Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penguasa Belanda yang membaca pamflet itu niscaya terpanggang hatinya. Bertabur kata-kata tajam, Soewardi Soerjaningrat menulis Als ik eens Nederlander was—"Seandainya Aku Seorang Belanda". Pemuda itu memprotes bangsa Belanda, yang akan merayakan dengan meriah seratus tahun kemerdekaan di negeri jajahan.
"Tidakkah terpikirkan bahwa si kuli itu juga ingin seperti kita sekarang yang dapat merayakan pesta kemerdekaan?" Soewardi menulis pada 19 Juli 1913. "Seandainya aku seorang Belanda, aku tidak akan merayakan kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas kemerdekaannya."
Ribuan selebaran masih teronggok ketika polisi menggeledah percetakan harian De Expres di dekat alun-alun Bandung, sehari kemudian. Ribuan lainnya telanjur tersebar. Setelah penggeledahan, siang itu juga Soewardi dan otak di balik penyebaran pamflet, Tjipto Mangoenkoesoemo, digiring ke rumah Asisten Residen Bandung Johannes Bijleveld.
Dalam interogasi, Tjipto menantang jaksa Mosanto menuntutnya atas tulisan Soewardi. "Kami bisa jadikan itu sebagai reklame buat Komite," katanya, merujuk Komite Bumiputera yang ia dirikan bersama Soewardi. "Tidak mustahil Tuan sebagai Ketua Komite dituntut juga," Mosanto membalas. Tjipto tak luluh: "Tuntutlah aku…. Aku tiada gentar."
Suasana sekitar hari terbitnya "Seandainya Aku Seorang Belanda" digambarkan Muhammad Salim Balfas dalam bukunya, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Balfas memperoleh informasi dari Abdul Muis, yang ikut Tjipto dan Soewardi ke rumah Tuan Bijleveld. Muis menghadap Mosanto karena dialah yang menyalin tulisan Soewardi dari bahasa Belanda ke Melayu.
Ketiga orang itu, Tjipto, Soewardi, dan Muis, sama-sama duduk di Komite Bumiputera. Tjipto menduduki kursi ketua, Soewardi sekretaris, dan Muis komisaris. Komite dibentuk setelah Indische Partij bubar pada akhir Maret tahun itu. Ernest Douwes Dekker tak ikut campur dalam pendirian Komite. Sejak awal April, ia berkeliling Asia dan Eropa guna mencari dukungan bagi gerakan politik di Jawa.
Meski ada H.C. Kakebeeke, wakil pemimpin redaksi, Douwes Dekker juga mempercayakan redaksi De Expres kepada Tjipto Mangoenkoesoemo. "Tjipto adalah kartu truf Tuan Dekker," kata Kees van Dijk dalam bukunya, The Netherlands Indies and the Great War, 1914-1918. Seorang asisten residen yakin Tjipto-lah, bukan Douwes Dekker, yang membikin kaum pribumi tertarik membaca majalah Het Tijdschrift dan harian De Expres yang berbahasa Belanda.
Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan mereka mulai saling kenal sejak Douwes Dekker menjadi redaktur Bataviaasch Nieuwsblad. Koran itu menarik perhatian para murid sekolah dokter karena dianggap cukup independen. Mereka acap datang ke rumah Douwes Dekker di dekat gedung STOVIA untuk berdiskusi. Di sanalah persahabatan Douwes Dekker dengan Tjipto, Soewardi, dan lain-lain mulai terjalin.
Tjipto kembali bertemu dengan Douwes Dekker dalam kongres Boedi Oetomo di Yogyakarta pada 3-4 Oktober 1908. Kecewa terhadap tujuan perkumpulan itu, Tjipto memutuskan keluar dan membuka praktek dokter di Solo. Ketika wabah pes menerjang Malang pada 1910, ia menawarkan diri mengobati rakyat di sana. Di sela-sela itu, Tjipto mendirikan perkumpulan Raden Adjeng Kartini untuk menghimpun kaum terpelajar di sekitar Malang.
Pada September 1912, Douwes Dekker berkeliling Jawa untuk mengkampanyekan Indische Partij. Tjipto, yang tak puas dengan perkumpulan Kartini, datang ke acara Douwes Dekker di Surabaya. Douwes Dekker lalu menawari Tjipto menjadi anggota redaksi De Expres dan pindah ke Bandung.
Menurut Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak, sebenarnya Hasan Ali Soerati, penyokong awal Sarekat Islam, lebih dulu menawari Tjipto jabatan redaktur utama Oetoesan Hindia, surat kabar perkumpulan itu. Tapi Tjipto lebih tertarik oleh ide-ide Douwes Dekker. Dalam rapat pembentukan Indische Partij di Bandung pada 25 Desember 1912, Douwes Dekker akhirnya dipilih menjadi ketua dan Tjipto sebagai wakilnya.
Bukan kebetulan, pada hari yang sama Soewardi Soerjaningrat terpilih menjadi Ketua Sarekat Islam Cabang Bandung dalam kongres yang dihadiri Tjokroaminoto. Sebagaimana tercatat kemudian, Soewardi aktif di Sarekat Islam dan Indische Partij.
Douwes Dekker pula yang membujuk Soewardi pindah ke Bandung dari Yogyakarta pada 1912. Tak lulus dari STOVIA, Soewardi bekerja sebagai pembantu apoteker di Yogyakarta. Kendati begitu, hasrat menulisnya tetap menggebu-gebu. Ia rutin menulis untuk De Expres sebelum ditawari Douwes Dekker bergabung dalam redaksi harian itu.
Demikianlah, setelah Indische Partij bubar pada Maret 1913, Tjipto dan Soewardi membentuk Komite Bumiputera. Yang melecut mereka adalah tulisan di harian Tjahaja Timur yang terbit di Malang. Koran itu mengabarkan bahwa di Malang telah dibentuk komite perayaan seratus tahun lepasnya Belanda dari Prancis, yang memungut uang rakyat untuk membiayai perayaan. Di Jakarta dan Bogor, dibentuk panitia serupa.
Tjipto dan Soewardi memberi nama lengkap perkumpulannya: Komite Bumiputera untuk Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda. Nama ini olok-olok belaka. Mereka pun mengumpulkan sumbangan, tapi uang itu untuk mengongkosi telegram yang akan dikirim kepada Ratu Wilhelmina. Isinya permintaan agar di Hindia dibentuk dewan yang mewakili rakyat, bukan Dewan Jajahan atawa Koloniale Raad, yang hanya diduduki pejabat Belanda.
Bermarkas di kantor De Expres, Komite mencetak selebaran pertamanya pada 12 Juli 1913. Pamflet berisi nama-nama pengurus Komite dan tuntutan dihapuskannya Pasal 111 Peraturan Pemerintah Hindia Belanda, yang melarang pendirian organisasi politik bagi pribumi. Sepekan kemudian, 19 Juli, Komite menerbitkan pamflet yang memuat "Seandainya Aku Seorang Belanda". Keesokan harinya, mereka diinterogasi di rumah Asisten Residen Bijleveld.
Tak jeri, sepulang dari rumah Bijleveld, Tjipto langsung menulis artikel berjudul "Kekuatan atau Ketakutan?", yang menyatakan tekanan pemerintah kolonial justru makin menguatkan Komite. Tulisan itu terbit di De Expres edisi 26 Juli 1913. Dua hari kemudian, di De Expres juga, Soewardi menulis "Satu untuk Semua, Semua untuk Satu". "Saudara-saudara, lepaskanlah dirimu dari perbudakan," kata Soewardi.
Setelah propaganda yang bertubi-tubi, muncul desas-desus bakal ada pemberontakan orang-orang Komite Bumiputera. Tentara lantas bersiaga di depan gedung-gedung pemerintah di Bandung. Menganggap Komite makin berbahaya, pada 30 Juli, polisi menggiring Tjipto dan Soewardi, plus Abdul Muis dan Wignjadisastra, ke rumah tahanan Banceuy. Hanya Muis dan Wignjadisastra yang boleh pulang. Tjipto dan Soewardi terus mendekam di dalam sel hingga menjelang pengucilannya.
Sebelumnya, 1 Agustus, Douwes Dekker telah kembali dari Eropa. Ia secara terbuka menyatakan perbuatan Tjipto dan Soewardi sebagai tindakan heroik. Pemerintah kolonial murka. Empat hari setelah menginjakkan kaki di Hindia, Douwes Dekker dijebloskan ke penjara.
Nasib makin tak berpihak kepada mereka. Pada tanggal 18 bulan itu, Gubernur Jenderal Idenburg memutuskan Tjipto dibuang ke Banda, Soewardi ke Bangka, dan Douwes Dekker ke Kupang. Namun ketiganya meminta tinggal di Eropa. Kali ini Idenburg mengabulkan. Dengan kapal Jerman, pada 6 September, tiga serangkai itu berlayar menuju Belanda sebagai eksil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo