Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Said Aqil Siradj*
KONFLIK di Sampang, Madura, membuka mata bahwa kita memiliki saudara: Syiah. Mungkin karena jumlahnya kecil—sekitar satu persen dari total muslim di Indonesia—kita sering melupakan mereka. Meski memiliki beberapa perbedaan dengan Sunni, aliran mayoritas Islam di Indonesia dan dunia, Syiah pantang dimusuhi. Kita hidup bersama mereka sejak awal perkembangan Islam.
Untuk memahami Syiah, kita perlu kembali ke abad VII. Syiah—secara literal berarti pengikut—mulai dikenal setelah Ali bin Abi Thalib terbunuh di Kufah, Irak, Ramadan 40 Hijriah (622 Masehi). Mereka adalah kelompok pencinta Ali, pemimpin keempat khulafaur rasyidin—orang-orang terdekat Nabi Muhammad SAW. Pembunuhan Husain, cucu Rasulullah, di Karbala, Irak, 10 Muharram 61 Hijriah, membuat kelompok itu meningkatkan posisinya sebagai partai politik. Peringatan Tragedi Karbala atau Hari Asyura—menangis berjemaah sembari memukul-mukul badan sebagai pengingat penderitaan Husain—menjadi ciri khas kelompok ini.
Syiah mempunyai peraturan dasar. Masalah kepemimpinan dijadikan satu dengan rukun agama. Menurut mereka, Nabi Muhammad SAW berwasiat umat muslim harus mengangkat Ali sebagai pemimpin politik setelah beliau wafat. Keyakinan itu didasari peristiwa saat Rasul dan pengikutnya pulang haji pada 632 Masehi. Di Baqha, di pinggir Kota Mekah, Nabi mengangkat tangan Ali tinggi-tinggi seraya berkata, "Barang siapa menganggap saya pemimpin harus menganggap Ali pemimpin. Orang yang membenci Ali berarti orang munafik."
Syiah meyakini hanya Ali pemimpin yang sah setelah Nabi wafat. Ali meneruskan wasiat Nabi dengan menunjuk anaknya, Hasan dan Husain, sebagai pemimpin. Begitu seterusnya. Artinya, pemimpin harus berasal dari Ahlul Bait, keluarga Nabi. Ada 12 imam yang diakui kaum Syiah. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Hasan al-Mujtaba, Husain asy-Syahid, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far as-Shadiq, Musa al-Kadzim, Ali ar-Ridha, Muhammad al-Jawad, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari, dan Muhammad al-Mahdi.
Imam Mahdi (lahir 868 Masehi) merupakan imam terakhir yang menghilang pada usia enam tahun di Gunung Samiro, Irak, tapi dipercaya tetap hidup sampai sekarang, walaupun wujudnya tidak tampak. Dia adalah imam yang membimbing pengikut Syiah, lewat bisikan-bisikan kepada para pemimpin dan orang-orang terpilih. Konsep imamah atau kepemimpinan ini menjadi dasar ajaran Syiah.
Bagi kaum Sunni, Ali memang pemimpin. Sunni menyebut namanya dengan akhiran "Radhiyallahu Anhu"—semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya. Tapi sebutan pemimpin bukan monopoli Ali. Tidak seperti Syiah, Sunni menganggap khulafaur rasyidin lain—Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan—sebagai khalifah. Pemimpin tidak harus dari keluarga Nabi. Sunni juga meyakini adanya Imam Mahdi, lahir pada akhir zaman, tapi tidak hidup ribuan tahun.
Kekuatan Syiah berlipat ganda setelah Mu'tazilah diberangus. Mu'tazilah merupakan aliran yang muncul pada abad VIII. Pelopornya, Wasil bin Atha', menekankan pentingnya akal dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Aliran ini berkembang pesat di kalangan intelektual Islam sampai diberangus oleh Khalifah Al-Mutawaqqil bin Harun al-Rasyid, yang menganut Ahlul Sunnah, pada abad X. Pengikut Mu'tazilah melakukan eksodus ke Syiah, sehingga mereka berkembang dari partai politik jadi gerakan intelektual.
Prinsip imamah pun mereka perkuat dengan budaya, mulai tawassul (berdoa lewat perantara), ziarah kubur, membaca madaih nabawiyah (puji-pujian bagi Nabi), sampai haul. Percaya pada barokah, karomah, mencium tangan orang tua dan imam, itu juga budaya Syiah.
Sebagai catatan, peringatan Maulud pertama digelar di Al-Qoiroh, sekarang Kairo, Mesir, oleh Raja Al-Muiz Lidinillah dari Dinasti Fatimiyah yang menganut Syiah. Dinasti inilah yang membangun Kairo dan Universitas Al-Azhar. Kultur ini—sekali lagi kultur, bukan politik—menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Wali Songo jelas penganut Sunni. Namun mereka menyebarkan pula nilai-nilai Syiah dalam ajarannya.
Nahdlatul Ulama memiliki banyak titik temu dengan Syiah. Kaum nahdliyin juga percaya kepada kekuatan gaib yang membimbing para pemimpin. Seperti Ayatullah Khomeini yang dibimbing Imam Mahdi, Gus Dur sering bermimpi bertemu dengan Sunan Ampel. Maulud dan haul kami jadikan media dakwah meski untuk itu kami sering dianggap bid'ah, terutama oleh kaum Wahabi. Hari Asyura memang tidak kami rayakan, tapi ritual Syiah lain kami jalankan, misalnya mencium tangan, tahlilan, ziarah kubur, dan peringatan Maulud. Bagi NU, itu budaya yang universal.
*) Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Kolom ini ditulis berdasarkan wawancara wartawan Tempo, Reza Maulana, dengan Said Aqil Siradj.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo