Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Perindustrian mendapat giliran mengurus minyak goreng curah.
Tarif ekspor CPO dan produk turunannya juga diubah untuk menyokong kebijakan minyak goreng murah.
Sebanyak 74 produsen diklaim telah memulai produksi minyak goreng curah bersubsidi.
KEMENTERIAN Perindustrian tampaknya tak puas hanya mengandalkan Simirah, Sistem Informasi Minyak Goreng Curah. Agar distribusi minyak goreng curah lancar, mereka sampai mengundang perwakilan produsen minyak goreng mengikuti rapat, nyaris setiap hari. “Supaya pengawasan lancar,” ujar Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), kepada Tempo pada Jumat, 1 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Produsen yang berada di luar Jakarta juga tak boleh absen. Mereka hadir secara online. “Rutin sejak terbitnya Permenperin Nomor 8 Tahun 2022,” kata Sahat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah untuk Kebutuhan Masyarakat, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) itu terbit pada 16 Maret 2022. Beleid ini merombak kebijakan pengendalian harga dan stok minyak goreng, menggeser pengaturnya, dari Kementerian Perdagangan ke Kementerian Perindustrian.
Dalam aturan tersebut, BPDPKS akan memberikan subsidi kepada produsen minyak goreng curah. Jumlah subsidi tergantung selisih antara harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah yang dipatok Rp 14 ribu per liter dan harga keekonomian dari produsen.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi (kiri) dan Wakilnya Jerry Sambuaga mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI membahas kelangkaan dan harga minyak goreng di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 17 Maret 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Gara-gara kebijakan baru itu, Sahat ikut riweuh. Ia mesti memastikan daerah mana yang masih mengalami kekurangan pasokan minyak goreng curah, juga siapa saja produsen dan distributor yang belum menyalurkan stok minyak mereka.
Mereka adalah produsen minyak goreng yang terdaftar di Sistem Informasi Industri Nasional (Siinas). Hanya perusahaan yang telah terdaftar dalam sistem ini yang bisa mengikuti program penyediaan minyak goreng curah murah bersubsidi.
Untuk melapis Siinas, Kementerian Perindustrian membuat Simirah. "Kebijakan berbasis industri ini diperkuat Simirah dalam pengelolaan dan pengawasan produksi distribusi minyak goreng curah," tutur Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika pada Selasa, 29 Maret lalu.
Bagi Sahat, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 8 Tahun 2022 lebih baik ketimbang ketentuan yang memayungi skema subsidi minyak goreng kemasan dan kewajiban pemenuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO) serta mandatori harga pasar dalam negeri (domestic price obligation/DPO) minyak sawit dan produk turunannya. "Produsen dan distributor yang tidak tertib, tidak punya nomor pokok wajib pajak, dan tidak punya faktur pajak tidak bisa ikut program ini," ucap Sahat. “Sistem ini menertibkan.”
Peraturan Menteri Perindustrian itu bukanlah kebijakan yang berdiri sendiri. Skemanya ditopang kebijakan kementerian lain. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, misalnya, menggulirkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022 yang menetapkan HET minyak goreng curah. Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.05/2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Diteken pada Kamis, 17 Maret lalu, peraturan ini mengubah ketentuan tarif awal pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020.
Beleid anyar dari Lapangan Banteng—kawasan markas Kementerian Keuangan—tersebut menaikkan batas atas harga yang bakal dikenai tarif progresif pungutan ekspor CPO dan produk turunannya dari semula US$ 1.000 per ton menjadi US$ 1.500 per ton. Maksud tarif progresif adalah mengikuti perkembangan harga CPO dan produk turunannya.
Basis penghitungan tarif pungutan ekspor tak berubah, sebesar US$ 55 per ton untuk harga CPO senilai US$ 750 per ton atau kurang. Untuk setiap kenaikan harga CPO sebesar US$ 50 per ton, tarif pungutan ekspor akan ikut bertambah sebesar US$ 20 per ton. Ketika harga CPO naik di kisaran US$ 750-800 per ton, misalnya, tarif pungutan ekspornya menjadi US$ 75 per ton. Begitu seterusnya hingga harga mencapai batas atas pengenaan tarif progresif.
Sebelumnya, ketika batas atas cuma US$ 1.000 per ton, tarif progresif hanya diberlakukan ketika harga CPO berada di kisaran US$ 750-1.000 per ton. Ketika harga melampaui batas atas tersebut, tarifnya menjadi flat, yakni senilai US$ 175 per ton. Adapun dengan kebijakan tarif terbaru, tarif flat dikenakan ketika harga telah melampaui batas atas US$ 1.500 per ton. Artinya, pada saat itu, tarif progresif yang dipungut telah mencapai US$ 375 per ton.
Pemerintah berharap perubahan ketentuan tarif pungutan ekspor ini bisa menyeimbangkan aktivitas ekspor CPO dan pemenuhan pasokan dalam negeri, terutama untuk industri minyak goreng. Lonjakan harga dan kelangkaan minyak goreng yang terjadi enam bulan terakhir telah menampar muka Indonesia sebagai eksportir terbesar CPO di dunia—pada 2021 diperkirakan mencapai 28 juta ton dengan nilai US$ 35 miliar, tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Pelaksana Direktur Perkebunan Yayasan Auriga Nusantara, Ramada Febrian, menilai penyesuaian tarif pungutan ekspor lebih efektif ketimbang pemberlakuan DMO dan DPO minyak sawit yang sebelumnya diatur Kementerian Perdagangan. Lebih dari itu, sudah sepantasnya kebijakan tarif ekspor diubah ketika harga CPO dan produk turunannya terus mencetak rekor tertinggi.
Dengan alasan sama, Ramada menilai semestinya pemerintah menghapus batas atas untuk pengenaan tarif progresif. Walau begitu, dia bisa memaklumi sikap pemerintah yang tak mungkin memberlakukan kebijakan disinsentif secara berlebihan ketika ekspor CPO selama ini juga penting untuk menopang neraca perdagangan Indonesia. “Setidaknya ini win-win, tidak hanya bagi pekebun, pengolah, dan konsumen, tapi juga pemerintah,” kata Ryan—panggilan Ramada—pada Jumat, 1 April lalu.
Perubahan tarif pungutan ekspor sebenarnya ditetapkan untuk menambah dana kelolaan BPDPKS, yang bakal digunakan buat mensubsidi minyak goreng curah. Pembahasan kebijakan itu dirinci dalam rapat teknis tingkat menteri pada Rabu, 16 Maret lalu, sehari setelah rapat kabinet terbatas tentang kebijakan distribusi dan harga minyak goreng digelar di Istana Merdeka, Jakarta, pada Selasa, 15 Maret.
Pedagang membawa jeriken untuk diisi minyak goreng saat operasi pasar minyak goreng curah khusus untuk pedagang di Pasar Induk Gedebage, Bandung, 29 Maret 2022. TEMPO/Prima Mulia
Saat ini volume konsumsi minyak goreng curah sekitar 200 juta liter per bulan. Bila selisih HET dan harga keekonomian minyak goreng curah sampai Rp 10 ribu per liter, BPDPKS harus menyiapkan sekitar Rp 2 triliun per bulan sebagai subsidi yang dibayarkan kepada produsen.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis, 17 Maret lalu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengklaim kebijakan DMO dan DPO minyak sawit serta produk turunannya sudah berjalan baik. Selama kebijakan diterapkan, dia menjelaskan, CPO dan olein yang dikumpulkan mencapai 720.612 ton. Sekitar 551.069 ton di antaranya, atau 76,4 persen, sudah diolah menjadi minyak goreng dan disalurkan kepada konsumen.
Lutfi juga menyatakan kebijakan HET, DMO, dan DPO telah menurunkan harga rata-rata minyak goreng kemasan dari Rp 20.797 per liter pada Januari 2022 menjadi Rp 16.965 per liter per Maret 2022. Harga minyak goreng curah, dia menambahkan, juga turun sekitar 10,1 persen dari Rp 17.726 menjadi RP 15.583 per liter.
Masalahnya, minyak goreng murah itu hilang di pasar. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menduga kelangkaan terjadi karena adanya permainan di rantai distribusi. Pasalnya, ucap dia, laporan para produsen menunjukkan mereka telah melepas produk ke distributor. “Faktur penjualannya lengkap, tapi barang tidak ada,” tutur Oke pada Jumat, 1 April lalu, di kantornya di Jakarta.
Kencangnya isu kelangkaan minyak goreng ini, menurut Oke, mendorong pemerintah mengganti kebijakan DMO dan DPO menjadi paket kebijakan tiga menteri. Oke mengakui kebijakan sebelumnya melawan mekanisme pasar, berusaha menciptakan harga minyak goreng sawit tetap murah ketika harga minyak sawit dunia justru melonjak.
Kini giliran Kementerian Perindustrian yang harus memelototi pasokan minyak goreng curah. Direktur Jenderal Industri Agro Putu Juli Ardika mengungkapkan, 74 pelaku usaha dari 81 produsen minyak goreng sawit telah terdaftar di Siinas. Perusahaan itu telah memproduksi dan mengalokasikan minyak goreng curah sekitar dua kali lipat kebutuhan harian nasional, 14 ribu ton per hari.
Putu sesumbar, Simirah bakal menjamin ketersediaan minyak goreng curah sesuai dengan HET. Sebab, sistem ini mewajibkan produsen turut mendaftarkan distributor mereka sampai level bawah. “Hingga keterangan di pasar mana minyak goreng curah tersebut disalurkan atau dijual,” tutur Putu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo