Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dampak Revisi UU KPK terhadap Pemberantasan Korupsi

KPK tak lagi independen sejak menjadi bagian eksekutif. Dampak revisi Undang-Undang KPK.

17 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng sebagai tersangka pada 6 Desember 2012, Abraham Samad menemui sejawatnya, Busyro Muqoddas. Samad ingin mencari tahu apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempersoalkan penetapan itu. Andi Mallarangeng adalah orang kepercayaan Yudhoyono. Sebelum menjadi menteri, Andi adalah juru bicara presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KPK menuduh Andi terlibat korupsi pembangunan wisma atlet Hambalang di Bogor, Jawa Barat. Samad mengklaim tak pernah mendapat intervensi dari mana pun. Kepadanya, Busyro juga mengklaim tak mendapatkan tekanan sebelum atau setelah menetapkan Andi Mallarangeng sebagai tersangka. “Kalau teror banyak, tapi dari koruptor,” kata Samad saat menceritakan kembali peristiwa itu kepada Tempo, 15 Desember 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang kepemimpinannya hingga 2015, Samad mengklaim KPK tak pernah mendapat intervensi dari pejabat dan partai politik. Saat itu, dia menambahkan, KPK masih menjadi lembaga independen di luar eksekutif yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Sayangnya, independensi itu berubah setelah revisi Undang-Undang KPK,” ucapnya.

Independensi KPK mulai digoyang pada Agustus 2017. Ketua KPK kala itu, Agus Rahardjo, mengaku diminta Presiden Joko Widodo menghentikan penyidikan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Penyidik sudah menetapkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto sebagai tersangka. Setya adalah Ketua Umum Partai Golkar yang berada dalam koalisi pemerintahan Jokowi. “Saya dimarahi Pak Jokowi,” tutur Agus. Belakangan, Jokowi membantah pernyataan Agus.

Di ujung masa kepemimpinan Agus, KPK digoyang kiri-kanan. Dewan Perwakilan Rakyat mulai membahas revisi Undang-Undang KPK yang diusulkan pemerintah. Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Laode Muhammad Syarif, mengatakan gerilya revisi Undang-Undang KPK sudah muncul di bulan-bulan awal seusai pimpinan KPK dilantik. Ia menyebutkan seorang menteri senior di kabinet Jokowi berupaya mendiskusikan perubahan Undang-Undang KPK kepada para komisioner.

Secara resmi, Komisi Hukum DPR juga mengundang pimpinan KPK membahas perubahan Undang-Undang KPK. “Semua permintaan itu kami tolak, karena kami menilai perubahan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi lebih penting ketimbang merevisi Undang-Undang KPK,” ujar Laode.

Meski mendapat penolakan dari berbagai lapisan hingga pimpinan KPK, revisi Undang-Undang KPK tetap disahkan pada 17 September 2019. Presiden Jokowi menolak membatalkan revisi Undang-Undang KPK melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Setelah revisi itu disahkan, KPK berada di bawah rumpun eksekutif. Status pegawainya berubah menjadi pegawai negeri.

Abraham Samad mengatakan penempatan KPK di bawah eksekutif tidak sejalan dengan prinsip lembaga antikorupsi yang independen sesuai dengan panduan United Nations Convention Against Corruption. Sebab, salah satu tugas lembaga antikorupsi adalah mengawasi pemerintah. “Apalagi pengesahan revisi Undang-Undang KPK membuat presiden berwenang memanggil pimpinan KPK kapan pun,” katanya.

Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, mengatakan Presiden Jokowi setidaknya lima kali mengundang pimpinan KPK ke Istana Negara. Pertemuan umumnya digelar untuk bersilaturahmi. “Kalau sekarang, bisa saja Presiden memerintahkan sesuatu saat mengundang pimpinan KPK ke Istana,” ucapnya.

Dampak bergabungnya KPK dengan lembaga pemerintah turut dirasakan mantan penyidik KPK, Mochamad Praswad Nugraha. Perubahan status pegawai menjadi alasan pimpinan KPK bersama Badan Kepegawaian Negara menggelar tes wawasan kebangsaan. Tapi tes itu diduga hanya kedok untuk “membuang” pegawai yang dianggap kerap menentang pimpinan KPK.

Sebanyak 57 pegawai tak lulus tes wawasan kebangsaan. Di antaranya Praswad dan penyidik senior Novel Baswedan. Kini mereka bergabung dalam Indonesia Memanggil 57+ Institute yang dipimpin Praswad. Mereka berharap KPK suatu saat bisa kembali independen. “KPK bisa balik menjadi lembaga independen di luar eksekutif,” tutur Praswad.

Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan lembaganya memang berada di bawah rumpun eksekutif. Tapi ia membantah anggapan bahwa pihak luar bisa mengintervensi penanganan perkara di KPK. “Bahwa KPK itu secara normatif di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 adalah betul di bawah eksekutif, tapi bersifat independen,” kata Ali.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Avit Hidayat dan Riky Ferdianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Setelah KPK Jadi Bawahan Presiden"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus