terdapat lima titik penangkapan yang potensial menghasilkan ribuan gurita. Data ini belum mencakup tangkapan dari dusun-dusun lain di wilayah pesisir Desa Sinakak. Direktur YCMM Rifai Lubis mengatakan gurita telah menjadi sumber pendapatan warga selain lobster, teripang, dan ikan. Namun, di sisi lain, perikanan di Sinakak belum terkelola dengan baik. Akibatnya, masih ada penangkapan berlebihan yang jika dibiarkan akan mengancam sumber daya gurita. Karena itu, lembaganya mendampingi nelayan dan pemerintah Desa Sinakak, termasuk akhirnya membantu menyusun peraturan desa mengenai sistem jeda tangkap ini.
“Harapan kami, dengan penutupan sementara ini, nanti nelayan mendapatkan hasil yang lebih maksimal baik dari sisi jumlah maupun bobot gurita yang ditangkap,” tutur Rifai kepada Tempo. Tarsan Samaloisa mengatakan penutupan berikutnya akan dilakukan di beberapa lokasi penangkapan gurita secara bergiliran untuk menjaga kelestarian gurita. Terdapat 34 lokasi penangkapan gurita lain yang terletak di sekitar 20 pulau kecil dan 100 gosong yang akan ditutup bergantian. Ia mengatakan selama ini masyarakat lalai mengawasi habitat laut. Padahal laut menjadi tumpuan masyarakat. “Saya berharap ada perubahan pola pikir nelayan,” kata Tarsan.
•••
DATA Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2022 mencatat nilai ekspor produk perikanan di Indonesia sepanjang Januari-September mencapai US$ 4,61 miliar atau sekitar Rp 71,8 triliun (kurs Rp 15.596). Realisasi ekspor tersebut mencapai 64,65 persen dari target 2022. Gurita menjadi salah satu yang berpotensi besar menyumbang pendapatan ini.
Penangkapan gurita di Indonesia didominasi nelayan tradisional dan nelayan skala kecil dengan alat tangkap sederhana dan mesin perahu di bawah 10 gross tonnage. Meningkatnya jumlah permintaan gurita, terutama Octopus cyanea, untuk diekspor ke Eropa dan Amerika telah menjadikannya produk bernilai tinggi. Tekanan penangkapan pun meningkat. Tingkat kerentanan Octopus cyanea terhadap tekanan penangkapan rendah karena produktivitasnya tinggi, cepat dewasa, dan usia hidupnya relatif singkat dengan pertumbuhan yang cepat. Namun perilaku migrasi dan lonjakan angka pemijahan dapat membuatnya rentan terhadap penangkapan berlebihan.
Kawasan laut Indonesia sangatlah kaya. Gurita berlimpah di beberapa titik di berbagai pulau, seperti di Jawa Timur, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Di Mentawai dan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, sekelompok nelayan mengembangkan budi daya gurita yang tak berumur panjang ini. Mereka membudidayakan gurita dengan menjaga kelangsungan hidupnya dan memberi jeda kepada makhluk laut berlengan ini.
Di Mentawai, bisnis gurita ini masih terhambat kurangnya ketersediaan es untuk menjaga keawetannya. Ketiadaan es balok dan es batu menjadi momok bagi nelayan dan pengepul gurita. Tidak ada listrik di Dusun Sinakak sehingga warga tidak bisa memakai freezer untuk mengawetkan gurita tangkapan mereka.
Untuk mendapatkan es balok, warga hanya bisa mengandalkan kapal pembeli gurita dari Padang yang datang ke Sinakak. Es itu dibeli dengan harga Rp 60-100 ribu per batang. Sedangkan harga es dari pabrik milik unit pelaksana teknis Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat di Sikakap hanya Rp 25 ribu. Sayangnya, pabrik itu sudah lama mandek beroperasi karena kekurangan listrik. Nelayan dan pengepul pun menggunakan es batu produksi rumahan yang beratnya sekitar 1 kilogram. Namun daya tahannya hanya tiga-empat hari.
Gurita hasil tangkapan nelayan Desa Sinakak. Tempo/Febrianti
“Kalau tidak cepat dijual kepada penampung di Sikakap, gurita bisa busuk. Berbeda dengan es batangan yang bisa tahan satu minggu," ujar Jertianus Madogaho, salah satu nelayan dan pengepul gurita. Dia harus mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli es batu dan bahan bakar kapal yang menjemput es di Sikakap. Biayanya bisa membengkak jika kapal dihadang badai. Ia berharap pabrik es bisa beroperasi untuk mengawetkan hasil laut yang berlimpah.
Kepala Pelabuhan Perikanan Wilayah III Sikakap, Yofrianto, mengatakan terhentinya produksi es balok disebabkan oleh pasokan daya listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara di Sikakap yang terbatas. “Saya tidak tahu kendala mereka (PLN). Pabrik es ini bisa memproduksi 15 ton es balok, tapi listriknya sering mati sehingga es tidak masak. Akhirnya pabrik es tidak bisa berproduksi,” dia menjelaskan.
•••
DI Maluku, aturan pelarangan penangkapan gurita dan sumber daya alam lain secara berlebihan diwujudkan dalam sasi adat. Para nelayan di Kecamatan Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah, menerapkan aturan untuk penangkapan berkelanjutan ini sejak 2019. Dua pekan lalu, sekelompok nelayan Desa Negeri Akoon berkumpul di aula semiterbuka tak jauh dari permukiman penduduk. Mereka membahas sanksi adat untuk pengambilan sumber daya alam baik di darat maupun di laut.
“Biasanya, setelah rapat, kami lanjutkan di saniri besar atau biasa kami sebut saniri negeri, memberi penjelasan soal sasi adat kepada masyarakat desa,” kata Melky Wattimena, Ketua Saniri Negeri Akoon, kepada Tempo melalui sambungan telepon.
Sasi adat adalah larangan pengambilan sumber daya alam baik darat maupun di laut dalam kurun waktu tertentu sehingga memungkinkan sumber daya alam tumbuh, berkembang, dan dilestarikan. Di Desa Negeri Akoon, sasi adat digunakan pula untuk mengendalikan penangkapan hasil laut seperti teripang (Holothuroidea), lobster (Nephropidae), dan gurita (Octopus cyanea) secara berlebihan. Hukum adat ini mengatur larangan penangkapan gurita untuk kepentingan bisnis. Penduduk desa juga melarang penangkapan gurita dalam jumlah besar dan menggunakan bom ikan.
Ikan hasil tangkapan warga di perairan Desa Sinakak, Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai. Dok. Adi Prima
Melky menjelaskan, peraturan adat yang ia susun ini juga mengatur batas dan waktu penangkapan ikan untuk dikonsumsi keluarga. Setiap warga desa tidak dibenarkan menangkap gurita ataupun hasil laut lain secara berlebihan. Mereka punya penjaga adat untuk mengawasi penerapan aturan ini. “Kami mengerahkan pasukan Kewang yang bertugas menjaga lokasi penerapan sasi, dibantu masyarakat,” ujar Melky.
Tingkat produksi gurita di perairan laut Negeri Akoon tergolong cukup tinggi. Menurut laporan desa, sebanyak 20-30 gurita ditangkap warga untuk dikonsumsi setiap hari. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan bahkan mencatat jumlah produksi gurita di Maluku mencapai 3.817 ton. Tahapary, salah satu nelayan Negeri Akoon, mengungkapkan, 15 tahun lalu, gurita adalah komoditas perikanan yang paling banyak ditangkap nelayan Nusalaut lantaran nilai jualnya cukup tinggi. Dalam sehari, nelayan bisa menangkap 10-12 ekor atau 20-30 kilogram gurita. Puncaknya adalah pada Januari-Februari, saat terjadi musim barat yang menyebabkan gelombang tinggi.
“Tapi sejak 2019 aktivitas penangkapan gurita dilarang. Warga desa juga sudah banyak beralih menangkap ikan seperti cakalang dan tuna,” tutur Tahapary kepada Tempo, Senin, 7 Agustus lalu. Di wilayah Nusalaut, beberapa desa sudah memberlakukan sasi adat tentang batas ukuran gurita yang boleh ditangkap dan dikonsumsi. Hanya gurita dengan ukuran panjang mantel 7-9 sentimeter yang boleh ditangkap. Gurita berukuran kecil tak boleh ditangkap, apalagi dijual.
Gurita tangkapan warga rata-rata berusia dewasa dengan panjang mantel 7,7 sentimeter. “Ada sanksi adat bagi yang menangkap gurita tak layak. Untuk itu, akan selalu ada petugas yang memeriksa tangkapan warga di pelabuhan,” ucap Tahapary. Upaya mempertahankan penangkapan gurita yang lebih ramah lingkungan juga dilakukan para nelayan di Pulau Kaledupa, gugusan Kepulauan Wakatobi. Masyarakat nelayan di Desa Darawa mempunyai program zona gurita Wakatobi. Di wilayah dalam zona itu, masyarakat dilarang mengambil gurita dan hasil laut lain selama tiga bulan sejak Juli hingga September. Mereka membiakkan satwa laut sejak awal tahun untuk program zonasi ini.
Para nelayan menerapkan ritual-ritual dengan harapan hasil panen berlimpahnya setelah pembukaan zona. Pada pekan pertama, warga Darawa yang berhak memanen. Setelah itu, siapa saja, termasuk suku Bajo, bisa ikut memanen. Yang unik, mereka juga membagi zona untuk nelayan laki-laki dan perempuan, ditandai dengan bendera biru dan merah. Luasnya pun berbeda, sekitar 50 hektare buat nelayan laki-laki dan 23 hektare bagi nelayan perempuan. Program zonasi ini awalnya adalah bentuk kerja sama masyarakat setempat dengan Blue Ventures, lembaga pemerhati lingkungan, pada 2016.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dian Yuliastuti dan Budhy Nurgianto dari Ternate berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Memberi Waktu Gurita Berbiak "