Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Kendari - Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara (Sultra) menggagalkan penyelundupan satwa dilindungi jenis burung kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea) dan burung nuri bayan (Eclectus roratus).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua jenis burung ini merupakan satwa dilindungi serta satwa endemik kepulauan Aru. Menurut UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, perdagangan satwa dilindungi dilarang dan pelanggarnya dikenai sanksi penjara 5 tahun dan denda maksimal 100 juta.
Kakatua jambul kuning dan nuri bayan berstatus terancam punah atau appendix II CITES. Menurut daftar IUCN kakatua jambul kuning dan nuri bayan terindikasi mengalami tren populasi yang menurun. Salah satu penyebabnya karena praktik penangkapan di alam oleh penyelundup untuk diperjualbelikan.
Pengungkapan kasus ini berawal dari informasi petugas Pelni KM Nggapulu, ketika kapal tengah bersandar di Pelabuhan Murhum Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk mengangkut penumpang. Puluhan satwa dilindungi itu diduga dimuat dari Pelabuhan Dobo, Ambon.
Rute pelayaran pulang pergi Pelni KM Nggapulu terjadwal dimulai dari Pelabuhan Dobo, Ambon, lalu berlayar ke Pelabuhan Murhum Baubau, bertolak ke Makassar dan berakhir di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Saat tengah bersandar itulah petugas mendengar suara burung yang disimpan di dek barang. Saat ditemukan satwa dilindungi itu dalam kondisi lemas, semuanya ditemukan dalam kardus yang dilubangi agar burung-burung tersebut bisa bernafas.
Mendapati itu, Pelni KM Nggapulu berkoordinasi dengan petugas BKSDA Seksi Wilayah Konservasi I Baubau, puluhan satwa tersebut lalu diserahterimakan dan diamankan di kantor Resort KSDA Baubau.
Kepala BKSDA Sultra Sakrianto Djawie yang ditemui di kantornya Jumat 27 Oktober 2023 mengatakan pada Jumat sekitar pukul 10.00 Wita pemulangan melalui KM Nggapulu dari Pelabuhan Murhum Baubau ke Pelabuhan Ambon dengan jumlah burung sebanyak 20 ekor terdiri dari 16 ekor jenis kakatua jambul kuning dan 4 ekor jenis nuri bayan, untuk proses perawatan, karantina dan habituasi sebelum dilepasliarkan ke habitat aslinya di Provinsi Maluku
“Penggagalan penyelundupan ini terjadi pada 6 Oktober 2023 lalu. Kami lalu berkoordinasi dengan karantina hewan untuk perawatan dan selama perawatan ada 4 ekor anak burung kakatua yang mati. Saat kami temukan kondisi satwa-satwa stres, belum lagi kondisi cuaca dan memang peralatan pendukung satwa di Resort KSDA Baubau belum memadai,” kata Sakrie.
Terkait pelepasan itu, menurut Sakrie, BKSDA Sultra berkoordinasi dengan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan genetik dan Balai KSDA Maluku untuk proses pemulangan burung karena burung tersebut adalah endemik Kepulauan Aru, Maluku.
Ia mengatakan Sultra menjadi daerah perlintasan dan transit penyelundupan satwa liar khususnya untuk satwa endemik di kawasan Tmur Indonesia untuk diperdagangkan secara ilegal. Permintaan yang tinggi menjadi penyebab terjadinya penyelundupan dari kawasan Timur Indonesia.
“Dibanding dengan bisnis kayu, para penyelundup lebih tertarik berbisnis satwa liar, harganya cukup menjanjikan, satu ekor kakatua dihargai Rp 3 sampai Rp 4 juta. Ini jadi bisnis yang cukup menjanjikan secara ekonomi,” kata dia.
Sementara itu dalam satu kesempatan, mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, La Ode M Syarif mengatakan satwa liar dan langka dilindungi biasa menjadi objek hadiah atau gratifikasi. Praktik ini melibatkan pejabat dan aparat penegak hukum.