Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIM sukses bolehlah dianggap sebagai gambaran gaya pemerintahan yang akan dibentuk setiap pasangan calon presiden-wakil presiden jika mereka memenangi pemilihan. Besarnya peran pebisnis dalam tim calon presiden menunjukkan pragmatisme kandidat buat memenuhi kebutuhan logistik kampanye.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. memasang pebisnis sebagai ujung tombak tim. Arsjad Rasjid memimpin tim Ganjar dan Rosan Perkasa Roeslani mengomandani tim Prabowo. Keduanya sama-sama berpengalaman memimpin Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar semula hendak menunjuk politikus yang juga seorang pelaku bisnis, yakni Ahmad Ali. Namun kekhawatiran bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai NasDem itu bakal dijerat dengan kasus hukum diduga menyebabkan penunjukannya diurungkan. Meski begitu, masih ada pendiri Tokopedia, Leontinus Alpha Edison, dan pengusaha Thomas Lembong yang bergabung dengan tim sukses Anies.
Penempatan para pebisnis di lingkaran dalam tim calon presiden itu bisa dikaitkan dengan kebutuhan logistik yang besar buat meraup dukungan. Mereka dituntut menggalang dana untuk memenuhi kebutuhan itu. Mereka sekaligus membawahkan politikus dari partai politik, yang sering kali menciptakan friksi di antara mereka, termasuk membuat mesin partai tak bergerak maksimal.
Model penunjukan pebisnis juga digunakan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang menunjuk Erick Thohir pada Pemilihan Umum 2019. Pada 2014, ketika berpasangan dengan Jusuf Kalla, Jokowi mempercayai politikus PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo, untuk memimpin tim. Jaringan dan sumber daya pribadi pebisnis rupanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan biaya kampanye, termasuk perjalanan kandidat dan semua anggota timnya ke berbagai daerah. Jokowi kemudian memberi ganjaran untuk Erick berupa kursi Menteri Badan Usaha Milik Negara.
Kebutuhan logistik yang besar itu seolah-olah melazimkan sentralnya peran pebisnis dalam tim sukses. Namun, sesungguhnya, hal itu mencerminkan cara para kandidat mengambil jalan pragmatis yang bisa jadi kelak juga akan mereka lakukan dalam menjalankan pemerintahan. Alih-alih “menjahit” tim ideal sebagai cerminan buat menjalankan visi dan misi yang mereka tawarkan, kandidat berkonsentrasi pada kebutuhan pembiayaan semata.
Konsekuensi model penyusunan tim sukses seperti itu tergambar dalam pemerintahan Jokowi. Sepanjang pemerintahannya, orientasi mantan Gubernur DKI Jakarta ini lebih berat pada kelompok investor. Rezim ini menghasilkan banyak peraturan yang memberi karpet merah untuk pemodal. Undang-Undang Cipta Kerja yang disusun dengan ugal-ugalan—termasuk mengakali putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan undang-undang itu—hanya salah satu contoh. Tentu Jokowi pun ditopang DPR, yang juga banyak diisi pemegang modal.
Selain mengamati riwayat para calon presiden dan wakilnya, pemilih perlu melihat komposisi serta cara kerja tim sukses mereka. Sebab, di situlah gambaran yang akan mereka bentuk kelak. Tentu saja ditambah dengan jatah buat partai politik, relawan, dan berbagai penyokong lain.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cermin Tim Sukses Calon Presiden"