Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lima terpidana kasus narkotik menyiksa seorang warga negara Malaysia di dalam Lapas Sekayu, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Seorang narapidana merupakan warga binaan Lapas Nukambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Gara-gara gagal menyelundupkan sabu seberat 42 kilogram.
BELASAN penyidik meriung di meja kayu ruangan Direktur Tindak Pidana Narkoba Kepolisian RI Brigadir Jenderal Krisno Halomoan Siregar, pertengahan Mei 2021. Wajah mereka tampak kuyu lantaran tak kunjung menemukan keberadaan Ahmad Fikri alias Tam, 34 tahun, seorang warga negara Malaysia. “Ini kasus besar karena pelakunya bandar narkotik yang memotong jari tangan korban,” ujar Brigadir Jenderal Krisno pada Rabu, 30 Maret lalu.
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian RI merancang perburuan Tam dan para pelaku setelah menerima aduan dari Polis Diraja Malaysia pada medio Mei 2021. Informasi itu menyebutkan Tam disekap dan disiksa komplotan pengedar narkotik di sekitar wilayah Batam, Kepulauan Riau.
Tiga potongan rekaman video menjadi petunjuk penyiksaan. Satu di antaranya video berdurasi 1 menit 3 detik. Seorang pelaku terlihat memotong jari kelingking tangan kanan korban menggunakan pisau daging. Karena pisau diduga tumpul, pelaku membacok kelingking Tam hingga tiga kali.
Tam tak melawan dan berteriak karena tangan dan mulutnya diikat lakban berwarna cokelat. Pria yang sehari-hari berprofesi nelayan itu diminta mengakui keberadaan sabu seberat 42 kilogram yang gagal dikirim dari Malaysia menuju Batam, beberapa hari sebelum disekap.
(Baca: Terjerat Sabu Elite Jakarta)
Tim Bareskrim sempat meminta bantuan Direktorat Narkoba Kepolisian Daerah Kepulauan Riau dan Kepolisian Daerah Sumatera Selatan untuk mendeteksi keberadaan pelaku dan korban. Namun penelusuran kasus itu terbentur tembok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerbang Lembaga Pemasyarakatan Sekayu, 30 Maret 2022/TEMPO/ Nefri Inge
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaksana tugas Direktur Reserse Narkoba Polda Sumatera Selatan, Komisaris Besar Bambang Irawan, mengakui pernah diminta membantu penyidikan. “Kami sempat mendengar ada kasus penganiayaan itu. Tapi petunjuk yang kami peroleh nihil. Jejak para penganiaya tidak ada dalam daftar kasus yang diungkap Polda Sumatera Selatan,” tuturnya.
Petunjuk datang ketika Brigadir Jenderal Krisno kembali meminta tim penyidik menggelar rapat evaluasi pada Mei 2021. Ia meminta semua anggota tim menyimak ulang rekaman tiga video penyiksaan Tam lewat layar monitor televisi berukuran 100 inci di ruang kerjanya.
Ternyata Tam tidak berada di Batam. Ada seorang penyidik yang mendadak teringat wajah salah seorang pelaku yang terekam dalam video. “Itu kan orang yang pernah kita tangkap. Namanya Hendra,” kata Krisno, mengutip ucapan seorang anak buahnya.
Berbekal informasi itu, polisi menghubungi Direktorat Lembaga Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mereka meminta akses untuk menemui Hendra di penjara.
Hendra Yainal Mahdar, warga Riau, merupakan bandar narkotik yang menghuni Lembaga Pemasyarakatan Sekayu IIB, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, sekitar 130 kilometer dari Palembang. Ia berstatus narapidana setelah tim Bareskrim Polri mengungkap kepemilikan sabu seberat 10 kilogram pada 2019.
Sabu ditemukan dalam mobil milik Hendra yang tengah diparkir di area stasiun pengisian bahan bakar umum di Jalan Lintas Palembang-Jambi. Pengadilan Negeri Sekayu menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Hendra. Kasus itu juga menyeret peran dua rekannya yang juga bandar narkotik, yakni Ismail alias Yong bin Ansar dan M. Amin alias Aming.
Aming divonis hukuman 15 tahun penjara. Ia diciduk pada 27 April 2019 di Hotel Grand Elite Pekanbaru setelah polisi menangkap Ismail dan Hendra.
Tim dari Bareskrim menyambangi ruang tahanan Hendra pada akhir Mei 2021. Mereka hakulyakin Hendra terlibat penyiksaan Tam. “Petunjuk itu kami yakini dari tembok ruangan kamar dan benda-benda yang sempat terekam dalam video, seperti kulkas dan penyejuk udara,” ujar Brigadir Jenderal Krisno.
Hendra tak berkutik ketika polisi menyodorkan rekaman video. Ia diminta mengakui semua perbuatannya. Dari interogasi singkat diperoleh informasi bahwa Hendra menyekap dan menyiksa Tam bersama empat rekannya.
Mereka adalah Muhammad Amin alias Aming bin Maddiolo, M. Ridho Alfajri, Muhammad Masawi, dan Ismail alias Yong bin Ansar. Penyiksaan itu terjadi selama sembilan hari sejak Tam diselundupkan ke dalam penjara pada Jumat, 30 April 2021.
Seseorang yang mengetahui proses penyelidikan perkara ini mengatakan Tam dievakuasi pada 25 Mei 2021, atau hampir sebulan setelah disekap. Setelah dianiaya di dalam penjara selama sembilan hari, Tam disekap selama dua pekan di salah satu kamar kos di dekat Lembaga Pemasyarakatan Sekayu. “Kamar kos itu jaraknya sekitar 15 menit dari penjara,” tuturnya.
Pengadilan Negeri Sekayu mulai menyidangkan perkara penyekapan dan penganiayaan Ahmad Fikri alias Tam sejak pertengahan Maret lalu. Aming, Hendra, Ridho, Ismail, dan Masawi duduk di kursi terdakwa.
Dalam materi dakwaan terungkap penganiayaan itu dilakukan atas instruksi Aming. Pengadilan juga sudah menayangkan sebagian rekaman video penyiksaan di persidangan.
Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Habibie menjelaskan para terdakwa tak membantah materi dakwaan. Mereka mengaku memotong jari kelingking dan mengintimidasi korban dengan menggunakan pistol jenis revolver saat menyekap Tam. “Mereka mengaku kesal dan emosi dengan korban,” ujarnya.
Aming, Hendra, dan Ridho dikabarkan belum menunjuk penasihat hukum. Pengacara Ismail dan Masawi, Secarpiandy, membantah tuduhan jaksa. Menurut dia, video penyiksaan itu tak bisa dijadikan alat bukti persidangan. Sebab, berkas dakwaan jaksa tak menyertakan pemeriksaan ahli digital untuk mengecek data rekaman video.
Ia meminta hakim menguji kembali materi dakwaan lantaran dalam penyidikan kasus itu terdapat sejumlah cacat prosedur. Kesaksian yang mengkonfirmasi penyiksaan itu pun hanya didasarkan pada kesaksian korban. “Keterangan saksi korban tidak cukup dijadikan dakwaan. Mestinya didukung keterangan saksi lain,” katanya.
•••
DARI balik bui, Aming menghubungi seorang bandar narkotik di Johor, Malaysia, April 2021. Dari tangan bandar, Aming membeli sabu seberat 42 kilogram senilai 2 juta ringgit atau setara dengan Rp 6,8 miliar.
Sang bandar kemudian menghubungi Ahmad Fikri alias Tam. Selain berprofesi nelayan, Tam dikenal kerap menyelundupkan rokok, burung, dan komoditas lain dari Batam ke Malaysia.
Ia memiliki kapal fiber sepanjang 6 meter dan bermesin 40 pk. Jarak tempuh dari Malaysia ke Batam hanya setengah jam menggunakan kapal mesin. Sang bandar meminta Tam menyelundupkan 42 kilogram sabu dengan kapal. Tam menyanggupinya.
Tam menerima upah sebesar 5.000 ringgit atau Rp 17 juta tiap kilogram. Tam diunjuk karena berhasil menyelundupkan sabu seberat 19 kilogram ke Batam pada 2020.
Rencana penyelundupan 42 kilogram sabu buyar karena patroli Tentara Laut Diraja Malaysia memergoki kapal pengangkut sabu itu pada akhir April 2021. Awak kapal membuang semua dadah ke laut untuk menghilangkan barang bukti. Tam tak ikut di kapal itu.
Mendengar kegagalan ini, Aming berang. Ia meminta sang bandar mengutus seseorang ke Lembaga Pemasyarakatan Sekayu untuk menjelaskan duduk perkara. Sang bandar di Johor memerintahkan Tam menemui Aming. Sebelumnya, keduanya belum pernah bertemu dan tak saling kenal.
Tam memasuki perairan Indonesia lewat jalur tikus. Dua utusan Aming, Heri alias Ompong dan Rendi Satrio, menjemputnya di perbatasan perairan Selat Malaka. Tam sempat diinapkan di sekitar Batam selama tiga hari sebelum menemui Aming.
Menggunakan speedboat, ketiganya berlayar ke Lembaga Pemasyarakatan Sekayu melewati anak Sungai Musi di Sumatera Selatan. Mereka tiba di Lembaga Pemasyarakatan Sekayu pada Jumat, 20 April 2021, sekitar pukul 16.00 WIB. Setelah menemui penjaga pintu Lembaga Pemasyarakatan Sekayu, ketiganya diizinkan menemui Aming.
Suasana sidang di Pengadilan Negeri Sekayu yang menghadirkan para terdakwa secara daring pada tanggal 28 Maret 2022/TEMPO/ Nefri Inge
Tam menemui Aming di kamar berukuran 4 x 5 meter persegi. Surat dakwaan menyebutkan ruangan sebenarnya disiapkan sebagai klinik penjara. Aming menyulap ruangan menjadi kamar pribadi dengan fasilitas sofa, kulkas, dan penyejuk udara. Barang yang sama juga ditemukan di sel Ismail dan Hendra.
Awalnya, Aming dkk menerima Tam dengan hangat. “Semula Tam diperlakukan ramah. Aming yang baru bangun tidur sempat menawarkan Tam mi goreng dan rokok,” ujar Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Musi Banyuasin Habibie.
Dalam persidangan terungkap Aming dan kawan-kawan mulai menginterogasi Tam setelah menyantap mi. Tam diminta menjelaskan keberadaan 42 kilogram “buah” yang diselundupkan dari Malaysia.
Mereka menyebut sabu itu dengan kode “buah”. “Yang saya tahu budak di Malaysia cakap dia dikejar petugas dan membuang buah itu di laut. Itu pun saya tahu selepas ditelepon budak,” ujar Tam dengan menggunakan dialek Malayu, kala itu.
Aming tak percaya. Ia memerintahkan Tam menelepon seseorang di Malaysia. Saat interogasi itu, mereka mulai menganiaya Tam. Hendra, misalnya, memukul kepala dan badan Tam dengan rotan sepanjang 1 meter.
Puncak penyiksaan berlangsung pada hari ketujuh, yaitu pada Kamis, 6 Mei 2021. Selepas magrib, Tam dibawa ke kamar nomor 6. Mereka menelanjangi Tam. Kedua kaki dan tangan Tam diikat lakban berwarna cokelat. Mulutnya juga dibekap lakban. Menggunakan pisau daging, Masawi memotong ujung jari kelingking tangan kanan Tam.
Aming merekam peristiwa itu. Penyiksaan ini juga disiarkan lewat aplikasi video call WhatsApp kepada seseorang di Malaysia. Dalam video rekaman berdurasi 1 menit 3 detik itu, terdengar ucapan seseorang di ujung telepon: “Aku mohon dengan Abang jangan buat adik aku begitu.”
Penyiksaan berhenti di hari kedelapan. Tam hanya terbaring lemah hingga keesokan hari. Pada hari kesembilan, Sabtu, 8 Mei 2021, sekitar pukul 07.00, Hendra mengantar Tam ke gerbang penjara. Tam diserahkan kepada Riski Purwanto, anak buah Aming, yang sudah menunggu di luar penjara. Selama sembilan hari disekap dan disiksa, tak ada sipir yang berupaya menyelamatkan Tam.
Menggunakan sepeda motor, Tam dibawa ke kamar kos Riski yang berjarak sekitar 15 menit dari Lembaga Pemasyarakatan Sekayu. Ia kembali disekap di kamar kos itu selama dua pekan sebelum bebas.
Setelah menyelamatkan Tam, tim Bareskrim menggeledah kamar Aming dan pelaku lain. Polisi menemukan 12 pil ekstasi dan sabu seberat 9 gram di kamar Ismail, Aming, dan seorang terpidana hukuman mati lain, Letto.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Brigadir Jenderal Krisno Halomoan Siregar menduga komplotan bandar narkotik Lembaga Pemasyarakatan Sekayu sudah berulang kali mendatangkan sabu ke Indonesia. “Saat penggerebekan, kami menemukan kantong plastik bekas bungkusan sabu seberat 1 kilogram,” tuturnya.
Temuan sabu ini sudah lebih dulu disidangkan, yakni pada 21 September 2021. Pengadilan Negeri Sekayu menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara terhadap Aming. Sementara itu, hukuman terhadap Letto dan Ismail dianggap nihil. “Mereka sudah dijatuhi hukuman mati dalam kasus sebelumnya,” kata Brigadir Jenderal Krisno.
Dari kasus ini, Polis Diraja Malaysia juga bergerak. Mereka menangkap 13 anggota jaringan bandar narkotik di Johor. Sekretaris Utama Kedutaan Besar Malaysia Ammil Afiq bin Jasimi mengatakan tak bisa menanggapi perkara penganiayaan Tam dan jaringan narkotik Aming. “Maaf, kami belum bisa memberi jawaban,” ucapnya.
Wakil Ketua Lembaga perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Susilaningtyas mengatakan Tam sudah berstatus terlindung. Menurut dia, Tam adalah adalah saksi korban yang berpotensi menerima ancaman baru.
Tapi LPSK menyerahkan penyelidikan kasus narkotik lama yang melibatkan Tam kepada Polis Diraja Malaysia setelah proses hukum di Indonesia selesai. “Bagi Indonesia, Tam diperlakukan sebagai justice collaborator. Dia punya banyak petunjuk untuk membongkar kasus lain, seperti penyelundupan orang, hewan, dan komoditas lain ke Malaysia,” katanya.
Ketika kasus penyiksaan Tam terungkap, kata Susilaningtyas, LPSK ikut menerjunkan tim ke Lembaga Pemasyarakatan Sekayu. Ia mengaku terkejut lantaran mengetahui bahwa Ismail, salah seorang penganiaya Tam, merupakan warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan di Cilacap, Jawa Tengah. Belum diketahui detail perpindahan Ismail dari Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan ke Sekayu.
Temuan ini sudah disampaikan kepada Kementerian Hukum dan HAM. Ismail juga diketahui sedang mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap vonis hukuman mati.
Pengacara Ismail, Secarpiandy, membenarkan adanya permohonan itu. “Ada kesilapan hakim dalam memutus perkara,” tuturnya.
Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan KPLP) dikabarkan sudah menjadi tersangka. Ia dijerat Pasal 333 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 9 tahun penjara.
Koordinator Hubungan Masyarakat dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Rika Aprianti mengatakan Kementerian Hukum dan HAM sudah menghukum petugas yang diduga terlibat. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Jhonny Hermawan Gultom, misalnya, dicopot dan diturunkan pangkatnya.
Kepala KPLP, Kepala Seksi Administrasi Keamanan dan Ketertiban serta Kepala Pembinaan Anak Didik dan Kegiatan Kerja juga sudah dijatuhi sanksi. “Sanksi terberat dijatuhkan kepada kepala penjara. Sisanya kami mutasi,” ujar Rika.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Nefri Inge dari Palembang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Potong Jari Kurir Melayu"