Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesal meratapi nasib saat kalah bersaing itu lumrah. Tapi, jika yang meradang seorang presiden, ketika negara yang dipimpinnya kalah bersaing melawan tetangga dalam menggaet investasi, itu masalah besar. Siapa yang harus kena marah kalau Vietnam jauh lebih menarik ketimbang Indonesia sebagai tujuan investasi langsung? Apalagi, menurut laporan mutakhir Bank Dunia, arus investasi langsung ke Indonesia bahkan jauh lebih lambat dibanding ke Kamboja, jika dilihat secara proporsional berdasarkan ukuran ekonominya. Ini salah siapa?
Saat menentukan negara tujuan investasi langsung, investor harus berhitung masak-masak. Membangun pabrik telepon seluler, misalnya, bukanlah perkara bisnis setahun-dua tahun. Sekali pabrik berdiri, fondasinya bakal lama tertanam. Wajar jika investor sangat berhati-hati dalam memilih.
Pertimbangannya bukan semata-mata kalkulasi finansial, seperti tarif pajak atau suku bunga utang. Dimensinya sangat banyak, dari soal keterampilan buruh dan regulasinya; keamanan dan kenyamanan usaha; bagaimana kebijakan negara dalam perdagangan internasional, karena ini sangat vital berkaitan dengan impor bahan baku dan ekspor hasil produksi; hingga urusan geopolitik global. Ini sekadar menyebutkan beberapa di antaranya. Jika harus membahas semuanya, kolom ini bisa-bisa setebal majalah.
Presiden sudah benar mengutamakan pembangunan infrastruktur. Tapi masih banyak persoalan lain yang jauh dari selesai. Apakah infrastruktur di Vietnam jauh lebih baik daripada infrastruktur di sini? Sepertinya tidak juga. Jadi, jika sekarang Vietnam jauh lebih menarik ketimbang Indonesia, tentu ada berbagai faktor di luar infrastruktur yang juga menjadi pertimbangan pemilik modal.
Memenangi persaingan menarik investasi langsung membutuhkan reformasi terus-menerus di segala lini. Sebab, investasi langsung sudah menjadi kebutuhan semua negara, apalagi negara berkembang seperti Indonesia dan para tetangganya di Asia Tenggara yang semuanya lapar modal. Persaingan di sini sungguh sengit. Semua negara habis-habisan mengerahkan segala upaya untuk memenangi kompetisi.
Maka akan lebih baik jika perencanaan program pemerintah terus-menerus berfokus pada reformasi ekonomi secara struktural. Sayangnya, alih-alih memperkuat struktur ekonomi, tiba-tiba Presiden menginginkan sebuah ibu kota baru yang sama sekali tidak relevan dengan upaya memenangi kompetisi. Berapa energi dan sumber daya yang akan terbuang mengurusi wacana ini?
Demikian pula soal revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Apakah itu sinyal yang baik bagi investor, jika Indonesia lagi-lagi mengubah tatanan hukum pemberantasan korupsi yang selama ini terbukti relatif baik? Sedangkan dalam berbagai survei ketidakpastian hukum selalu menempati peringkat tertinggi keluhan investor di Indonesia yang tak kunjung terpecahkan.
Menarik investasi langsung sebesar-besarnya bukanlah sekadar demi gengsi presiden atau martabat negara. Lebih dari itu, inilah obat yang bisa menyelamatkan Indonesia dari runtuhnya ekonomi. Defisit neraca transaksi berjalan negeri ini terus membesar. Berulang kali kolom ini mengingatkan, ganjal defisit kita sekarang sangat bergantung pada investasi portofolio yang rentan berbalik keluar jika ada gejolak eksternal. Bank Dunia juga menyebutkan risiko mengerikan itu dalam laporannya yang bertajuk “Global Economic Risks and Implications for Indonesia”. Sebaliknya, investasi langsung yang lebih stabil merupakan ganjal defisit yang aman.
Memperbaiki daya saing untuk investasi langsung merupakan urusan lintas kementerian, lintas kementerian koordinator, lintas pemerintah daerah, juga lintas berbagai lembaga negara. Ini persoalan tata kelola negara secara keseluruhan. Nah, Presiden hendak kesal kepada siapa jika Indonesia jeblok dalam kompetisi itu?
Peringkat Kredit Indonesia
Standard & Poor's
Rating BBB Outlook Stable
Fitch Ratings
Rating BBB Outlook Stable
Moody's Investor Service
Rating Baa2 Outlook Stable
Japan Credit Rating Agency
Rating BBB Outlook Stable
Kurs
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo