Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

investigasi

Akrobat Pintu Belakang Ekaputra

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah perayaan ulang tahunnya yang ke-54, awal Desember lalu, PT Pertamina (Persero) justru dirundung kabar buruk. Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menelisik sebuah kasus pelik di tubuh badan usaha milik negara itu.

Pokok masalahnya adalah perjanjian sewa-menyewa tanker pengangkut gas alam cair (liquefied natural gas—LNG) bernama Ekaputra. Kapal milik PT Humpuss Intermoda Transportasi ini disewa Pertamina sejak 1990. Tugasnya bolak-balik mengantar kargo gas alam cair dari Blok Mahakam, Kalimantan, ke Yung-An, Taiwan. Kontrak itu dibuat di puncak kejayaan rezim Orde Baru, ketika Keluarga Cendana memperlakukan Pertamina bak sapi perah.

Ketika kontrak panjang Ekaputra berakhir pada Desember 2009, Pertamina berada di simpang jalan: meneruskan perannya sebagai "induk semang" Humpuss atau berhenti sama sekali. Perusahaan minyak dan gas milik negara itu mengambil pilihan pertama. Demi menangguk profit dari sewa kapal LNG ke Jepang, Pertamina dan Humpuss berakrobat membuat kontrak baru untuk Ekaputra. Di balik layar, kedua perusahaan itu diam-diam berbagi keuntungan.

Selesai? Tidak juga. Sekarang kasus ini menggelinding menjadi bola panas. Sejumlah petinggi Pertamina dan Humpuss sudah dipanggil ke markas KPK di Kuningan. Ada yang menuding kongkalikong ini menguntungkan segelintir orang saja. Sejumlah pejabat BP Migas juga mengaku kecolongan.


SEPANJANG 2010, ada pemandangan tak lazim di lepas pantai Bontang, Kalimantan Timur. Sebuah tanker raksasa pengangkut gas alam cair melego jangkar di sana, mengapung saja berbulan-bulan. Tercatat hanya dua kali tanker itu merapat ke pelabuhan, lalu berangkat mengirim kargo gas. Selebihnya menganggur. "Dari kilang tempat saya bekerja, cuma kubahnya yang tampak di kejauhan," kata seorang karyawan di kompleks pengolahan gas Badak NGL di sana kepada Tempo akhir Desember lalu.

Kapal berlambung merah dengan lima kubah raksasa penampung LNG itu adalah Ekaputra. Inilah kapal legendaris kebanggaan PT Humpuss Intermoda Transportasi, perusahaan perkapalan milik anak bungsu mantan presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra.

Bisa dibilang, Ekaputra merupakan fondasi kerajaan bisnis Humpuss Intermoda. Tanker ini adalah kapal pengangkut LNG pertama yang dimiliki perusahaan itu. Jeda setahun tanpa kontrak pengangkutan LNG buat tanker berkapasitas 136 ribu meter kubik itu tentu menerbitkan tanda tanya.

Apa yang terjadi? Rupanya, pada akhir 2009, kontrak panjang Pertamina untuk Ekaputra berakhir. Sesuai dengan perjanjian awal, 20 tahun lampau, Pertamina punya hak istimewa untuk memperoleh perpanjangan kontrak lima tahun dengan nilai US$ 3,2 juta per tahun. Ini jelas supermurah. Soalnya, harga pasar saat ini untuk sewa tanker semacam Ekaputra bisa sampai US$ 20 juta per tahun. Jadi, kontrak kedua ini memang semacam bonus untuk badan usaha milik negara itu.

"Selain sewanya murah, Pertamina memang butuh tanker," kata Vice President PT Pertamina (Persero) untuk Urusan Komunikasi Korporat, Mochamad Harun, kepada Tempo akhir November lalu. Dia lalu menyebut sejumlah proyek pembangunan kapasitas kilang gas alam di dalam negeri yang tentu membutuhkan tanker untuk menyuplai LNG.

Nyatanya, proyeksi bisnis Pertamina meleset. Ladang gas Donggi-Senoro di Sulawesi tak rampung-rampung. Pembangunan terminal gas terapung (floating storage and regasification unit) di Tanjung Priok mundur sedikit dari jadwal. Jadilah Ekaputra terapung-apung tanpa pekerjaan berarti selama setahun. Padahal argonya jalan terus. "Kami rugi, minus delta," kata Harun berterus terang.

Tentu Pertamina tak tinggal diam. Tapi langkah bisnis mereka berikutnya tak mudah dipahami orang. Pada akhir Desember 2010—baru setahun setelah kontrak kedua berjalan—Pertamina dan Humpuss menghentikan kontrak sewa Ekaputra. Pada saat bersamaan, keduanya justru membuat kontrak baru dengan jangka waktu lebih panjang dan dengan nilai tiga kali lipat lebih mahal. Pada kontrak ketiga yang berjangka waktu 10 tahun ini, nilai sewa Ekaputra melambung menjadi US$ 11 juta per tahun.

Perjanjian anyar ini membuat banyak orang garuk-garuk kepala. Mulai pejabat Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sampai penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi turun tangan. Sejak Juli lalu, ada kabar KPK sudah menetapkan kasus ini masuk tahap penyelidikan. "Kami sedang terus mendalami perkaranya," kata juru bicara Komisi, Johan Budi S.P., akhir Desember lalu.

Satu sumber Tempo mengatakan, dalam perjanjian itu, "Ada indikasi kerugian negara, karena semua biaya pengapalan nantinya ditagih dan dibebankan Pertamina kepada negara."

Benarkah demikian? Mengapa harga sewa Ekaputra mendadak dinaikkan? Ada apa di balik kontrak ketiga ini?

l l l

TANKER Ekaputra mulai dibangun pada 1986 dengan nilai amat wah pada masanya: US$ 160 juta. Pembuatan kapal ini menjadi simbol masuknya Humpuss ke bisnis pengiriman LNG di Indonesia. Agar manuvernya lebih yahud, perusahaan Tommy Soeharto itu menggandeng perusahaan kapal bonafide dari Jepang, Mitsui O.S.K. Lines. Perusahaan patungan mereka bernama Cometco Shipping Inc. Di sana, pada awalnya, Humpuss menguasai 55 persen saham.

Pada awal 1990, begitu Ekaputra siap berlayar, Pertamina langsung mengikat perjanjian sewa jangka panjang. Selama 20 tahun berikutnya, Pertamina harus membayar US$ 26 juta per tahun kepada Humpuss. Sejak itulah Ekaputra berlayar mengantarkan kargo demi kargo LNG dari Lapangan Badak di Bontang, Kalimantan Timur, ke Jepang, kemudian ke Taiwan.

Dengan harga sewa US$ 26 juta per tahun, di atas kertas, Humpuss sebenarnya sudah balik modal pada 10 tahun pertama. Artinya, pada tahun-tahun setelahnya, bak memelihara ayam bertelur emas, perusahaan itu tinggal menangguk rupiah dari penyewanya. Pendek kata, Pertamina jadi semacam "induk semang" yang setia menyusui Humpuss. "Anda tahulah bagaimana kondisi Pertamina di era Orde Baru," kata juru bicara Pertamina, Mochamad Harun, ketika ditanyai soal untung-ruginya kontrak itu buat mereka.

Setelah kontrak pertama habis pada Desember 2009, sebenarnya ada peluang untuk mengubah kondisi itu. Tapi, alih-alih menjauhkan diri dari Humpuss, sejak tiga tahun sebelumnya, Pertamina sudah menyatakan niat memperpanjang kontrak. Pertamina rupanya tak mau kehilangan hak istimewa menyewa Ekaputra selama lima tahun berikutnya, dengan harga miring. Niat perpanjangan itu pun lalu disampaikan Wakil Kepala Bidang LNG Pertamina Yenni Andayani dalam suratnya ke Humolco Trans—pengelola Ekaputra—pada 26 Februari 2007.

Humpuss tentu juga tak mau merugi. Hampir satu setengah tahun kemudian, barulah ada jawaban dari perusahaan itu. Pada 6 Agustus 2008, Direktur Perkapalan PT Humpuss Intermoda Bobby Andhika mengiyakan permohonan Pertamina. Sesuai dengan klausul khusus pada kontrak pertama, harga sewa pada kontrak kedua ini adalah US$ 3,2 juta per tahun.

Pada saat yang sama, Pertamina sedang merampungkan negosiasi dengan calon pembeli LNG dari Blok Mahakam. Sejumlah perusahaan pembangkit listrik dari Jepang sedang berunding soal kontrak jangka panjang pembelian 2-3 juta metrik ton LNG per tahun. Mereka adalah Chubu Electric Power, The Kansai Electric Power, serta Kyushu Electric Power dan sejumlah perusahaan lain—Nippon Steel Corp, Osaka Gas, dan Toho Gas. Gabungan perusahaan pembeli gas dari Jepang ini lebih dikenal dengan sebutan Western Buyers Extensions atau WBX.

Pada 13 Februari 2009—setelah berunding sejak Mei 2007—WBX sepakat meneruskan kontrak pembelian LNG dari Kalimantan. Setiap tahun para kontraktor Blok Mahakam—Total, Vico, dan Inpec—harus menyiapkan 3 juta metrik ton LNG untuk WBX. Kontrak berlaku selama 10 tahun, sejak 1 Januari 2011 sampai akhir Desember 2020.

Yang menarik, perjanjian itu juga sudah terang-terang menyebutkan pengiriman LNG untuk WBX akan ditangani dua kapal milik Humpuss: Ekaputra dan Dwiputra. Skemanya ex-ship alias Pertamina yang menyediakan kapal, sementara biayanya dibayar WBX.

Sumber Tempo yang mengikuti jalannya perundingan itu memastikan bahwa—setelah negosiasi alot—pihak WBX bersedia membayar US$ 11 juta per tahun untuk sewa Ekaputra. "Perundingan agak lama karena mereka tahu harga sewa Ekaputra sebenarnya cuma US$ 3,2 juta," katanya. Rupanya, isi kontrak kedua antara Pertamina dan Humpuss sudah bocor sampai ke Jepang.

Yang jelas, di akhir perundingan, dengan perhitungan kasar saja, Pertamina seharusnya mengantongi keuntungan US$ 7,8 juta per tahun dari transport element. Angka ini adalah selisih dari US$ 11 juta yang dibayarkan WBX dengan biaya riil sewa Ekaputra yang hanya US$ 3,2 juta.

Begitu kontrak pembelian LNG disepakati, Pertamina masih punya pekerjaan rumah. Pertama, mereka harus menegosiasikan pembagian keuntungan dari kontrak itu dengan pemilik Ekaputra: Humpuss. Dan kedua, Pertamina harus meminta persetujuan BP Migas. Soalnya, otoritas ekspor LNG di Indonesia memang ada di tangan BP Migas. Pertamina hanya agen penjualan yang ditunjuk BP Migas.

Di sini, perundingan mulai beronak-berduri. Misalnya ketika Pertamina menuntut Humpuss menanggung seluruh biaya sewa dan operasional Ekaputra pada 2010—ketika tanker itu terapung-apung tanpa kargo di lepas pantai Bontang--Humpuss menolak.

Dalam suratnya yang ditujukan kepada Vice President LNG Business Pertamina Hari Karyuliarto pada awal Juni 2009, Presiden Direktur Humpuss Antonius Sumarlin berdalih sedang kesulitan keuangan. "We have difficulty in terms of cash flows," tulisnya. Antonius malah minta seluruh pembayaran WBX pada tahun kelima kontrak, 2015, sebesar US$ 11 juta masuk ke kas Humpuss. Dia beralasan kontrak sewa Pertamina atas Ekaputra toh akan berakhir pada akhir 2014.

Dalam surat balasan yang ditandatangani Pelaksana Tugas Kepala LNG Bussines Pertamina Budiman Aliwinardi, Pertamina meluluskan permintaan pertama Humpuss. Tapi permintaan keduanya soal pembayaran penuh pada 2015 ditolak.

Akhirnya, diambil jalan tengah. Sesuai dengan dokumen yang diperoleh Tempo, pada lima tahun pertama, Pertamina dan Humpuss membagi profit dari sewa Ekaputra ke WBX. Humpuss mendapat 44 persen, sedangkan Pertamina memperoleh 56 persen. "Dari lima tahun kontrak itu, Pertamina mendapat total sekitar US$ 27 juta," kata Mochamad Harun.

Dengan begitu, nilai sewa Ekaputra untuk Humpuss pun naik, dari semula US$ 3,2 juta per tahun menjadi US$ 4,84 juta.

l l l

KELAR dengan urusan bagi-bagi duit, Pertamina kini tinggal membereskan perkara perizinan. Sesuai dengan heads of agreement antara Pertamina, kontraktor Blok Mahakam, dan WBX, semua skema dan nilai kontrak itu—termasuk soal sewa Ekaputra—harus disetujui BP Migas. Di sinilah akrobat kontrak Pertamina-Humpuss mulai dipersoalkan.

Pada April 2010, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengirim sepucuk surat ke Kepala BP Migas R. Priyono. Meski pada kepala surat hanya tertera "Perihal: Perpanjangan Kontrak Sewa Kapal LNG Dwiputra", isi surat itu juga menyinggung ihwal perpanjangan kontrak tanker Ekaputra.

Dalam suratnya, Karen meminta persetujuan BP Migas untuk memperpanjang kontrak sewa Dwiputra selama 10 tahun lagi, dan sewa Ekaputra ditambah 5 tahun. Dia juga menjelaskan bahwa Pertamina hanya mendapat untung sedikit dari penyewaan dua tanker itu. "Pertamina akan mendapat profit rata-rata sebesar US$ 0,025/mmbtu atau setara dengan US$ 1,28 juta per kapal per tahun," tulisnya.

Di bagian lain suratnya, Karen meminta "segala biaya dan kewajiban yang timbul dari kontrak sewa kapal LNG Ekaputra dan Dwiputra sepenuhnya dilakukan melalui mekanisme cost of sales". Tak ayal, ada kesan Pertamina minta BP Migas ikut menanggung biaya sewa kapal.

Seorang pejabat menengah BP Migas mengaku langsung bersungut-sungut membaca surat Pertamina itu. Dia menuding ini praktek lama Pertamina. Menurut dia, BUMN itu sering mengajukan tagihan cost of sales yang kelewat tinggi dan tak berdasar.

Selain itu, BP Migas punya pengalaman tak enak dengan Ekaputra. Pada Oktober-Desember 2010, Pertamina mengajukan permohonan penggantian untuk biaya perbaikan tanker sebesar US$ 1,2 juta per bulan. "Kapal yang jarang bawa muatan, kok, diperbaiki? Apalagi dokumen kontrak sewanya tidak ada," ujarnya.

Pendeknya, orang-orang BP Migas mencium ada kongkalikong antara Humpuss dan Pertamina di balik pengajuan perpanjangan kontrak sewa Ekaputra. Kecurigaan mereka menguat karena sejumlah petinggi LNG Business Pertamina pernah mengajukan permohonan—atas nama Humpuss—agar tanker Ekaputra diizinkan menjadi agunan kredit Humpuss ke bank. "Padahal permintaan itu sudah ditolak oleh bagian hukum Pertamina, tapi tetap bisa nyelonong ke BP Migas," kata sumber Tempo.

Dengan bumbu kecurigaan semacam itu, tak aneh perundingan Pertamina-BP Migas berlangsung lama. Pekan demi pekan, negosiasi tak kunjung menemukan titik temu. Belasan kali rapat diadakan di gedung Patra Jasa—kantor BP Migas ketika itu—dan selalu dead lock. Deputi Pengendalian Operasi BP Migas (waktu itu) Budi Indianto berkeras menolak perpanjangan kontrak Ekaputra dan Dwiputra dengan skema yang ditawarkan Pertamina. Tujuh bulan rencana itu maju-mundur di BP Migas.

Melihat gelagat buruk, Kepala BP Migas Priyono turun tangan. Dia meminta Deputi Pengendalian Keuangan BP Migas (waktu itu) Wibowo Suseso Wirjawan mengambil alih perundingan dengan Pertamina. Di tangan Wibowo—kakak kandung Menteri Perdagangan Gita Wirjawan—perundingan mulus kembali.

Akhirnya, pada awal November 2010—sebulan sebelum kontrak pengiriman LNG ke Jepang dimulai—BP Migas memberikan lampu hijau untuk perpanjangan kontrak sewa tanker Ekaputra dan Dwiputra, dengan sejumlah catatan. Misalnya, BP Migas minta Ekaputra mendapat perpanjangan kontrak sewa 10 tahun, sementara Dwiputra hanya kebagian perpanjangan 5 tahun. Alasannya, kepemilikan pihak swasta nasional dalam Ekaputra mencapai 95 persen, lebih besar daripada Dwiputra, yang mayoritas sahamnya dimiliki Mitsui.

Surat persetujuan BP Migas juga unik. Di satu bagian tegas disebutkan harga sewa (owner cost component atau OCC) untuk Dwiputra adalah US$ 11 juta per tahun. Tapi harga OCC untuk Ekaputra tak disebut-sebut dalam surat. Sumber Tempo menjelaskan itu adalah cara BP Migas menghindari risiko hukum dari akrobat kontrak ini.

Dihubungi awal Desember lalu, Budi Indianto membenarkan cerita ini. "Sejak itu, saya tidak punya hak mengurus LNG lagi," ujar Budi.

Dihubungi terpisah, Wibowo mengakui perannya dalam memuluskan perundingan. "Kami di BP Migas bekerja sebagai tim," katanya. Tapi dia menolak kalau disebut membantu Pertamina dan Humpuss. "Saya bekerja bukan atas titipan orang," ujarnya.

Juru bicara BP Migas, Gde Pradnyana, membantah ada ketegangan antara lembaganya dan Pertamina gara-gara perundingan panjang untuk tanker Ekaputra. "Kami juga tidak pernah dan tidak perlu memberikan persetujuan untuk perpanjangan kontrak apa pun di Pertamina," katanya. "Itu wilayah Pertamina sebagai agen penjualan LNG."

Pada akhir Desember 2010, Presiden Direktur PT Humpuss Intermoda Transportasi Bagoes Krisnamoerti dan Kepala Bisnis LNG Pertamina Hari Karyuliarto menandatangani mutual termination agreement yang berisi penghentian kontrak kedua Ekaputra. Perjanjian itu juga menegaskan skema pembagian laba dari kontrak US$ 11 juta per tahun dari WBX untuk kedua perusahaan itu.

Setelah itu, per 1 Januari 2011, kontrak ketiga Ekaputra resmi berlaku. Dalam kontrak baru ini, jangka waktu sewa Ekaputra diperpanjang menjadi 10 tahun dengan nilai melompat tiga kali lipat.

Berkat perpanjangan itu, pada lima tahun kedua setelah berakhirnya kontrak sewa Pertamina (2016-2020), Humpusslah yang berhak mengantongi semua setoran fulus dari WBX. Seperti mendapat durian runtuh, Humpuss akan mengantongi tak kurang dari US$ 55 juta.

l l l

JURU bicara Pertamina, Mochamad Harun, membantah bila disebut ada kongkalikong antara Pertamina dan Humpuss dalam silang sengkarut kontrak sewa Ekaputra ini. Dia juga menolak tuduhan ada pihak yang mendapat keuntungan pribadi dari deal sewa tanker jumbo itu.

Meski begitu, Harun membenarkan kedekatan antara Bagoes Krisnamoerti dan Hari Karyuliarto. Hari sekarang menjabat Sekretaris Korporat Pertamina. "Tapi perkawanan mereka tetap menjaga profesionalitas masing-masing," kata Harun, yang ditunjuk pimpinan Pertamina merespons semua pertanyaan Tempo mengenai kasus ini.

Dia juga menegaskan, baik negara maupun BP Migas tidak dirugikan oleh skema kontrak sewa Ekaputra. "Ini murni upaya optimalisasi bisnis Pertamina," katanya.

Pihak Humpuss Intermoda dan Bagoes Krisnamoerti menolak menanggapi artikel ini. Dalam surat tanggapan resmi mereka yang dikirim kepada Tempo, awal Desember lalu, Sekretaris Korporat Humpuss Yayak Iskandar hanya menulis, "Kami mohon maaf tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan Anda."


Tim Investigasi
Penanggung Jawab: Purwanto Setiadi Kepala Proyek: Muchamad Nafi Penulis: Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian, Yuliawati, Muchamad Nafi, Sandy Indra Pratama. Penyunting: Arif Zulkifli, Purwanto Setiadi, Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian. Penyumbang Bahan: Agung Sedayu, Febriana Firdaus, Muhammad Taufik, Firman Hidayat (Samarinda) Foto: Bismo Agung, Dwi Narwoko Desain: Ehwan Kurniawan, Aji Yuliarto Bahasa: Ian Bastian, Uu Suhardi

Rantai Panjang Sewa Kapal Ekaputra

URUSAN sewa kapal tanker LNG Ekaputra antara Humpus dan Pertamina melalui perjalanan bisnis yang panjang. Bermula pada masa Orde Baru, saat Hutomo Mandala Putra, putra bungsu almarhum Soeharto memiliki kesempatan istimewa untuk membangun kapal tanker nasional pertama sekaligus terbesar pada masa itu. Kini, urusan kapal berlabuh di Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan penyelidikan atas perpanjangan sewa kapal yang disertai perubahan harga. Simak lika liku sewa kapal Ekaputra berikut ini:

1987

1 Mei
PT Humpuss Intermoda dengan Pertamina membuat kontrak sewa kapal tanker LNG Ekaputra selama 20 tahun untuk wilayah Bontang, Kalimantan Timur - Yung An, Taiwan. Kapal Ekaputra dibangun oleh Cometco Shipping Inc dengan 95 persen saham dimiliki Humpuss dan 5 persen oleh Mitsui O.S.K Lines.

1990

1 Januari 1990 - 31 Desember 2009
Kapal LNG Ekaputra milik Humpuss selesai dibangun dan mulai disewa oleh Pertamina. Kontrak sewa berakhir 31 Desember 2009 dengan harga owner's cost component (OCC) US$ 26 juta/ tahun. Dalam kontrak disepakati, setelah berakhir Pertamina berhak memperpanjang kontrak 5 tahun dengan harga menjadi US$3,2 juta/tahun.

2007

26 Februari 2007
Pertamina memberikan pernyataan kepada pemilik kapal (Humpuss) akan memperpanjang selama 5 tahun dengan harga sesuai kontrak. Humolco Trans Inc sebagai penyedia jasa kapal pun mendapat pemberitahuan dari Pertamina.

2009

13 Februari
Heads of Agreement antara Pertamina, Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation dengan enam perusahaan pembeli gas mengenai kesepakatan sewa kapal LNG tanker Dwiputra dan Ekaputra dengan metode ex-ship yakni dikirim oleh penjual dari Blok Mahakam, Bontang, Kalimantan Timur sampai lokasi tujuan.

3 Juni
Setelah beberapa kali negosiasi, Humpuss mengusulkan kembali mengacu kontrak lama yaitu harga OCC sebesar US$ 3,2 juta/tahun dan berlaku sampai tahun 2014.

11 Juni
Pertamina menyetujui usulan Humpuss, dengan demikian maka kontrak diperpanjang 5 tahun dari 1 Januari 2010 s/d 31 Desember 2014 dengan harga OCC US$ 3,2 juta.

2010

1 Januari 2010-31 Desember 2014
Kontrak baru sewa kapal Ekaputra dengan harga US$ 3,2 juta dimulai. Sepanjang tahun 2010, Ekaputra mengangkut dua kargo.

27 April
Pertamina menyurati BP Migas meminta persetujuan perpanjangan sewa kapal LNG Dwiputra. Dalam surat disebutkan, pembeli LNG telah menyetujui menggunakan kapal Dwiputra selama 10 tahun dan Ekaputra 5 tahun berdasarkan perhitungan OCC masing-masing sebesar US$ 11 juta per tahun per kapal.

9 November
BP Migas mengeluarkan surat persetujuan perpanjangan kontrak kapal LNG Dwiputra selama 5 tahun (2011-2015) dengan harga US$ 11 juta per tahun. Sementara sewa kapal Ekaputra selama 10 tahun (2011-2020) tanpa disebutkan harga. Surat ditandatangani oleh Deputi Pengendalian Operasi, Budi Indianto.

30 Desember
Pertamina dan Humpuss (Cometco Shipping) membuat Mutual Termination Agreement (MTA) yang membatalkan kontrak sewa Ekaputra 2010-2014 karena ada permintaan pengiriman LNG dari Blok Mahakam oleh pembeli dari Jepang (WBX). MTA menyebutkan akan dibuat perjanjian sewa baru. Pembagian OCC untuk Humpuss 44 persen dan Pertamina 56 persen.

2011

1 Januari 2011-31 Desember 2020
Perjanjian antara Pertamina dengan Cometco Shipping (Humpuss) untuk sewa kapal Ekaputra dari 1 Januari 2011-31 Desember 2020 dengan harga OCC US$ 11 juta. Perjanjian ditandatangani 31 Desember 2011

Juli 2011
Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil pihak-pihak dari Pertamina dan BP Migas yang terlibat dalam kesepakatan sewa kapal Ekaputra.


Harga Sewa Tanker
Harga jangka pendek (spot) US$ 60-100 ribu per hari (periode 2010-2011) Legitnya bisnis gas terlihat dari pemasukan Humpuss yang ditopang hasil sewa kapal LNG oleh Pertamina.

Laporan keuangan Humpuss

Total pendapatanPendapatan usaha
dari Pertamina
Pendapatan dari LNG
(dalam Rp miliar)
2007
690,3506,7316,6
2008
930,3459333,5
2009
939469373
2010
348174 116

Sejarah Hitam Si Anak Emas

Humpuss mendominasi bisnis penyewaan tanker LNG untuk Pertamina. Berawal dari monopoli di era Orde Baru.

SEPARUH dinding di lantai 8 Gedung Granadi di kawasan bisnis Kuningan, Jakarta Selatan, itu tampak dipenuhi berbagai foto aktivitas eksploitasi minyak dan gas bumi. Terlihat pipa-pipa minyak yang mengkilat, kilang raksasa, rig yang menjulang di laut lepas dengan api berkobar-kobar di cerobongnya, serta tanker dan kapal beraneka jenis dan ukuran.

Inilah kantor pusat PT Humpuss Intermoda Transportasi, pionir bisnis pengapalan gas alam cair (LNG) di Tanah Air. Selama lebih dari 20 tahun, bendera Humpuss berkibar, mendominasi kontrak-kontrak pengiriman kargo gas alam ke Korea, Jepang, Taiwan, sampai Amerika Serikat.

Di satu sudut lantai itu, tak jauh dari ruang direksi, sebuah maket sepanjang hampir semeter tampak mencolok. Dilindungi kaca tebal, maket itu adalah replika yang luar biasa mirip dari tanker kebanggaan Humpuss. Warna lambung kapalnya merah menyala, dengan lima kubah penyimpan LNG di atasnya. Di haluan kapal, tercetak besar-besar nama kapal itu dengan cat putih bersih: Ekaputra.

Pada zamannya, tanker LNG Ekapu­tra adalah pembuat sejarah. Ketika selesai dibangun pada 1990, kapal yang bisa mengangkut kargo sampai 136 ribu meter kubik ini adalah kapal terbesar pengangkut gas alam cair yang pernah dimiliki perusahaan Indonesia. Dibuat khusus di galangan kapal Mitsubishi di Jepang, kehadirannya digadang-gadang sebagai awal masa keemasan eksplorasi gas di Nusantara.

"Adanya kapal ini menyebabkan biaya angkutan, yang selama ini jatuh ke luar negeri, kini diterima bangsa sendiri," kata pemilik tanker itu, Hutomo Mandala Putra, dalam sebuah wawancara dengan Tempo, 20 tahun lalu. Hutomo alias Tommy adalah putra bungsu Soeharto.

Ekaputra adalah kapal pertama dalam armada Cometco Shipping Inc—perusahaan patungan Humpuss milik Tommy Soeharto dan Mitsui O.S.K Lines Ltd dari Jepang. Biaya pembuatan kapal Ekaputra sebesar US$ 160 juta diperoleh dari sindikasi 15 bank asing, termasuk Bank of Tokyo.

Beberapa badan usaha milik negara, termasuk Pertamina, dengan senang hati menawarkan sewa kepada Tommy. Tanpa tender, perusahaan minyak dan gas bumi itu membuat kontrak jangka panjang untuk meminjam Ekaputra. Selama 20 tahun berikutnya—sampai Desember 2009—setiap tahun Pertamina membayar US$ 26 juta untuk menyewa tanker jumbo itu.

Terkesan dengan gurihnya bisnis penyewaan kapal LNG—apalagi dengan captive market di tangan—Humpuss segera berekspansi. Empat tahun kemudian, perusahaan itu meluncurkan tanker baru, Dwiputra. Dengan kapasitas sedikit lebih kecil dibanding abangnya, tanker itu berukuran 61.700 deadweight tonnage (DWT).

Sama seperti Ekaputra, begitu Dwiputra siap berlayar pada 1994, Pertamina langsung mengikat kontrak jangka panjang. Tapi belakangan, baru ketahuan bahwa produksi LNG di Bontang, Kalimantan Timur, belum membutuhkan satu lagi tanker. Walhasil, Dwiputra menganggur hampir dua tahun. Meski tanker itu tak bekerja, argonya jalan terus. Pertamina pun tak pernah terlambat membayar sewa.

Kisah Dwiputra ini jadi pergunjingan di kalangan pebisnis migas. Pasalnya, harga tanker LNG rata-rata dua atau tiga kali lipat harga kapal jenis lain. Saking mahalnya, perusahaan migas biasanya memastikan dulu ada kontrak pengiriman kargo gas sebelum berekspansi membangun tanker LNG. "Bahkan sering kali perusahaan penjual LNG patungan dengan pembelinya untuk membuat tanker," kata Yoga Suprapto, mantan Presiden Direktur Badak NGL, yang kini aktif sebagai konsultan energi di Rinder Energia.

Juru bicara Pertamina, Mochamad Harun, tak membantah cerita tentang monopoli Humpuss dalam bisnis pengapalan LNG Pertamina ini. "Anda tahu sendiri bagaimana kondisi Pertamina di zaman Orde Baru," katanya. Namun tak satu pun pejabat Humpuss saat ini yang bersedia diwawancarai. "Maaf, kami tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan," tulis Sekretaris Korporat PT Humpuss Intermoda Transportasi Yayak Iskandar dalam surat jawabannya untuk Tempo.

Ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada 1997, bisnis Humpuss terseok-seok. Kontrak sejumlah kapal dibatalkan dan mereka kelimpungan mencari penyewa. Sumber Tempo bercerita, ketika itu, Humpuss sempat terpaksa menjual sebagian armada kapal pengangkut metanol. "Mereka mencoba masuk bisnis angkutan batu bara, tapi kapalnya kemahalan," katanya.

Kesulitan di era pasca-Soeharto juga membuat Humpuss terpaksa melakukan sejumlah restrukturisasi. Salah satunya dengan merelakan kepemilikan sahamnya di Dwiputra menyusut, diganti (swap) dengan kepemilikan mayoritas di tanker Ekaputra. Sekarang, Humpuss menguasai 95 persen saham Ekaputra.

Itu pun belum banyak membantu. Empat tahun terakhir, neraca Humpuss tampak suram—kecuali pada 2009, ketika perusahaan itu meraup laba Rp 27,3 miliar. Pada 2008, perusahaan tersebut rugi Rp 66,6 miliar. Dua tahun kemudian, pendapatan Humpuss bahkan anjlok dengan rugi sebelum pajak mencapai Rp 650-an miliar. Tahun ini, dalam laporan kuartal ketiga perusahaan itu, pendapatannya masih minus Rp 43 miliar. Dalam laporan resminya, Humpuss menjelaskan, merosotnya kinerja mereka didorong oleh beban usaha dan beberapa masalah hukum yang membelit.

Untunglah ada Pertamina. BUMN ini masih setia membantu bisnis Humpuss. Hingga tahun ini, pemasukan terbesar Humpuss berasal dari sektor penyewaan kapal—yang lebih dari separuhnya disumbang oleh kapal-kapal LNG yang disewakan ke Pertamina.

Lihat saja neraca Humpuss pada 2010. Dari total pemasukan sebesar Rp 348 miliar, bisnis penyewaan kapal LNG menyumbangkan Rp 116 miliar. Semuanya berasal dari Pertamina. Angka-angka yang sama tampak pada neraca pemasukan Humpuss sampai lima tahun ke belakang.

Selain menyewa Ekaputra dan Dwiputra, Pertamina memang menyewa dua kapal lain yang dikelola Humpuss. Dua kapal lain itu, Surya Aki dan Surya Satsuma, berukuran lebih kecil—hanya sekitar 12 ribu DWT—dan sama-sama melayani pengiriman LNG dari Bontang ke Jepang.

Praktek anak emas ini tak dinikmati perusahaan perkapalan lain. Oentoro Surya, Presiden Direktur PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk dan mantan Ketua Asosiasi Perusahaan Pelayaran Indonesia, memberi contoh. "Lihat saja kontrak-kontrak penjualan minyak dan gas bumi kita ke luar negeri. Semua menggunakan skema FOB (free on board)," kata Oentoro. Skema FOB mensyaratkan pembeli migas menyediakan kapal sendiri untuk pengangkutan. "Mereka datang ke sini sudah bawa kapal sendiri," ujarnya mengeluh.

Sebaliknya, kata Oentoro lagi, ketika membeli minyak bumi dari luar negeri, Pertamina justru mau saja menerima skema pembelian dengan CIF (cost, insurance, freight). Artinya, si penjual yang datang ke terminal Pertamina menyetorkan minyak pesanan Pertamina. Dengan kata lain, kecuali milik Humpuss, tak banyak kesempatan kapal pengangkut dalam negeri mendapat proyek. "Kebijakan semacam itu tidak menguntungkan untuk industri pelayaran dalam negeri," ujarnya.

Walhasil, sampai sekarang, praktis Humpuss bertahan sendirian sebagai pemain nasional yang dominan di bisnis pengapalan LNG. Kompetitor lain tidak bisa sembarangan masuk ke lahan yang sudah puluhan tahun dikuasai perusahaan itu. "Selain perlu modal besar, profit margin-nya tipis," kata satu pelaku industri perkapalan.


Salah Urus dari Awal

Pertamina pernah membangun armada tanker di era Ibnu Sutowo. Hampir bangkrut karena manajemen berantakan.

MENTERI di era Soeharto itu masih bugar. Ia terlihat necis dengan hem putih dan dasi cokelat, yang dibalut jas abu-abu motif kotak-kotak. Rambutnya yang putih dan makin tipis tidak bisa menyembunyikan usianya yang mendekati kepala delapan. Namun ingatan pria kecil itu masih tajam saat diberondong pertanyaan soal krisis utang tanker Pertamina, yang terjadi lebih dari tiga dekade silam.

Dialah Johannes Baptista Sumarlin, kini 79 tahun. Bersama Menteri Perdagangan Radius Prawiro, ia ditunjuk oleh Presiden Soeharto menyelesaikan tumpukan utang Pertamina senilai US$ 10,5 miliar. Posisinya saat itu Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara merangkap Wakil Ketua Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Sumarlin masih ingat, dewan komisaris yang diketuai Menteri Pertambangan M. Sadli tidak tahu ada krisis utang di Pertamina. "Ibnu Sutowo tidak pernah melapor ke komisaris," ujar Sumarlin saat ditemui di Jakarta, pertengahan Desember tahun lalu. Utang jumbo ini terkuak setelah banyak bank asing, sekitar awal 1975, wira-wiri ke Jakarta, menagih piutang ke Pertamina.

Gara-gara belitan utang itu, mimpi Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo membangun armada kapal—terutama buat mengirim minyak ke mancanegara—berantakan. Imbasnya, gerak-gerik bisnis Pertamina dibatasi. "Semua diberi pagar karena pemerintah tidak mau lagi ambil risiko," kata Yoga P. Suprapto, bekas Presiden Direktur PT Badak NGL.

Keputusan itu dipertegas dengan munculnya surat keputusan dewan komisaris Pertamina yang membatasi investasi Pertamina dalam jumlah besar. "Kepala kami seperti dilepas, tapi kaki diikat," kata bekas petinggi Pertamina.

Tak mengherankan bila hingga kini perusahaan pelat merah ini tidak pernah punya tanker liquefied natural gas (LNG), yang membutuhkan investasi jumbo serta menelan dana tiga kali lipat tanker biasa.

Padahal sejumlah praktisi di bisnis minyak dan gas alam cair mengatakan sudah saatnya perusahaan sekelas Pertamina memiliki tanker LNG sendiri. Mereka membandingkan Pertamina dengan Petronas. Melalui anak usahanya, Malaysia International Shipping Corporation (MISC), Petronas memiliki 34 tanker LNG. Perusahaan minyak dan gas bumi milik pemerintah Malaysia itu tercatat sebagai pemilik armada kapal LNG terbesar di dunia.

l l l

SEBAGAI Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo dikenal punya ambisi tinggi dan ingin gerak serba cepat. Pensiunan jenderal bintang tiga itu jorjoran membangun armada tanker Pertamina. "Ia ingin Pertamina terjun ke bisnis angkutan minyak di perdagangan internasional," kata Sumarlin.

Keputusan bisnis itu, kata Sumarlin, tidak sesuai dengan tugas pokok Pertamina. Perusahaan yang dulunya bernama Permina ini tidak didesain untuk membangun armada tanker buat menga­palkan minyak di perdagangan internasional. Justru yang dibutuhkan saat itu adalah kapal kecil untuk mendistribusikan minyak antarpulau. Ketentuan itu tertuang dalam Undang-Undang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nomor 8/1971.

Yang bikin celaka, pengadaan tanker itu asal tunjuk alias tanpa tender. Perusahaan minyak dan gas pelat merah itu harus melunasi utang jangka pendek US$ 3,3 miliar kepada para makelar kapal. Jumlah kewajiban tersebut hampir sepertiga dari total utang Pertamina pada saat itu.

Masalah muncul setelah kalkulasi bisnis Ibnu meleset. Memasuki pertengahan 1970-an, perdagangan minyak dunia lesu. Sebagian besar tanker Pertamina menganggur karena tidak membawa muatan. Sementara itu, banyak tagihan jangka pendek mulai jatuh tempo. Puncaknya, Ibnu dicopot pada 1976.

Sejak itu, peran dewan komisaris Pertamina diperkuat. Tim yang dipimpin Sumarlin dan Radius lalu menghentikan beragam proyek mercusuar yang diimpikan Ibnu. "Kami membatalkan seluruh kontrak sewa-beli (hire purchase) kapal tanker samudra," ujar Sumarlin.

Namun ikhtiar itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Para makelar kapal menolak kontrak dibatalkan. Akibatnya, pemerintah Indonesia berhadapan dengan para cukong kapal di 13 pengadilan yang tersebar di seluruh dunia, di antaranya di Singapura, Jepang, New York, Washington, dan London.

Makelar yang paling sengit memaksa agar kontrak diteruskan adalah Bruce Rappaport. Gara-gara terikat perjanjian dengan pria berkebangsaan Israel, Amerika Serikat, dan Swiss inilah Pertamina terjebak utang US$ 1,5 miliar, hampir setengah dari total utang tanker Pertamina yang saat itu menembus US$ 3,3 miliar.

Rappaport bukan orang baru buat Pertamina. Bos Inter Maritime Management Corporation ini yang mendatangkan tanker Proteus berbobot 30 ribu ton dari perusahaan Skandinavia.

Ia pernah menjamu Ibnu di sebuah klub malam di Jenewa, Swiss, menjelang akhir 1960-an. Pria licin ini berjanji menyuplai puluhan kapal buat Pertamina. Pendek kata, ia menjadi tangan kanan Pertamina untuk urusan sewa-beli tanker dan menjadi orang kepercayaan Ibnu.

Rappaport, misalnya, menjamin pasokan 21 kapal berbagai ukuran, selama 10 tahun, buat Pertamina. Ia pula yang berperan saat Pertamina menyewa-beli empat tanker—bernama Ibnu, Gina, Kollbris, dan Sea Breeze—masing-masing sekitar 134 ribu ton dari Martropico Compania Naviera SA, perusahaan afiliasi Rappaport yang tercatat di Panama. Pada Mei 1971, Pertamina mencarter tanker Keiko Maru dari perusahaan afiliasi Rappaport yang lain, Neptunea Atlantica SA, juga dari Panama.

Pada 1972, Rappaport menandata­ngani perjanjian memasok 30 kapal buat Pertamina. Lalu, satu tahun kemudian, Pertamina menyewa-beli enam tanker dari perusahaan afiliasi Rappaport yang lain, Rasu Maritima SA, yang tercatat di Liberia.

Kebobrokan Rappaport terendus setelah Pertamina menandatangani kontrak carter dua tanker lagi. Kedua kapal—Hulls 93 dan Hulls 285—ternyata belum dibuat. Kedua kapal nisbi itu ditukar dengan empat kapal yang lebih kecil. Total tanker yang disewa-beli oleh Pertamina menggelembung menjadi 15 buah, berbobot mati 1,4 juta ton, dan seharga, waktu itu, US$ 1,55 miliar.

Saat Sumarlin dan Radius Prawiro hendak membatalkan seluruh kontrak, Rappaport membawa sengketa ini ke pengadilan New York. Buat meladeninya, Indonesia menyewa Raymond J. Burke, pendiri Burke & Parsons, firma hukum asal Manhattan, Amerika Serikat.

Nah, di tengah proses renegosiasi, Rappaport berusaha menemui Sumarlin. Ia juga mengutus orang-orangnya buat membujuk Sumarlin agar kontrak kapal diteruskan. "Tapi saya selalu menolak," katanya.

Sebagian besar kontrak dengan Rappaport akhirnya bisa diselesaikan pada 1977. Konsekuensinya, Indonesia mesti membayar US$ 150 juta selama tiga tahun. "Tapi ongkos itu masih lebih murah ketimbang seluruh kontrak diteruskan," kata Sumarlin. Seluruh proses persidangan baru tuntas pada awal 1980-an.

Di mata Sumarlin, krisis yang terjadi di Pertamina saat itu murni akibat kelalaian manajemen yang dilakukan Ibnu. "Membesarkan Pertamina dengan utang besar adalah kesalahan besar," katanya.

Namun Ibnu menolak seluruh kesalahan ditimpakan kepada dirinya. "Semua keputusan penting sudah saya rundingkan dengan anggota komisaris," kata Ibnu dalam wawancara dengan Tempo pada awal 1976.

Baru belakangan pria yang pernah dijuluki Rockefeller Indonesia ini membuat pengakuan tertulis di bawah sumpah bahwa ia melakukan serangkaian kesalahan pribadi yang menabrak undang-undang Pertamina. "Saya telah menandatangani 1.600 nota perjanjian pembayaran yang disodorkan Bruce Rappaport tanpa membacanya terlebih dahulu," tulis Ibnu dalam pernyataannya.

Sesungguhnya, bila Soeharto mau, bisa saja Ibnu dibawa ke proses hukum. Namun keputusan politik berkata lain.

l l l

SAAT gas alam cair menyembur di Arun dan Bontang setelah pertengahan 1970-an, Pertamina ditunjuk sebagai wakil pemerintah buat memasarkannya. Namun, karena terseok utang, Pertamina tidak boleh membeli kapal LNG.

Perusahaan negara itu lalu menyewa delapan tanker, di antaranya Burma Gas, Hoegh, dan Golar Spirit. Seluruh sewa kapal berakhir tahun lalu.

Pada awal 1990, Pertamina menyewa Ekaputra, kapal milik PT Humpuss Intermoda Tbk, perusahaan milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Selain menyewa Ekaputra, Pertamina menyewa kapal Dwiputra, Golar Mazo, Surya Aki, dan Surya Satsuma—semuanya di bawah pengelolaan Humpuss.

Juru bicara Pertamina, Mochamad Harun, mengatakan Pertamina saat itu memang belum memiliki strategi buat memiliki kapal LNG. Soalnya, Pertamina bukan operator di ladang gas itu. "Buat apa punya kapal gas alam cair kalau marginnya tipis?" kata Harun. Posisi Pertamina hanya mewakili pemerintah melaksanakan kontrak jual-beli gas alam cair sekaligus menyewa kapal.

Toh, bukan berarti keinginan membangun armada tanker gas alam cair di masa depan tidak ada. Namun, "Kami masih fokus membangun kapal angkut bahan bakar minyak buat kebutuhan domestik terlebih dulu," kata Harun. Dari 160 kapal pengangkut bahan bakar minyak yang kini beroperasi, cuma seperlima yang benar-benar dimiliki Pertamina, selebihnya masih sewa.


Bisnis Kapal di Ladang Gas

CADANGAN gas di Tanah Air sebesar 1,5 persen dari total persediaan dunia menjadi perhatian produsen dan pembeli gas dunia. Lapangan gas Arun di Aceh dan Bontang di Kalimantan Timur menjadi pendulang devisa pada 1980-an. Beroperasinya blok gas Tangguh di Papua menambah produksi gas Indonesia. Dengan pembeli dari Jepang, Korea Selatan, Cina, dan Amerika Serikat, bisnis tanker menjadi bagian dari jaringan transaksi gas alam cair yang menggiurkan.

Arun, Aceh
Tahun produksi: 1978, 1983, 1986
Operator: PT Arun Natural Gas Liquefaction (Arun NGL)
Produsen gas: ExxonMobil
Kapasitas: 6,4 juta metrik ton per tahun
Jumlah kilang: 6 (kini beroperasi 2)
Kandungan: 17,1 triliun kaki kubik dengan jangka waktu produksi 20 tahun dan diperkirakan habis pada 2014
Tujuan ekspor: Korea dan Jepang

Badak, Bontang
Tahun produksi: 1977, 1983, 1989, 1993, 1997, 1999
Operator: PT Badak Natural Gas Liquefaction (Badak NGL)
Produsen gas: Total, Vico, Unocal
Kapasitas: 22,5 juta metrik ton per tahun
Kilang: 8

Kapasitas ekspor (juta ton per tahun)

  • Jepang: 3
  • Korea: 2
  • Taiwan: 1,84

    Kapasitas ekspor (juta ton per tahun)

    Tangguh, Papua Barat
    Tahun produksi: 2007
    Operator: BP Indonesia
    Produsen gas: CNOOC, BP, Nippon, MI Berau BV, KG
    Lokasi: Teluk Bintuni, Papua Barat, terdiri atas Blok Berau, Wiriagar, dan Blok Muturi
    Kapasitas: 7,65 juta metrik ton per tahun
    Kandungan: 14,4 triliun kaki kubik

  • Jepang: 3
  • Korea: 2
  • Taiwan: 1,84

    * Ekaputra (Jepang, DES)

    Kapal andalan Humpuss Intermoda. Dibuat pada 1987 dengan kapasitas 78.988 deadweight tonnage (DWT), Ekaputra merupakan kapal LNG terbesar di dunia saat itu. Berbendera Liberia, kapal ini dibuat dengan investasi US$ 178 juta.

    Menurut laporan keuangan Humpuss pada Desember 2008, nilai buku kapal Ekaputra sebesar Rp 632 miliar.

    Tujuan: Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang

    * Dwiputra (Jepang, DES)

    Pemilik kapal adalah Pacific LNG Transport Ltd. Dibangun pada 1994 dengan ukuran 61.700 DWT, manajemen kapal berbendera Bahama ini dikelola oleh Humpuss. Disewa Pertamina dari Bontang menuju Jepang.

    * Surya Aki (Jepang, CIF)

    Kapal milik MCGC International Ltd. Dengan manajemen kapal dikelola oleh Humpuss, Surya Aki disewa Pertamina melayani rute Bontang-Jepang. Dibangun pada 1996, ukuran kapal ini 10.599 DWT.

    * Surya Satsuma (Jepang, CIF)

    Kapal ini milik MCGC II International Ltd, tapi manajemen dan kru kapal dikelola oleh Humpuss. Dibangun pada 2000, kapal berkapasitas 12.493 DWT ini melayani rute Bontang-Jepang.

    * Golar Mazo (Taiwan, CIF)

    Faraway Maritime Shipping adalah pemilik kapal ini. Dibangun pada 2000 dengan kapasitas 135 ribu DWT, kapal berbendera Liberia ini disewa oleh Pertamina hingga 2017 untuk membawa gas menuju Taiwan.

    *Kapal yang diSewa Pertamina untuk pengiriman LNG

    Tujuan ekspor ==> Arun ==> Tangguh

    Keterangan:
    Tiga skema pengiriman LNG:

    FOB (free on board): kepemilikan LNG beralih ke pembeli ketika dipindahkan ke kapal pada fasilitas ekspor LNG. Pembeli bertanggung jawab atas pengiriman LNG. Harga penjualan LNG tidak termasuk biaya transportasi.

    CIF (cost, insurance, freight): kepemilikan LNG beralih ke pembeli pada suatu titik pada perjalanan antara terminal pengiriman dan terminal penerimaan. Penjual bertanggung jawab atas pengiriman LNG. Harga penjualan termasuk asuransi dan biaya transportasi.

    DES (delivered ex-ship): kepemilikan LNG beralih ke pembeli di terminal penerimaan. Penjual bertanggung jawab atas pengiriman LNG. Harga penjualan mencakup asuransi dan biaya transportasi.


    Mochamad Harun:
    Yang Penting Negara Tidak Rugi

    BERADA di titik pusat pusaran masalah ini membuat para pejabat PT Pertamina (Persero) mendadak puasa bicara. Semua yang dihubungi Tempo angkat tangan dan menunjuk Vice President Corporate Communication Pertamina Mochamad Harun sebagai juru bicara. "Supaya satu pintu saja," kata satu petinggi Pertamina.

    Bergulirnya penyelidikan kasus ini di Komisi Pemberantasan Korupsi memang membuat para pengambil kebijakan di Pertamina pusing tujuh keliling. Berulang kali Harun berkeras tidak ada unsur kerugian negara ataupun unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain—dua unsur yang mengindikasikan ada-tidaknya korupsi—dalam skema kontrak baru tanker Ekaputra.

    "Pertamina justru untung, dan keuntungan Pertamina, sebagai badan usaha milik negara, pasti bakal masuk ke negara juga," katanya. "Kalau ada duit yang mengalir ke kantong pribadi, kami pasti sudah lama ditangkap KPK," ujar Harun dengan nada tinggi. Dia mengaku gemas jika upaya optimalisasi bisnis Pertamina direcoki tudingan korupsi.

    Dalam dua kesempatan pada akhir November lalu, Tempo mewawancarai Harun perihal perkara sewa-menyewa Ekaputra ini.

    Ada tuduhan perjanjian kontrak tanker Ekaputra antara Pertamina dan Humpuss membuat negara kehilangan potensi pemasukan jutaan dolar. Benarkah?

    Itu tidak benar. Kami menilai perjanjian itu tidak merugikan negara. Pertamina justru mendapatkan untung dari perubahan nilai kontrak. Semula kami membayar Humpuss US$ 3,2 juta per tahun, tapi sekarang—dengan skema charter back: Humpuss menyewa kembali kapalnya seharga US$ 11 juta—Pertamina mendapat keuntungan sekitar US$ 7,8 juta setiap tahun. Selisih nilai kontrak kapal masuk ke Pertamina. Total Pertamina mendapat US$ 27 juta sampai kontrak berakhir pada 2014.

    Kabarnya, kontrak baru ini sempat tersendat karena Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) tak kunjung memberikan lampu hijau….

    Ini memang model skema kontrak yang baru pertama kali diterapkan. Wajar jika perlu pembahasan panjang. Yang jelas, pemasukan untuk negara tidak berkurang. Tidak ada penambahan nilai cost recovery atau cost of sale.

    Kami mendapat informasi, sampai sekarang pun BP Migas tidak pernah memberikan persetujuan.

    Saya tidak mau berkomentar soal itu. Yang jelas, kami punya surat dari BP Migas yang isinya memberikan persetujuan atas rencana kami menggunakan tanker Ekaputra untuk pengapalan LNG ke Jepang.

    Mari kembali ke awal, ketika Pertamina meminta perpanjangan kontrak Ekaputra untuk lima tahun (2009-2014) dengan nilai US$ 3,2 juta. Apa dasar pertimbangannya?

    Kami punya first option dari kontrak pertama dan harganya murah. Selain itu, Pertamina memang butuh tanker. Kami proyeksikan tanker itu untuk mengisi pasar spot ekspor LNG ke Jepang. Juga untuk kebutuhan pasar domestik. Pada awal 2012, akan ada terminal gas terapung di Tanjung Priok, kemudian menyusul satu lagi di Semarang. Ada juga ladang gas di Arun yang akan diubah jadi kilang penampungan. Semua pasti membutuhkan tanker untuk pengisian LNG.

    Tapi, kenyataannya, pada tahun pertama perpanjangan kontrak, tanker Ekaputra "menganggur" di Bontang, Kalimantan Timur?

    Setiap keputusan bisnis memang ada risikonya. Pada 2010, Ekaputra memang hanya mendapat dua kontrak pengiriman LNG.

    Jadi, Pertamina menderita kerugian?

    Ada kerugian minus delta. Justru karena kami menanggung risiko itulah wajar jika kami mengambil keuntungan dari perubahan kontrak berikutnya.

    Dari mana angka US$ 11 juta untuk kontrak baru Ekaputra diperoleh?

    Kami punya perhitungannya, tentu dengan mempertimbangkan fluktuasi harga sewa tanker di pasaran, proyeksi atas kondisi bisnis LNG di masa depan, dan seterusnya. Selain itu, tanker Dwiputra yang disewa lebih dulu untuk rute yang sama juga dipakai dengan harga US$ 11 juta per tahun.

    Siapa yang menegosiasikan harga itu?

    Pertamina dengan pihak Jepang. Kami tentu ingin mendapat harga sewa yang tinggi untuk Ekaputra. Tapi, setelah negosiasi, kami sepakat dengan harga itu.

    Pembayaran US$ 11 juta itu masuk ke rekening siapa?

    Dari trustee account, dana itu masuk ke Humpuss, lalu Pertamina menagihkan persentase yang menjadi hak kami.

    Sekilas, kontrak kedua ini amat menguntungkan Humpuss. Dari US$ 3,2 juta per tahun, mereka sekarang mendapat US$ 4,84 juta per tahun dari Ekaputra….

    Ini murni perjanjian bisnis. Masing-masing pihak punya perhitungan bisnis.

    Mengapa sampai sekarang sebagian besar pengapalan LNG Pertamina masih menggunakan kapal-kapal milik Humpuss?

    Dulu, pada zaman Orde Baru, Anda tahu sendiri situasinya. Tapi sekarang, semua penyewaan tanker melalui tender yang terbuka.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus