Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Serangan Rusia telah menghancurkan bangunan dan fasilitas dasar Ukraina.
Masyarakat mencoba beradaptasi dan menyiasati ekonomi.
Pemerintah Ukraina mendorong investasi asing masuk dengan berbagai insentif.
“HIDUP kami tidak mudah,” kata Anna Liubyma, Direktur Departemen Kerja Sama Internasional Kamar Dagang dan Industri Ukraina (UCCI). “Kami masih bisa pergi ke restoran atau menyeruput cappuccino, tapi ini bukan karena hidup kami mudah, melainkan karena orang berjuang dan mereka juga berjuang di ranah ekonomi Ukraina,” katanya pada Senin, 6 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Liubyma bermukim di Kyiv, ibu kota Ukraina. Ketika Rusia menginvasi negerinya pada 24 Februari 2022, “Hidup kami berubah total,” tuturnya. “Saya pribadi harus mengevakuasi anak-anak saya ke negara lain.” Hasil survei Komisioner Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) menunjukkan bahwa mayoritas pengungsi (78 persen) terpisah dari keluarga. Kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Garis depan perang Rusia-Ukraina memang terjadi di kawasan timur Ukraina, tempat pertumpahan darah berlangsung. Rusia terus mengklaim bahwa rudal mereka hanya menyasar militer. “Kami menyasar bangunan militer dan sebagian bangunan sipil yang sebenarnya bertujuan untuk memasok senjata atau menyokong pasukan Ukraina,” ucap Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, kepada Daniel Ahmad pada Rabu, 15 Februari lalu. Pada kenyataannya, rudal-rudal Rusia telah menghancurkan infrastruktur sipil dasar, termasuk pembangkit listrik dan pengelolaan air minum.
Meski demikian, kawasan barat bukan berarti baik-baik saja. “Memang ada perbedaan dari apa yang orang dengar tentang bagian timur negeri kami. Tapi kami (di bagian barat) masih mendapat serangan rudal, biasanya satu-dua kali seminggu,” ujar Liubyma. Dia lalu menunjukkan sebuah rekaman video di telepon selulernya yang memperlihatkan sebuah rudal jatuh tak jauh dari rumahnya. Tidak seperti rudal di front depan pertempuran, rudal ini kecil tapi dapat menghancurkan satu rumah atau gereja.
Bila ada serangan udara atau pemadaman listrik bergilir, banyak kegiatan berhenti sementara. Dalam beberapa hal penduduk dapat beradaptasi dengan situasi tersebut. “Ada jadwal pemadaman listrik sehingga kami bisa bersiap-siap sebelum terjadi. Tentu ini tak berlaku bila ada serangan,” ucap Olexiy Haran, profesor politik komparatif di National University of Kyiv-Mohyla Academy Ukraine.
Pemadaman listrik berdampak buruk pada layanan kesehatan di rumah sakit, yang terpaksa menjalankan sebagian kegiatan dengan genset yang tenaganya terbatas. Yang juga menderita adalah orang lanjut usia, yang harus bertahan di tengah suhu minus 20 derajat Celsius pada musim dingin. “(Serangan Rusia) lebih ke mematahkan semangat dan ingin membuat kami menyerah, tapi kami tidak menyerah. Makin kami dipatahkan, kami akan makin kuat untuk berjuang,” tutur Liubyma.
Pelayanan bagi pasien di rumah sakit, usai terjadi serangan helikopter Rusia ke kota Brovary, Kyiv, Ukraina, 19 Januari 2023/REUTERS/Clodagh Kilcoyne
Serangan Rusia menghancurkan banyak gedung dan pabrik, terutama di kawasan timur. Banyak bisnis terpaksa tutup. Kyiv School of Economics (KSE) mencatat, dalam lima bulan sejak invasi Rusia dimulai, tentara Rusia telah menghancurkan atau menyita lebih dari 380 perusahaan, 23 pusat belanja, hampir 44 ribu alat pertanian, dan 28 depot minyak. KSE memperkirakan kerusakan fisik itu senilai US$ 8,8 miliar. Adapun Bank Nasional Ukraina, bank sentral negeri itu, memperkirakan kerugian langsung dari kerusakan terhadap perusahaan, permukiman, dan infrastruktur itu mencapai US$ 100 miliar, setara dengan 50 persen produk domestik bruto Ukraina pada 2021. Menurut KSE, bila menimbang total kerugian ekonomi, bisnis dan industri berat menjadi sektor yang paling menderita kerugian dengan nilai mencapai US$ 29,8 miliar.
“Kabar baiknya, masyarakat tidak mengeluh kepada pemerintah. Orang-orang hanya mengatakan, 'Baiklah, mari kita pulihkan sesegera mungkin',” kata Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, Senin, 13 Februari lalu.
Sebagian pabrik di kawasan barat masih beroperasi. Perusahaan-perusahaan di timur kemudian memindahkan aktivitasnya ke barat. Pertumbuhan ekonomi Ukraina jelas melambat. Menurut Liubyma, produk domestik bruto negaranya turun sampai 30 persen dan sekitar 10 persen pengangguran terjadi pada 2021. “Hanya 60 persen perusahaan yang masih beroperasi saat perang, tapi secara umum tidak ada pertumbuhan,” ujarnya.
Bank Nasional Ukraina mencatat bahwa perang telah menaikkan angka pengangguran hingga 35 persen atau sekitar 5,2 juta orang. Adapun Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan jumlah pengangguran mendekati 4,8 juta orang atau sekitar 30 persen dari angkatan kerja sebelum perang.
Salah satu sektor industri yang justru tumbuh di masa perang adalah teknologi informasi, tapi sebagian karyawannya memilih tetap ikut berperang. Menurut survei Asosiasi Teknologi Informasi Ukraina, di antara 30 perusahaan yang mempekerjakan 34 ribu teknisi, hampir 700 karyawan mereka menjadi tentara sejak pertengahan April 2022.
Meskipun demikian, para teknisi tetap bekerja dari jarak jauh, bahkan dari medan perang, karena mereka hanya membutuhkan sebuah laptop dan jaringan Internet. “Kami heran betapa tepat waktu karyawan kami menyelesaikan proyek mereka untuk klien, duduk di ruang bawah tanah Kharkiv dan tempat mengerikan lainnya,” kata Natalia Koliadko, kepala sumber daya manusia EPAM, perusahaan teknologi terbesar Ukraina yang punya 14 ribu karyawan, kepada Kyiv Independent.
Setelah setahun berperang, pemerintah Ukraina mulai berupaya membangun kembali ekonominya. Mereka bekerja sama dengan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memulihkan perekonomiannya. Dua lembaga keuangan global itu dan komunitas internasional menyadari bahwa perang ini berdampak luas pada ekonomi global. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa menggelontorkan dana miliaran dolar untuk membantu perekonomian Ukraina.
Pada akhir Januari lalu, misalnya, IMF mempertimbangkan kemungkinan memberi Ukraina paket bantuan tahun jamak senilai US$ 16 miliar untuk membantu menutupi kebutuhan negeri itu. Pelaksanaan program tersebut bergantung pada berbagai kondisi, termasuk dukungan dari negara anggota G-7, donor, dan kreditor Ukraina, yang memastikan keberlanjutan utang negara tersebut. Bila program itu berlanjut, IMF perlu mengubah aturannya dalam memberikan pinjaman kepada negara yang sedang dilanda perang.
“Saya ingin menggarisbawahi bahwa serangan ini menjadi krisis besar bagi negara kami, tapi juga tidak menjamin ketahanan pangan secara global, seperti ekspor biji matahari, pasokan 70 persen jelai untuk dunia, dan program gandum global untuk membantu negara di Eropa dan Afrika,” ucap Liubyma. “Petani kami menanamnya di tengah perang. Mereka paham dengan tanggung jawab mereka, kalau tidak panen, tentu saja mereka tidak bisa mengekspornya (untuk kebutuhan tersebut).”
Hamianin memaparkan bahwa pemerintahnya kini juga mendorong pengusaha asing untuk berbisnis di sana. “Misalnya berdagang. Jika Anda membeli sesuatu dari Ukraina sekarang, itu akan membantu ekonomi kami berjalan dan banyak negara yang memahami ini dan membeli barang dari Ukraina,” ujarnya.
Pada awal Februari, pemerintah memberikan pinjaman kepada lebih dari 300 pengusaha senilai total 1,2 miliar hryvnia atau hampir US$ 33 juta. Menurut Kementerian Keuangan Ukraina, sejak dimulainya program itu pada Februari 2020, bank telah mengeluarkan 54.600 pinjaman senilai US$ 4,7 miliar. Sebagian besar pengusaha mengambil pinjaman antikrisis dan kredit untuk membiayai kembali pinjamannya.
Selain itu, US$ 1,16 miliar digelontorkan pemerintah untuk tujuan antiperang dan hampir US$ 300 juta untuk tujuan investasi. Para pengusaha pertanian menerima pinjaman sebesar US$ 711 juta lebih untuk mendukung operasi mereka dan perusahaan dagang mendapat pinjaman sebesar US$ 41 juta lebih untuk menambah modal kerja.
Wakil Perdana Menteri Pertama dan Menteri Ekonomi Ukraina, Yuliia Svyrydenko, mengumumkan bahwa AdvantageUkraine, platform untuk berinvestasi di negeri itu, sudah siap dan menawarkan lebih dari 50 proyek investasi senilai hampir US$ 9 miliar. Secara khusus, kata Svyrydenko menjelaskan, Ukraina mengharapkan investasi swasta di bidang pertahanan, pertanian, teknologi informasi, energi terbarukan, produksi dan penyimpanan gas, logistik, serta konstruksi. Pemerintah menawarkan lokasi konstruksi yang dapat bertempat di kawasan industri, insentif pajak, asuransi risiko perang dari Multilateral Investment Guarantee Agency dan DFC yang mencakup hingga 90 persen potensi kerugian, pinjaman dari lembaga keuangan internasional, dan perlindungan risiko kredit.
Hamianin mengakui bahwa investasi di masa perang berisiko. “Tapi Anda akan mendapat banyak keuntungan dari pemerintah kami, yang memberikan banyak insentif untuk bisnis dan investasi,” tuturnya.
Perang ini akan berakhir cepat atau lambat, kata Hamianin, dan ketika perang berakhir, akan banyak orang yang datang untuk berinvestasi pada proyek-proyek besar, yang nilainya ratusan triliun dolar karena mereka akan membangun kembali ekonomi, industri, logistik, jalan, rumah, dan sebagainya. Mereka yang berinvestasi selama masa perang tentu akan mendapat kesempatan pertama untuk proyek-proyek itu. “Saat ini ada satu investor Indonesia yang kini sedang berada di Ukraina,” ujar Hamianin, yang enggan menyebut nama investor tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo