Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bengkulu - Usai menyatakan bangkrut, pabrik karet PT Batanghari Bengkulu Pratama (BBP) memutuskan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 201 karyawannya secara bertahap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perusahaan telah menyiapkan dana senilai Rp 7 miliar untuk membayar pesangon 201 orang karyawan yang di-PHK tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kondisi perusahaan akhir-akhir ini memang sangat memprihatinkan, bahkan berbagai solusi untuk meningkatkan penghasilan perusahaan terus dilakukan sampai dengan pengurangan karyawan. Tapi tidak juga tidak membuat perusahaan bisa bertahan," kata Kepala Personalia PT BBP Haulan Ismadi di Bengkulu, Kamis, 22 Desember 2022.
Adapun kondisi krisis di dalam perusahaan tak lepas dari keputusan mengurangi jumlah kontrak penjualan hasil olahan karet. Akibatnya, perusahaan merugi sejak empat tahun terakhir.
Agar bisa mempertahankan dan meningkatkan produksi, perusahaan memangkas biaya operasional dengan memberhentikan sebanyak 45 karyawan pada November 2022. Tapi hal itu tak kunjung membantu dan resminya, per Kamis kemarin, perusahaan menyetop pembelian bahan baku karet dari tingkat petani.
PHK bakal dilakukan secara bertahap hingga batas kontrak pengiriman olahan karet pada Januari 2023 selesai. Adapun PHK tahap awal dimulai dari karyawan di bagian bahan baku, lalu karyawan di bagian yang lain.
Selanjutnya: “Baru setelah kontrak pengiriman ..."
“Baru setelah kontrak pengiriman hasil produksi olahan habis di bulan Januari nanti, seluruh karyawan dipastikan sudah diberhentikan semua," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo Haryadi Sukamdani menyebutkan pengaruh resesi global sangat nyata pada penurunan agregat permintaan ekspor produk hasil industri padat karya. Tren tersebut diikuti dengan PHK besar-besaran di penghujung tahun 2022 yang diproyeksikan akan terus berlanjut di 2023.
Sedangkan di sisi lain, penciptaan lapangan kerja terus berkurang akibat investasi padat modal dan pemanfaatan teknologi. Ia menuturkan bahwa pencari kerja dengan keahlian atau keterampilan rendah lulusan SD dan SMP semakin tersisih dalam memperebutkan pekerjaan dari sektor usaha formal yang memiliki kepastian pendapatan.
Akibatnya, bantuan sosial untuk masyarakat marjinal semakin membebani anggaran pemerintah yang menghambat pembangunan.
"Semakin merosotnya daya serap tenaga kerja di sektor formal dibandingkan meningkatnya jumlah penduduk berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan gizinya," kata Haryadi ketika menjelaskan lebih jauh soal kemungkinan berlanjutnya fenomena PHK besar-besaran pada tahun depan.
ANTARA
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.