Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUDI Gunadi Sadikin tiba di rumah dinasnya di kompleks menteri, Widya Chandra, Jakarta Selatan, pada Jumat pagi, 9 Juli lalu, dengan mata sembap. Duduk di ruang tamu yang diubah menjadi tempat rapat online, Menteri Kesehatan itu sesekali mengelap kacamatanya. Kopi hitam yang disodorkan pramusaji langsung ia seruput. “Capek, baru tidur lima jam,” ujarnya kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi tidur pukul 1 dinihari. Ia baru pulang dari Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya bersama Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto. Mereka meninjau pelaksanaan vaksinasi, pos pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, dan penyekatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi mendengar banyak pemerintah daerah yang menutupi pelacakan infeksi Covid-19 agar wilayahnya tidak dikategorikan “merah”. “Misalnya, angka positif 13 ribu, tapi keterisian kasur lebih dari 13 ribu,” ucapnya. Ia meminta semua pihak tak lagi menutupi angka positif karena akan merusak program vaksinasi, obat, ataupun pasokan oksigen.
Ihwal oksigen, Budi juga jungkir balik mencari bantuan. Salah satunya ke Singapura. Ia mengontak seorang anak pengusaha untuk menghubungkannya dengan Chief Executive Officer Temasek yang juga istri Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Ho Ching. “Makin banyak yang membantu, makin bagus,” katanya.
Pada hari itu, 9 Juli, sembilan kali Budi mengikuti rapat online. Berikut ini percakapannya dengan wartawan Tempo, Hussein Abri Dongoran, di sela rapat dan kegiatannya sehari itu.
Sepertinya pemerintah terlambat menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat....
Tidak ada yang bisa menduga varian virus delta Covid-19 itu naiknya secepat dan sebanyak apa. Kita tahu, Maret itu varian delta masuk di beberapa daerah. Kami sudah coba mengantisipasi, tapi memang penularannya lebih cepat dibandingkan dengan perhitungan banyak ilmuwan di dunia. Tidak hanya di Indonesia, di Inggris dan Israel pun kenaikan jumlah kasusnya tinggi.
Kabarnya, jauh sebelum penetapan PPKM darurat 3 Juli 2021, Anda sudah meminta penanganan Covid-19 lebih ketat, tapi tidak direspons Presiden Joko Widodo ataupun Menteri Koordinator Perekonomian. Benarkah?
Diskusi mengenai PPKM ini dinamis. Setiap pekan kami membahasnya dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Jokowi. Wajar ada gas dan rem. Fungsi saya kan yang paling konservatif, jadi rem. Di sisi lain, kami juga mempertimbangkan faktor ekonomi. Tapi keputusan apa pun adalah keputusan bersama.
Seperti apa diskusinya?
Diskusi mengenai seberapa jauh kita ingin menerapkan pengetatan tanpa memberikan dampak ekonomi yang negatif ke rakyat bawah. Makanya saya juga jalan dengan Panglima dan Kapolri atas perintah Bapak Presiden. Untuk kalangan masyarakat bawah, dampaknya berbeda dengan kalangan menengah.
Apa bedanya?
Menengah itu kesehatan nomor satu. Harus isolasi diri supaya Covid-19 tidak menyebar. Mungkin mereka memiliki penghasilan cukup atau gajinya rutin. Rakyat bawah lebih khawatir akan ekonomi. Kalau itu berhenti, mereka tak bisa makan. Bagaimana menghidupi keluarganya? Itu kenyataan riil. Saya bisa memahami bagaimana keseimbangan itu harus dijaga.
Tapi, dengan terlambatnya keputusan pemerintah, banyak tenaga kesehatan serta masyarakat yang meninggal dan angka infeksi makin tinggi....
Saya sedih sekali melihatnya. Sekarang saya menggunakan energi positif yang ada. Saya bekerja keras bagaimana kita bisa menjaga agar yang masuk rumah sakit makin lama makin sedikit dan pasien yang masuk rumah sakit lebih banyak yang sembuh. Kita beruntung ada vaksinasi, bisa menurunkan jumlah yang fatal. Kalau tidak ada vaksinasi, pasti lebih banyak yang fatal.
Akibat tenaga kesehatan banyak meninggal, jumlahnya makin terbatas. Bagaimana Anda mengatasinya?
Kami percepat orang-orang yang masih belajar. Sudah saya keluarkan aturan tenaga kesehatan tanpa surat tanda registrasi boleh praktik. Tapi outbreak kali ini tidak merata di seluruh Indonesia. Hanya di Jakarta, Kudus, Yogyakarta, dan Surabaya. Kami undang tenaga kesehatan dari luar Jawa untuk masuk. Contohnya, begitu kami buka Asrama Haji Pondok Gede menjadi Rumah Sakit Penanganan Covid-19, banyak tenaga kesehatan dari Makassar. Begitu juga dari Sumatera, ada 74 tenaga kesehatan yang kami datangkan.
Semua ini dilaporkan kepada Presiden? Respons dia seperti apa?
Saya rutin mengabarkannya, baik melalui telepon maupun rapat. Dalam rapat terbatas kemarin, Presiden menugasi saya meminta masukan dari ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga. Kami juga meng-update kesiapan rumah sakit, oksigen, dan tenaga kesehatannya.
Bukankah Anda sudah punya forum harian dari berbagai kalangan, termasuk ahli epidemiologi dan rumah sakit?
Forum itu sudah ada sejak libur Natal, tahun baru, dan Lebaran lalu. Banyak yang dibahas, mengenai vaksinasi, langkah apa saja yang perlu dilakukan, stok oksigen, dan keterisian rumah sakit.
Betulkah Anda meminta jumlah tempat tidur untuk pasien Covid-19 dinaikkan?
Saya meminta rumah sakit meningkatkan bed occupancy rate sampai 30 persen.
Kalau oksigen kenapa langka?
Selama ini kebutuhan oksigen untuk kesehatan hanya sedikit, cuma 25 persen. Sisanya untuk industri. Perusahaan yang bisa memproduksi oksigen pun terbatas. Ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Masalah lain adalah distribusi. Karena ada kebutuhan oksigen untuk kesehatan, 100 persen pasokannya dialihkan untuk kesehatan. Perusahaan pasti bisa mencarinya sendiri secara impor.
Anda mengecek sendiri kelangkaan oksigen ini?
Iya. Ternyata benar dan babak-belur pekan sebelumnya. Kebutuhan oksigen itu melonjak tiga kali lipat dari kebutuhan normal. Kini ada aplikasi untuk bisa mengecek kelangkaan oksigen, sirs.kemenkes.go.id/fo.
Anda terlibat dalam pencarian oksigen?
Kami semuanya mencari ke resource yang ada. Morowali (PT Indonesia Morowali Industrial Park), contohnya, menyumbangkan 500 ton oksigen. Saya telepon Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati untuk membantu distribusinya. Selain itu, Menteri Luar Negeri serta Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi terlibat mencari oksigen.
Selain oksigen, kelangkaan obat dikeluhkan masyarakat. Apa sebenarnya yang terjadi?
Karena jumlah kasusnya naik, rumah sakit minta lebih banyak. Sebenarnya permintaan itu tidak jadi masalah. Tapi karena banyak yang masuk rumah sakit, kemudian keluarga melihat, ada berita di media sosial, ini membangkitkan kepanikan. Maka masyarakat memborong obat-obatan yang seharusnya diberikan di rumah sakit atau dengan resep dokter, termasuk perusahaan yang menyetok obat untuk karyawannya. Akibatnya, stok obat tersedot ke masyarakat dan bukan digunakan orang yang sakit. Karena permintaan itu luar biasa, membuat beberapa orang menaikkan harga.
Apa beda penanganan Covid-19 di bawah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi dengan Menteri Koordinator Perekonomian?
Satu dipimpin Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar, satunya Ketua Umum Golkar. Satunya tentara, satunya sipil yang pengusaha. Tentu ada perbedaan.
Omong-omong, apa beda menjadi Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara dengan Menteri Kesehatan?
Lebih capek jadi Menteri Kesehatan. Jam tidur kurang. Makin jarang lari dan berenang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo