Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setelah terjadinya kebakaran depo Pertamina Plumpang pada Jumat, 3 Maret 2023 lalu, memunculkan kembali masalah legalitas permukiman yang tinggal di dekat terminal BBM itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak yang berpendapat, andaikan warga tidak dibiarkan tinggal di dekat terminal penampungan bahan bakar minyak itu, korban jiwa bisa dihindarkan saat terjadi kebakaran. Warga tidak seharusnya tinggal di dekat obyek vital yang menyimpan risiko besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang menyebut, pemberian IMB kawasan di era Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi pangkal masalah, yang memberikan legalitas bagi warga untuk tinggal di sana. Kendati IMB bersifat kawasan dan hanya sementara waktu.
Namun, ada pula yang menarik ke belakang, yakni di era Gubernur Joko Widodo atau Jokowi yang kini menjabat Presiden RI. dari Wali Kota Solo, Jokowi menjad Gubernur DKI lalu memberikan warga Tanah Merah yang tinggal di dekat Depo Pertamina Plumpang KTP, sebagai tanda bahwa mereka adalah penduduk yang sah.
Informasi lain datang dari Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Joga. Menurut Nirwono, proses legalisasi permukiman yang ada di dekat depo BBM Plumpang itu sudah terjadi sejak tahun 2000.
Diputihkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW DKI Jakarta
Menurut Nirwono, permukiman yang tadinya ilegal itu justru dilegalkan dan diputihkan Pemerintah DKI Jakarta dalam Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW DKI Jakarta 2000-2010 dan RTRW DKI Jakarta 2010-2030.
Padahal, kata dia, pembangunan depo BBM di Plumpang yang berjarak 5 km dari Pelabuhan Tanjung Priok sudah sesuai Rencana Induk Djakarta 1965-1985. Pada saat itu di sekitar depo masih tanah kosong dan rawa yang sekarang dikenal Rawa Badak, dan tidak ada permukiman.
“Dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005 keberadaan Depo Plumpang masih dipertahankan dan dilindungi sebagai fasilitas penting nasional,” kata Nirwono dalam keterangan tertulis, Kamis, 9 Maret 2023.
Namun secara perlahan, permukiman ilegal dan legal mulai memadati ke arah depo dan sekitarnya. Kondisi ini terjadi pada periode 1985-1998 dan 2000 hingga sekarang.
Keberadaan depo BBM berskala besar memancing para pendatang mulai dari para pekerja dan pendukung kebutuhan pekerja, seperti warung makan, tempat tinggal sementara, kos-kosan, kemudian warung, kios, pasar yang menjamur.
Buffer zone sekitar depo Pertamina Plumpang 500 meter
Menurut Nirwono, situasi pasca kebakaran menjadi saat yang tepat untuk menata ulang kawasan Depo Plumpang sebagai obyek penting nasional yang harus dilindungi oleh Negara. Itu artinya, kata dia, permukiman padat yang notabene melanggar tata ruang harus ditertibkan dan ditata kembali.
Harus ada jarak aman ideal yang menjaga obyek penting tersebut dan membenahi permukiman padat menjadi kawasan hunian vertikal terpadu.
Apabila depo Pertamina Plumpang berperan penting untuk distribusi BBM nasional (obyek penting nasional) dan demi keamanan dan keselamatan warga, harusnya tidak ada alasan penolakan untuk penataan ulang kawasan depo dan sekitar.
Oleh karena itu, kata Nirwono, pemerintah perlu segera memastikan rencana penataan ulang kawasan depo Pertamina Plumpang dan sekitar, misalnya menetapkan jarak aman/daerah penyangga/buffer zone minimal 500 meter dan bukan 50 m atau bahkan lebih sesuai kajian keamanan dan keselamatan jika terjadi ledakan/kebakaran Depo Pertamina Plumpang di kemudian hari.
“Semakin lebar jarak aman membawa konsekuensi semakin banyak perumahan warga yang harus direlokasi dan semakin banyak unit rusunawa yang harus disediakan pemerintah,” ucap dia.