Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PGE akan melepas 25 persen saham di Bursa Efek Indonesia.
Dana hasil IPO PGE akan digunakan untuk mengembangkan PLTP.
Serikat pekerja Pertamina menilai IPO PGE sebagai bentuk privatisasi BUMN.
TIGA hari menjelang penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) PT Pertamina Geothermal Energy Tbk atau PGE pada 20-22 Februari 2023, David Anwar belum juga membuat keputusan. Investor retail pasar modal itu masih menimbang-nimbang apakah akan membeli saham cucu perusahaan PT Pertamina (Persero) tersebut atau tidak. “Masih pantau online trading,” kata karyawan swasta di Jakarta itu kepada Tempo pada Jumat, 17 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun PGE terafiliasi dengan badan usaha milik negara besar yang biasanya diburu investor untuk menambah portofolio, David punya pertimbangan lain. “Saya mulai hilang rasa dengan IPO BUMN ataupun anak usahanya. Sering kali sahamnya kurang naik,” ujar pria 42 tahun itu. David mengaku masih memegang beberapa lot saham anak perusahaan BUMN seperti PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMFI), anak usaha PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk; dan PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP), anak usaha PT Waskita Karya (Persero) Tbk. “Saya masih tahan WSBP di harga IPO. Sekarang sahamnya malah suspend.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebaliknya, Syarifah Namira, juga investor retail pasar modal, sudah mantap membeli saham PGEO—kode emiten PGE. Karyawati perusahaan swasta di Jakarta ini optimistis industri panas bumi Indonesia menjanjikan dan perlu didukung. “Hitung-hitung kontribusi kecil untuk transisi ke energi bersih,” tutur perempuan 34 tahun itu.
Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Ahmad Yuniarto (kedua kanan) berbincang dengan jajaran direksi pada konferensi pers Penawaran Umum Perdana Saham PT Pertamina Geothermal Energy di Jakarta, 1 Februari 2023. ANTARA/Aprillio Akbar
PGE akan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia pada Jumat, 24 Februari mendatang. Anak usaha di bawah subholding Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) ini telah mendapat surat pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan pada Kamis, 16 Februari lalu. Periode penawaran awal saham atau bookbuilding berlangsung selama 1-9 Februari 2023.
Dari menjual saham di pasar modal, PGEO membidik dana segar Rp 9,78 triliun. Langkah ini akan menjadi IPO dengan nilai terbesar kelima setelah PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) yang meraup Rp 21,9 triliun, PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) atau Mitratel (Rp 18,79 triliun), PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) (Rp 13,72 triliun), dan PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) (Rp 12,24 triliun).
Dalam prospektusnya, manajemen PGE menyatakan akan melepas 10,35 miliar lembar saham atau 25 persen dari modal ditempatkan dan disetor. Harga saham itu Rp 875 per lembar. PGE menunjuk PT Mandiri Sekuritas, PT CLSA Sekuritas Indonesia, dan PT Credit Suisse Sekuritas Indonesia sebagai penjamin pelaksana emisi efek. Sedangkan CLSA, Credit Suisse, dan HSBC menjadi international selling agent.
Direktur Keuangan PGE Nelwin Aldriansyah mengatakan sebagian dana hasil IPO dipakai untuk belanja modal (capital expenditure). Tahun ini PGE mengalokasikan belanja modal untuk investasi baru US$ 250 juta atau Rp 3,79 triliun, empat kali lipat dari tahun lalu. Pada 2024, PGE memerlukan modal US$ 350 juta atau Rp 5,3 triliun. PGE harus menyiapkan US$ 1,6 miliar untuk investasi pada 2023-2027. Karena itu, ucap Nelwin, selain melakukan IPO, PGE akan membuat skema lain. "Kami akan menerbitkan obligasi hijau dan pembiayaan lain,” ujarnya.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Pahala Nugraha Mansury mengatakan dana hasil IPO PGE akan dipakai untuk menambah kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) hingga 600 megawatt sampai 2027. Aksi korporasi ini juga menjadi bagian dari rencana Grup Pertamina untuk mencetak valuasi US$ 100 miliar.
Menurut Pahala, Kementerian BUMN telah membuat kebijakan komersial sebelum mendorong IPO PGE. Salah satunya memastikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menyerap listrik panas bumi yang dihasilkan PLTP PGE. "Kami sudah memiliki kontrak perjanjian pembelian tenaga listrik dengan PLN, serta beberapa yang lain," kata Pahala dalam rapat kerja dengan Komisi Industri Dewan Perwakilan Rakyat.
Saat ini PGE mengelola 13 wilayah kerja panas bumi dengan total kapasitas terpasang 1.877 megawatt. Wilayah kerja panas bumi PGE memiliki sumber daya besar. Misalnya di Kamojang, Jawa Barat, yang dapat mempertahankan produksi sebesar 235 megawatt electrical (mWe) selama 25 tahun ke depan. PGE menguasai 79,9 persen dari total kapasitas terpasang sumber daya panas bumi Indonesia, yang menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencapai 2.347,63 megawatt pada 2022.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, upaya PGE mencari dana murah di pasar modal adalah langkah tepat. Dana dari bursa efek bisa menjadi modal bagi PGE untuk menambah kapasitas listrik panas bumi sebesar 600 megawatt. Dalam hitungan Fabby, untuk membangun PLTP 600 megawatt , diperlukan investasi hingga US$ 3 miliar. Artinya, ekuitas yang harus tersedia sekitar 30 persen atau US$ 1 miliar. “Hasil IPO dekat dengan angka itu,” ucap Fabby seraya menilai aksi korporasi PGE selaras dengan rencana pemerintah menambah kapasitas PLTP hingga 7 gigawatt pada 2030.
Minat Investor
SEHARI setelah menggelar paparan publik di Jakarta, pada Rabu, 1 Februari lalu, direksi Pertamina Geothermal Energy terbang ke Singapura, Hong Kong, London, dan New York, Amerika Serikat. Di sana mereka menggelar berbagai pertemuan dan diskusi dengan investor dan pengelola dana global. Direktur Keuangan PGE Nelwin Aldriansyah mengklaim respons investor sangat baik. “Tapi ordernya berapa, kita lihat nanti,” ujarnya dalam diskusi bersama Bahana Sekuritas pada Rabu, 15 Februari lalu. Menurut Nelwin, Indonesia Investment Authority (INA) selaku entitas milik pemerintah yang mengelola dana investor global juga akan membawa sejumlah pemodal untuk ikut serta dalam IPO PGE.
Direktur Utama PT Mandiri Sekuritas Oki Ramadhana sebelumnya juga mengungkapkan bahwa IPO PGE diminati banyak investor luar negeri, antara lain dari Timur Tengah. "INA akan membawa investor itu. Ini menjadi bukti Indonesia jauh lebih baik dibanding negara berkembang lain," katanya pada Rabu, 1 Februari lalu.
Salah satu investor itu adalah Masdar, perusahaan energi terbarukan yang bermarkas di Abu Dhabi. Masdar adalah anak perusahaan Mubadala Development Company, perusahaan investasi milik pemerintah Uni Emirat Arab. Masdar akan masuk melalui INA. Keduanya dikabarkan akan mengambil 20 persen saham dalam IPO PGE dengan komposisi Masdar 15 persen dan INA 5 persen. Namun Deputy Chief Executive Officer INA Arief Budiman tak memberi tanggapan tentang informasi ini. Demikian pula Direktur Utama PGE Ahmad Yuniarto.
IPO PGE bukan kendaraan pertama investasi Masdar di Indonesia. Sebelumnya, Pertamina NRE bekerja sama dengan Masdar dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) fase 2 dan fase 3 di Blok Rokan, Riau, yang menjadi wilayah kerja minyak dan gas bumi Pertamina. Kerja sama dua perusahaan ini diteken di Abu Dhabi pada November 2021 dan diumumkan kembali di sela Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, tahun lalu.
PLTS Rokan fase 2 yang memiliki potensi 50 megawatt-peak (mWp) diperkirakan menelan investasi US$ 47 juta. Sedangkan PLTS Rokan fase 3 memiliki potensi kapasitas 150 mWp dengan estimasi investasi US$ 140 juta. PT Pertamina Power Indonesia (PPI) sebagai operator Pertamina NRE akan membentuk perusahaan patungan bersama Masdar. PPI memiliki 55 persen saham dan sisanya milik Masdar.
Masdar juga berkongsi dengan PT PLN dalam proyek PLTS Cirata, Jawa Barat. PLTS berkapasitas 145 megawatt ini sedang dibangun oleh PT Pembangkitan Jawa Bali Masdar Solar Energi, perusahaan patungan Masdar-PLN. Dalam entitas tersebut, PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi, anak usaha PLN, memiliki 51 persen saham dan sisanya jatah Masdar.
Namun pengerjaan proyek terapung pertama dan terbesar di Indonesia yang diharapkan beroperasi mulai triwulan IV tahun lalu ini molor. PLN kemudian menargetkan PLTS terapung di atas Waduk Cirata ini beroperasi pada September 2023.
Di kampung halamannya, Masdar, yang masuk Abu Dhabi Future Energy Company, memiliki proyek listrik panas bumi. Salah satunya PLTP berkapasitas 5 megawatt yang berfungsi menyalakan sistem penyejuk udara di Kota Masdar, kota yang didesain ramah lingkungan dan bebas emisi karbon.
Meski didukung investor dari dalam dan luar negeri, IPO PGE justru menuai penolakan dari karyawan. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), organisasi yang membawahkan 25 serikat pekerja Grup Pertamina, menolak IPO yang mereka anggap menjadi upaya privatisasi PGE. Presiden FSPPB Arie Gumilar menuntut penghentian privatisasi semua unit usaha Pertamina. “Saat ini mulai terbukti, terjadi privatisasi melalui IPO atas kepemilikan negara,” tuturnya pada Selasa, 7 Februari lalu.
Arie menduga aksi korporasi itu tidak berlandaskan kajian yang tepat dan bisa dipertanggungjawabkan. Dampaknya, kata dia, IPO PGE bisa merugikan negara serta berpotensi melanggar hukum karena menguntungkan golongan tertentu. “Bukan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat umum.”
Juru bicara Pertamina, Fadjar Santoso, mengatakan Pertamina menghormati pendapat FSPPB. “Dialog terus kami lakukan dalam berbagai kesempatan,” ujarnya pada Kamis, 16 Februari lalu. Fadjar mengatakan IPO PGE bukan privatisasi karena saham yang dilepas ke publik merupakan saham baru sebesar 25 persen. Pertamina, dia melanjutkan, masih memegang kendali kebijakan ataupun operasional perusahaan. “Selain itu, tidak ada aset yang dijual. Semua aset masih ada di buku Pertamina.”
Menurut Fadjar, IPO PGE menjadi upaya mendapatkan dana segar yang akan digunakan dalam pengembangan usaha sekaligus memperkuat neraca keuangan. Dengan dana itu, PGE bisa menggarap proyek-proyek strategis dan berpeluang menambah keuntungan. Apalagi skema IPO bisa menjadi jalan bagi PGE untuk menghimpun dana murah.
Selama ini, Fadjar menambahkan, pendanaan PGE bunga yang rendah seperti dari Japan International Cooperation Agency ataupun Bank Dunia hanya untuk fase rekayasa-pengadaan-konstruksi (engineering, procurement, construction, and commissioning) proyek. Adapun fase eksplorasi, infrastruktur, dan pengeboran masih didanai pinjaman dengan tingkat bunga yang tinggi serta kas internal yang terbatas.
Sebaliknya, konsep pendanaan melalui IPO adalah berbagi keuntungan (profit sharing) dan berbagi risiko (risk sharing). Artinya, Fadjar melanjutkan, bila pengembangan bisnis bisa menghasilkan laba, PGE dan publik akan memperoleh keuntungan. "Risiko juga ditanggung bersama."
Fadjar meminta semua pihak tak khawatir terhadap IPO PGE. Dia memberi contoh Temasek, perusahaan milik pemerintah Singapura, dan Khasanah Bhd milik pemerintah Malaysia yang juga melepas saham di pasar modal. Perusahaan minyak milik pemerintah Malaysia, Petronas, pun melepas sebagian saham anak-anak usahanya, seperti Petronas Dagangan Bhd, Petronas Gas Bhd, Petronas Chemicals Group Bhd, dan Malaysian Marine and Heavy Engineering Holdings Bhd, kepada publik. “Sebagai perusahaan publik, PGE akan lebih sehat dan bersih dari praktik ilegal karena ada pengawasan dari regulator dan investor publik.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo