Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah pro kontra penghapusan Fly Ash and Bottom Ash (FABA) dari daftar limbah B3 alias bahan berbahaya dan beracun, PT Perusahaan Listrik Negara (persero) ternyata telah mengolah limbah batu bara ini menjadi bahan bangunan. Salah satunya digunakan untuk keperluan renovasi rumah warga miskin dalam program Corporate Social Responsibility (CSR) mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa produk yang mereka hasilkan yaitu seperti batako, paving, dan beton pracetak. Vice Presiden Hubungan Masyarakat PLN Arsyadany G. Akmalaputri menncontohkan untuk satu rumah bertipe 72, ada 1.600 batako yang dibutuhkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini menyerap 11 ton FABA untuk pembuatannya," kata Akmalaputri kepada Tempo di Jakarta, Senin, 19 April 2021.
Sebelumnya, penghapusan FABA dari daftar limbah B3 dilakukan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ini merupakan salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja.
Keputusan pemerintah ini menuai protes. Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi, Nur Hidayati, menilai pemerintah sedang meningkatkan risiko kematian di tengah pandemi Covid-19 dengan kebijakan ini. "Dari studi yang dilakukan Harvard, ditem
"Pemerintah melonggarkan aturan yang meningkatkan risiko. Ini tidak etis karena kita tahu, dari studi yang dilakukan Harvard, ditemukan bahwa penderita Covid yang hidup di daerah polusi tinggi punya potensi kematian lebih tinggi,” ujar Nur pada Ahad, 14 Maret 2021
Lebih lanjut, salah satu pengolahan limbah batu bara ini dilakukan PLN di PLTU Tanjung Jati B di Jepara, Jawa Tengah. Setiap bulannya, PLTU ini menghasilkan fly ash sebanyak 30 ribu ton dan bottom ash sebanyak 5 ribu ton.
Sepanjang 2019, PLTU ini telah memproduksi 15.241 paving dan 20.466 batako dan menyalurkannya untuk pembangunan infrastruktur. Sementara di tahun 2020, ada 115.778 paving dan 82.100 batako yang dihasilkan.
Akan tetapi, belum semua limbah itu bisa diolah menjadi batako. Assistant Manager Komunikasi PLN Tanjung Jati B Grahita Muhammad bercerita bahwa sepanjang 2020, baru 40 persen saja FABA ini yang bisa diolah. Sisanya menumpuk percuma di landfill alias lokasi penampungan limbah B3. Jika satu landfill sudah penuh, maka PLN harus membuka landfill baru.
Selama ini, kata dia, ruang gerak untuk pemanfaatan FABA memang terbatas karena limbah ini dikategorikan sebagai B3. Keterbatasan ada pada perizinan, pengangkutan, sampai dengan pemanfaatan.
Setelah dihapus dari daftar limbah B3, perizinan untuk pengolahan limbah B3 ini pun bisa lebih mudah. Jika pemanfaatan semakin mudah, kata Grahita, maka tentu akan semakin banyak pihak yang bisa menggunakannya.
Lalu jika FABA terserap, maka biaya operasional untuk pengelolaan FABA ini turun. "Jadi tidak perlu pembebasan tanah untuk landfill baru saat landfill telah penuh," kata Grahita.