Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

<font face=arial size=2 color=#CC3333>KASUS KONTRAK TANKER LNG</font><br />Pertamina Dibidik KPK

Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengklaim, KPK sudah menutup kasus ini.

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi mengaku masih menyelidiki sejumlah kejanggalan dalam kasus sewa tanker Ekaputra, yang terindikasi merugikan negara. Tanker Ekaputra adalah kapal pengangkut LNG milik PT Humpuss Intermoda Transportasi yang disewa oleh PT Pertamina (Persero).

Sejak Juli 2011, sejumlah pejabat tinggi Pertamina, terutama dari Bagian Business LNG Pertamina, dan pejabat Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), sudah diperiksa lembaga itu.

"Sampai sekarang penyelidikan masih berlangsung," kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P., ketika dihubungi, Jumat pekan lalu. "Belum ada kesimpulan."

Pernyataan Johan ini sekaligus membantah pengakuan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan. Kamis pekan lalu dia mengaku sudah mendapat pemberitahuan dari KPK soal tidak ditemukannya indikasi korupsi dalam skema sewa tanker Ekaputra. "KPK sudah masuk, dan mereka bilang 'no case'," ujar Karen, pekan lalu.

Ekaputra disewa Pertamina sejak 1990. Kontrak pertama berdurasi 20 tahun habis pada akhir 2009. Dua tahun sebelum kontrak berakhir, Pertamina mengajukan permintaan perpanjangan sewa selama lima tahun dengan nilai US$ 3,2 juta per tahun. Sebelumnya, tanker ini disewa Pertamina dengan nilai US$ 26 juta per tahun.

Kejanggalan terjadi pada awal perpanjangan kontrak. Investigasi Tempo menemukan bahwa tanker tersebut menganggur pada tahun pertama masa sewanya, sepanjang 2010. Hal ini diakui oleh juru bicara Pertamina, Mochamad Harun. "Memang ada kerugian minus delta," ujarnya.

Untuk menutup kerugian, Pertamina menawarkan tanker Ekaputra ke sejumlah pembeli gas alam dari Jepang (konsorsium WBX). Pada Februari 2009, WBX setuju membayar US$ 11 juta per tahun untuk sewa Ekaputra selama 10 tahun (2011-2010). Nilai itu jauh lebih tinggi dari nilai sewa riil Ekaputra yang dibayar Pertamina.

Tempo menemukan dokumen yang ditandatangani Kepala Business LNG Pertamina (ketika itu) Harry Karyuliarto dan Direktur Utama Humpuss Intermoda Bagoes Krisnamoerti, yang mengatur pembagian keuntungan dari selisih nilai sewa tanker itu. Pertamina dan Humpuss masing-masing mendapat 56 persen dan 44 persen dari total nilai sewa US$ 11 juta per tahun. Dengan begitu, nilai sewa yang diterima Humpuss pun melonjak dari semula US$ 3,2 juta per tahun menjadi US$ 4,84 juta per tahun.

Akrobat kontrak yang dinilai merugikan negara dan memperkaya pihak lain inilah yang sedang diselidiki KPK. Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan berkeras tak ada yang salah dari skema kontrak itu. "Ini menguntungkan Pertamina," ujarnya ketika dihubungi pekan lalu.WAHYU DHYATMIKA | FEBRIANA FIRDAUS | MUHAMMAD TAUFIK


Kepala BP Migas: Kami Tidak Ikut Campur

Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R. Priyono menegaskan, pihaknya tidak ikut mencampuri urusan sewa tanker Ekaputra. "Mereka mau pakai ini, itu, semua tanggung jawab Pertamina," ujarnya, Jumat pekan lalu. "Kami tidak ikut campur."

Pada dokumen Head of Agreements (HoA) yang diteken pada Februari 2009, WBX setuju menggunakan tanker Ekaputra milik Humpuss untuk pengiriman kargo LNG ini. Tapi klausul itu baru efektif jika Pertamina memperoleh persetujuan BP Migas.

Untuk itulah, pada April 2010, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengirim surat kepada Kepala BP Migas R. Priyono, mohon persetujuan atas skema kontrak sewa tanker untuk WBX. Nyaris tujuh bulan, surat Karen tidak direspons. Belasan perundingan digelar tanpa hasil. Sumber Tempo menjelaskan, penundaan itu didorong oleh kekhawatiran BP Migas soal legalitas model kontrak ini.

Akhirnya, pada November 2010, BP Migas memberi lampu hijau. Tapi surat persetujuan yang ditandatangani Deputi BP Migas Bidang Operasional, Budi Indianto, sama sekali tidak menyebutkan harga OCC (Owner's Cost Component) untuk Ekaputra -yang besarnya US$ 11 juta per tahun. Sumber Tempo menjelaskan, itu adalah cara BP Migas menghindari risiko hukum dari akrobat kontrak ini.

Priyono menegaskan, adalah kewenangan Pertamina membereskan segala urusan soal penjualan LNG. "Itu kewajiban penjual, kami hanya terima laporan," katanya. Padahal, dalam wawancara dengan Tempo, juru bicara Pertamina, Mochamad Harun, berulang kali memastikan bahwa skema kontrak baru Ekaputra sudah disetujui BP Migas. WAHYU D | FEBRIANA F | MOHAMMAD NAFI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus