Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lelang wilayah kerja panas bumi Way Ratai hanya diminati tiga investor.
Investor panas bumi sangat bergantung pada negosiasi harga listrik dengan PLN.
Pemerintah menjanjikan pendanaan murah dan insentif untuk panas bumi.
PRIJANDARU Effendi punya cara untuk menunjukkan proyek geotermal atau panas bumi belum terlalu menarik bagi investor. Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia ini memberi contoh lelang wilayah kerja panas bumi Way Ratai di Lampung yang sepi peminat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melelang wilayah kerja Way Ratai pada 2016. Pemenangnya konsorsium PT Optima Nusantara Energi dan Enel Green Power SpA asal Italia. Konsorsium Enel mendapat tarif listrik US$ 13 sen per kilowatt-jam (kWh). Namun mereka mundur dan pemerintah terpaksa melakukan lelang ulang pada Desember 2022. Lelang ditutup sebulan kemudian setelah ada tiga peminat. "Padahal potensinya mencapai 220 megawatt," kata Prijandaru, yang juga menjabat Executive Vice President of Relation and Support Service Supreme Energy, kepada Tempo pada Jumat, 17 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan contoh itu, Prijandaru mengatakan investor masih mengambil sikap menunggu atau wait and see. Sebab, wilayah kerja panas bumi berisiko tinggi dan membutuhkan biaya besar. Karena itu, penggarapnya sudah pasti perusahaan besar. Misalnya para peserta tender di Way Ratai, yaitu Ormat Technologies Inc asal Amerika Serikat dan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) yang hendak menggelar penawaran perdana saham atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia pada 24 Februari 2023.
Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia Prijandaru Effendi. LinkedIn
Kondisi ini amat disayangkan mengingat Indonesia ada dalam daftar pemilik sumber daya panas bumi terbesar di dunia. Data firma riset Wood Mackenzie menyebutkan kapasitas terpasang panas bumi Indonesia mencapai 2,3 gigawatt pada Desember 2021, nomor dua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat. Namun, jika angka cadangan atau potensi sumber daya dihitung, Indonesia memiliki sumber daya 29 gigawatt, terbesar di dunia.
Melihat potensi besar ini, pemerintah memasang panas bumi sebagai komponen utama sumber energi baru dan terbarukan. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030, pemerintah menargetkan listrik dari panas bumi mencapai 6 gigawatt atau 31,9 persen dari total pembangkit listrik energi baru dan terbarukan pada 2030. Panas bumi menjadi andalan karena hampir bebas emisi, memiliki dampak ekologis rendah, punya teknologi yang teruji, dan bisa menyuplai listrik tanpa bergantung pada cuaca atau musim.
Meski demikian, pencapaian target pemerintah ini masih diragukan karena banyak persoalan. Prijandaru mengatakan, bagi investor, eksplorasi panas bumi bak bermain api karena risiko ruginya tinggi. Sebab, eksplorasi wilayah panas bumi tidak selalu menghasilkan sumber daya yang sesuai dengan potensinya. Tidak seperti minyak dan gas yang banyak pembelinya, di Indonesia panas bumi hanya bisa dijual kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Dengan demikian, harga jualnya ditentukan lewat negosiasi investor dengan PLN. "Karena itu, investor ingin ada perjanjian jual-beli listrik sebelum eksplorasi,” ucap Prijandaru.
Risiko pembeli tunggal ini pula yang membayangi PGE di tengah persiapan IPO. Dalam prospektus penawaran sahamnya tercantum pendapatan PGE amat bergantung pada transaksi dengan PLN. Sebagai contoh, pada 2022 kontribusi pendapatan dari jual-beli listrik dengan PLN mencapai 96 persen. “Sebagian besar kemampuan perseroan untuk menerima pendapatan bergantung pada kemampuan PLN untuk memenuhi kewajiban pembayarannya," demikian petikan pernyataan PGE.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Regulasi itu mengatur jual-beli listrik panas bumi berdasarkan batas atas sesuai dengan kapasitas pembangkit listrik atau ceiling price. Namun, ketika harga keekonomian melewati batas tersebut, pengembang dan PLN harus bernegosiasi. “Ini yang susah,” ujar Prijandaru. Menurut dia, pelaku industri sudah mengusulkan pemerintah menunjuk pihak independen untuk menilai harga wajar listrik panas bumi yang akan dibeli PLN.
Tak hanya mengatur harga, peraturan presiden itu menjanjikan sejumlah insentif. Untuk mengurangi risiko bagi investor, pemerintah memberikan penugasan kepada badan layanan umum atau badan usaha milik negara untuk menambah data melalui survei pendahuluan dan eksplorasi. Ada pula lembaga yang memberikan tanggungan risiko dan fasilitas pembiayaan. Semuanya akan diatur melalui regulasi teknis. “Aturan turunan ini yang sedang kami tunggu. Sembari menunggu, kami harus tetap kreatif," kata Prijandaru.
Sebelum perpres itu terbit, sejumlah lembaga pembiayaan internasional sudah turun tangan membantu menggairahkan investasi panas bumi di Indonesia. Bank Dunia, misalnya, lewat PT Sarana Multi Infrastruktur telah memberikan hibah kepada PT Geo Dipa Energi untuk menggelar eksplorasi geotermal di Wae Sano, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, sejak 2021.
Kementerian Keuangan juga menginisiasi fasilitas pembiayaan Geothermal Resource Risk Mitigation yang didanai skema Green Climate Fund (GCF) sejak Oktober 2018. Skema ini menjanjikan pendanaan US$ 651,25 juta dari GCF, Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) di bawah Bank Dunia, Clean Technology Fund, dan Kementerian Keuangan melalui PT Sarana Multi Infrastruktur. Namun fasilitas itu belum banyak dimanfaatkan.
Salah satu yang memanfaatkan pendanaan ini adalah PT Medco Power Indonesia, anak usaha Medco Energy. Medco Power meneken perjanjian pembiayaan pengembangan wilayah kerja Ijen di Banyuwangi, Jawa Timur, bersama Sarana Multi Infrastruktur pada Januari lalu. Pembangkit listrik tenaga panas bumi berkapasitas 34 megawatt itu akan beroperasi pada 2025.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, agar PLN mendapat harga listrik yang kompetitif, pengembang panas bumi harus mendapatkan dana murah. Dia memberi contoh PGE yang berpeluang mendapat dana segar dari investor di pasar modal. Jika dana murah ini bisa mengalir ke fase eksplorasi, Fabby yakin investasi panas bumi bakal membara. “Di mana-mana proyek geotermal tinggi risikonya. Eksplorasinya yang mahal,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo