Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Derita Pasien ISPA Akibat Polusi Udara

Angka kasus infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) meningkat karena polusi udara. Penduduk dekat kawasan industri lebih rentan.

27 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA-TIBA saja dada Sunarto, 58 tahun, menyesak pada Kamis, 17 Agustus lalu. Ia terbatuk-batuk dan tubuhnya terasa lejar. Setelah menjalani pemeriksaan roentgen, ia dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta Utara. Di sana, Sunarto diminta menjalani opname. Dokter mendiagnosis warga Cilincing, Jakarta Utara, itu mengalami infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA karena polusi udara.

Hingga Rabu, 23 Agustus lalu, nelayan di pantai utara Jakarta itu masih dirawat di ruang Tenggiri, bangsal khusus pasien penyakit paru dan pernapasan. “Hasil roentgen menunjukkan ada peradangan di paru,” kata Ami, istri Sunarto, yang menunggui suaminya saat menjalani opname. Sunarto terlihat lunglai dan masih terbatuk-batuk.

Sunarto bukan perokok. Bersama Ami dan anaknya, ia bermukim di Jalan Kalibaru Barat, Cilincing. Rumahnya hanya berjarak sekitar 6 kilometer ke arah barat dari kawasan industri Cilincing. Sekitar 1 kilometer dari griya Sunarto, juga ada terminal peti kemas Tanjung Priok, tempat truk-truk kontainer hilir-mudik membongkar muatan.

Situs AccuWeather, yang menyediakan informasi cuaca dan pemantauan udara, mencatat kualitas udara di Cilincing buruk. Indikator PM2.5 di wilayah itu mencapai 63 mikrogram per meter kubik, lebih dari tiga kali batas aman 19 mikrogram. PM2.5 merupakan partikel polutan amat kecil hasil pembakaran tungku batu bara serta kendaraan bermotor. Seseorang dapat mengalami batuk, sesak napas, dan penyakit pernapasan akut bila terpapar partikel halus ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ami bercerita, Sunarto sebenarnya merasakan gejala sesak napas sejak Juni lalu. Namun suaminya masih bisa beraktivitas seperti biasa. Barulah pada hari kemerdekaan lalu, tubuh Sunarto lunglai, bahkan ia tak kuat berjalan kaki.

Di rumah sakit, Sunarto baru merasa lega bernapas setelah menjalani terapi inhalasi—menghirup uap yang mengandung obat dari mesin pengabut atau nebulizer. “Napas Bapak jadi lebih enak,” ucap Ami.

Baca: Penyebab Utama Polusi Udara Jakarta

Sekamar dengan Sunarto di ruang Tenggiri, Djamaludin juga didiagnosis mengalami ISPA. Titi, istri Djamaludin, menyebutkan suaminya memang punya penyakit asma. Tapi belakangan ini Djamaludin sering bengek. “Sampai enggak bisa ngomong,” ujarnya.

Djamaludin, warga Plumpang, Jakarta Utara, cuma bisa tiduran di ranjang rumah sakit. Badannya kurus dan air mukanya pucat. Dia dirawat di RSUD Koja sejak Ahad, 20 Agustus lalu. Bangun dari tidurnya untuk menjalani terapi uap, Djamaludin harus ditopang perawat.

Kualitas udara di sekitar Plumpang pun buruk. Dua stasiun pengukur udara di Sunter dan Kelapa Gading milik IQAir, perusahaan teknologi asal Swiss, mencatat mutu udara di sekitar sana tak sehat untuk mereka yang punya penyakit pernapasan seperti asma. Kala terminal bahan bakar minyak milik Pertamina terbakar pada awal Maret lalu, belasan orang mengalami gangguan pernapasan karena menghirup asap kebakaran.

Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, mengatakan jumlah kasus infeksi saluran pernapasan atas di Ibu Kota relatif meningkat tahun ini. Paling tinggi pada Maret lalu, 157 ribu kasus. Dinas Kesehatan DKI mencatat, pada Mei dan Juli lalu, ada 134 ribu dan 156 ribu kasus. “Tak jauh berbeda dengan sebelum masa pandemi Covid-19,” kata Heru dalam wawancara khusus dengan Tempo di Balai Kota, Jumat, 25 Agustus lalu.

Menurut Heru, penyebab polusi di wilayahnya adalah sektor transportasi dan aktivitas industri yang menggunakan energi dari batu bara. Untuk mengatasi persoalan itu, Heru telah memerintahkan pegawai pemerintah Jakarta bekerja dari rumah. Ia juga meminta pemilik pabrik memasang scrubber—alat penyaring asap sebelum dilepaskan ke udara.

Pada Kamis, 24 Agustus lalu, sejumlah pabrik di kawasan Marunda Pulo, Cilincing, menyemburkan asap pekat melalui cerobong. Salah satu pabrik yang mengolah minyak sayur berdiri sekitar 300 meter dari permukiman warga. Hari itu perapian pabrik masih berasap meski sudah mendekati azan magrib.

Baca: Kenapa Kualitas Udara Jakarta Terburuk di Dunia?

Siti Maulina, warga Marunda Pulo, bercerita, asap pabrik kerap membuat tenggorokannya kering. “Efek ke anak-anak lebih parah karena mereka bisa batuk dan pilek,” ujarnya. Asap dari pabrik pengolah minyak sayur itu sering tertiup angin dan membawa abu batu bara ke rumah-rumah warga.

Tetangga Siti, Sinta Wati, mengatakan warga pernah mempersoalkan limbah abu batu bara kepada manajemen pabrik minyak sayur. Tapi mereka menyangkal jika disebut menjadi penyebab polusi dan menyatakan abu itu berasal dari aktivitas industri lain.

Gara-gara abu batu bara, Sinta sering mengepel ubin rumahnya hingga tiga kali dalam sehari. Butiran abu bahkan juga menempel di ranjang. Memotret arah asap pabrik, ia sempat memanjat loteng rumahnya. “Berdiri di atas sebentar saja muka saya sudah ada jejak abunya,” kata perempuan 36 tahun ini.

Tak hanya di Jakarta, polusi udara juga menyergap kota penyangga, seperti Kota Bekasi, Jawa Barat. Dalam pantauan IQAir, kualitas udara Bekasi berstatus tak sehat bagi kelompok sensitif pada Sabtu, 26 Agustus lalu. Konsentrasi PM2.5—partikel halus—pada udara Bekasi tujuh kali lebih tinggi dari ambang mutu udara yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Pemeriksaan pasien dengan gejala batuk, sesak, di Poli Batuk dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Puskesmas Pekayon Jaya, Bekasi, 24 Agustus 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi Tanti Rohilawati mengatakan sepanjang semester pertama 2023 telah terjadi lebih dari 66 ribu kasus infeksi saluran pernapasan di daerahnya. “Kasusnya meningkat dalam beberapa pekan terakhir,” tutur Tanti. Ia menyebutkan penyakit saluran pernapasan di Bekasi juga dipengaruhi tingkat polusi.

Baca: Menggugat Polusi Udara Jakarta, si Pembunuh Senyap

Ade Sarah, 28 tahun, warga Kecamatan Rawalumbu, mengaku mengalami gejala batuk dan pilek selama tiga hari. Kondisi yang sama dialami anaknya yang berusia dua tahun. Ia menduga kualitas udara di lingkungan rumah dan kantornya buruk. “Tenggorokan seperti sakit kalau berada di luar ruangan tanpa masker,” ujarnya.

Sementara itu, Firda Janati, warga Bintara, Bekasi Barat, belakangan kerap bersin. Perempuan 26 tahun itu telah berkonsultasi dengan dokter, yang memastikan ia mengalami gejala awal sakit saluran napas karena polusi udara. Ia berharap pemerintah segera menangani kasus pencemaran udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya. “Kasihan anak dan balita kalau pencemaran ini dibiarkan berlarut-larut,” kata Firda.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Ihsan Reliubun dan Adi Warsono dari Bekasi berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ranjang Bernoda Abu"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus