Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Jokowi memerintahkan aturan publisher rights segera terbit.
Aturan ini mewajibkan platform digital membagi pendapatan iklan dari konten berita.
Jatah iklan media dicaplok oleh platform digital yang menguasai algoritma.
DALAM sepekan terakhir Dewan Pers menggelar tiga pertemuan membahas Rancangan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Rancangan regulasi ini mengatur hak penerbit atau publisher rights untuk menjaga keberlanjutan bisnis media di tengah gempuran disrupsi digital. Pertemuan terakhir yang digelar pada Kamis pagi, 16 Februari lalu, di Hotel Horison Bekasi, Jawa Barat, membahas dua rancangan aturan yang dibuat oleh dua pihak. “Tinggal menyamakan persepsi,” ujar Atmaji Sapto Anggoro, anggota Dewan Pers, kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Sapto, satu dari dua rancangan aturan itu berasal dari Kelompok Kerja Media Sustainability yang dibentuk Dewan Pers. Satu lainnya berasal dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang mengajukan diri sebagai pemrakarsa aturan ini kepada Kementerian Sekretariat Negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pihak lain, Kementerian Komunikasi melakukan hal yang sama. Pertemuan secara beruntun, menurut Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi Usman Kansong, berlangsung setelah Presiden Joko Widodo meminta rancangan regulasi itu selesai pada Maret mendatang. “Rapat setiap hari, dibahas terus secara maraton,” kata Usman pada Kamis, 16 Februari lalu.
Pada perayaan Hari Pers Nasional di Medan, Kamis, 9 Februari lalu, Jokowi meminta peraturan presiden tentang publisher rights rampung dalam satu bulan, termasuk menyelesaikan perbedaan aturan yang disusun Dewan Pers dengan regulasi rancangan Kementerian Komunikasi. Jokowi pun memerintahkan Menteri Komunikasi Johnny Gerard Plate dan jajarannya menemui perwakilan media. "Jangan lebih dari satu bulan,” ucapnya.
Pembahasan pun berjalan. Pada Rabu, 15 Februari lalu, Kementerian Komunikasi bertemu dengan perwakilan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Sekretariat Negara, Sekretaris Kabinet, serta Dewan Pers. Usman mengatakan pertemuan itu menyepakati pembentukan tim kecil yang akan membahas rancangan peraturan presiden. Sehari sebelumnya, Dewan Pers menggelar pertemuan dengan konstituennya untuk membahas daftar inventarisasi masalah.
Ilustrasi wartawan melihat traffic berita yang naik di media online. Tempo/Ratih Purnama
Usman mengatakan munculnya dua naskah rancangan aturan publisher rights tak menjadi masalah. Untuk menengahinya, dia melanjutkan, rancangan yang akan diajukan kepada Presiden adalah yang sudah dikaji bersama Dewan Pers dan konstituennya, yang terdiri atas sejumlah organisasi wartawan dan serikat perusahaan media. Usman pun mengungkapkan ada pihak di luar Kementerian Komunikasi dan Dewan Pers yang mengajukan rancangan aturan serupa kepada Jokowi. Lantaran pengusul aturan itu banyak, Jokowi memerintahkan pembahasan bersama. “Draf yang kami ajukan kepada Presiden hanya satu dan berdasarkan kajian dari Dewan Pers," kata Usman.
Pada Jumat, 17 Februari lalu, tim kecil yang beranggotakan semua pemangku kepentingan mulai merumuskan draf rancangan peraturan presiden tentang publisher rights. Menurut Usman, masih ada sejumlah tahap yang harus dilalui sebelum aturan itu ditandatangani Presiden.
Regulasi Publisher Rights
Regulasi tentang publisher rights menjadi instrumen untuk menegaskan kewajiban kerja sama platform digital dengan media massa atau perusahaan pers di Indonesia. Pasal 1 rancangan peraturan yang disusun Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan kerja sama ini berupa kesepakatan penyaluran berita milik perusahaan pers melalui platform digital. Platform digital yang dimaksud adalah perusahaan seperti Google, Facebook, dan agregator yang mengutip laporan atau berita dari media sebagai konten yang mereka sajikan. Kerja sama ini bertujuan mendukung jurnalisme berkualitas agar kepemilikan karya jurnalistik dihormati dan dihargai, tidak sekadar dikutip.
Dalam kerja sama ini, ada skema bagi hasil pendapatan yang dihasilkan dari konten berita perusahaan media yang disajikan platform digital. Pasal 9 rancangan aturan itu menyebutkan kerja sama platform digital dengan perusahaan pers berupa kesepakatan pemberian remunerasi atau bentuk lain. Skema kerja sama ditetapkan oleh Dewan Pers. Sedangkan pasal 1 rancangan Dewan Pers yang dipublikasikan pada Jumat, 17 Februari lalu, menyatakan bagi hasil adalah pembagian pendapatan dan pemanfaatan berita produksi perusahaan pers oleh platform digital berdasarkan hitungan keekonomian. Untuk mewujudkan kesepakatan ini, draf aturan versi Kementerian Komunikasi dan Dewan Pers menyebutkan, ada lembaga pelaksana yang akan menjalankannya. Lembaga pelaksana ini dibentuk Dewan Pers.
Di luar soal bagi hasil, aturan ini mewajibkan platform digital mendukung jurnalisme berkualitas, termasuk dalam penyebaran dan komersialisasi berita yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik. Menurut Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia Wenseslaus Manggut, kualitas berita makin turun karena siapa pun bisa membuat media. Karena bergantung pada platform digital yang mendominasi belanja iklan media dan distribusi konten, aspek seperti tingkat keterbacaan dan tren menjadi pertimbangan utama produksi berita. “Media ramai-ramai membuat konten yang tinggi tingkat keterbacaannya, tapi belum tentu besar kepentingan publiknya," tuturnya.
Wenseslaus mengatakan algoritma platform digital mementingkan sisi komersial sehingga mengorbankan kualitas dan prinsip jurnalisme. Ekosistem semacam ini, menurut dia, tidak memberi insentif kepada media untuk mempertahankan kualitasnya. “Ekosistem ini tidak punya kontribusi untuk menjaga jurnalisme," ujarnya. Karena itu, regulasi publisher rights yang memuat aspek kualitas media menjadi penting. Aturan ini, Wenseslaus melanjutkan, menjadi cara untuk memanggil kembali media yang sudah tergiring ekosistem digital dan melupakan tugas mengabdi kepada kepentingan publik serta mematuhi kode etik.
Bagi Ahmad Nur, editor berita salah satu media online nasional, istilah user, session, page views, dan impression menjadi standar yang mesti dipenuhi. Pria 32 tahun ini tak menampik anggapan bahwa kata kunci atau keyword yang sedang menjadi tren di mesin pencari situs digital mengendalikan isu yang diangkat media. “Algoritma ini berperan penuh dalam mengatur isu apa yang hendak kita angkat," ucapnya pada Jumat, 17 Februari lalu. Ahmad mengaku sering kesal saat harus melepas sejumlah isu penting lantaran kalah populer dibanding berita yang sedang menjadi tren di mesin pencari.
Hal serupa dialami Risna. Dia menjelaskan, kantor media tempatnya bekerja membekali para editor mengenai berita yang sedang banyak dibaca dalam 24 jam terakhir. Dia mengaku mengalami dilema. Di satu sisi, dia tak mau memproduksi berita yang tak berkualitas dan hanya bergantung pada tren. Tapi konten semacam itu yang masuk di platform digital dan pada akhirnya menghasilkan pendapatan iklan. Posisinya makin sulit karena kinerjanya dinilai berdasarkan tren berita yang ia buat.
Sebagai penguasa distribusi konten, platform digital memang mendapatkan keuntungan dari iklan yang masuk. Mereka yang menempatkan iklan-iklan itu pada konten atau laman dengan tingkat keterbacaan tinggi. Hal ini yang menjadikan platform digital dan algoritma yang mereka buat sebagai pengatur konten media, termasuk distribusi pendapatannya.
Dalam pidatonya pada Hari Pers Nasional, Presiden Jokowi menyebutkan 60 persen belanja iklan diambil oleh media digital, terutama platform asing. Hal ini terjadi saat belanja iklan global bertumbuh signifikan. Dentsu, perusahaan periklanan yang bermarkas di Jepang, memperkirakan nilai belanja iklan global tahun lalu mencapai US$ 713 miliar atau sekitar Rp 10.809 triliun. Media digital menguasai 55,3 persen dari angka itu. Di Indonesia, data Statista menyebutkan belanja iklan digital pada 2022 mencapai US$ 2,28 miliar (Rp 34,5 triliun) dan diperkirakan meningkat hingga US$ 2,55 miliar (Rp 38,6 triliun) tahun ini.
Anggota Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro, mengatakan transparansi penghitungan dan perolehan iklan ini yang bakal diatur dalam peraturan presiden tentang publisher rights. Selama ini, kata dia, ada ketidakseimbangan perolehan iklan antara perusahaan pers selaku pembuat berita dan platform digital yang menguasai algoritma. “Platform digital mendapatkan banyak keuntungan dari iklan. Namun media pembuat konten tidak memperoleh hasil dari iklan tersebut," ujarnya. Nantinya, regulasi tentang publisher rights akan memiliki aturan turunan berisi formula pembagian hasil iklan.
Ihwal aturan ini, Google, sebagai salah satu platform digital terbesar, menyatakan tidak menghasilkan uang dari klik pengguna pada artikel berita di hasil penelusuran. Mereka pun mengaku tidak hanya menjual konten publikasi berita. “Berita hanyalah sebagian kecil dari jenis konten yang kami sajikan,” demikian keterangan tertulis Google Indonesia pada Selasa, 14 Februari lalu.
Google mengklaim sudah memberi dukungan dan pendanaan yang signifikan kepada organisasi media, termasuk dengan mengarahkan pembaca ke situs penerbit berita 24 miliar kali setiap bulan tanpa biaya. “Trafik (lalu lintas pembaca) ini memberi peluang bagi penerbit berita untuk menghasilkan pendapatan dari iklan dan langganan." Meski begitu, Google menyatakan aturan untuk meningkatkan kualitas jurnalisme sangat penting. "Jika didukung kerangka regulasi yang tepat, kami yakin kita dapat melakukan lebih banyak hal untuk meningkatkan dan mendukung jurnalisme berkualitas."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo