Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bau tengik mengalir di wilayah sekitar PLTSa Surabaya.
BPPT mendapat penugasan untuk membangun PLTS percontohan di TPA Bantargebang.
Banyak masalah dalam pembangunan dan pengoperasian PLTSa.
MAKARTININGSIH tahu Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Benowo memiliki pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 6 Mei tahun lalu. Namun perempuan 55 tahun yang tinggal dekat Stasiun Benowo, Kecamatan Pakal, Surabaya, itu tidak paham bagaimana mengubah sampah menjadi energi setrum. Yang ia ketahui, bau tengik sering tercium di rumahnya yang berjarak 2,5 kilometer dari PLTSa Benowo. “Baunya baru berkurang kalau disemprot (pewangi),” kata Makartiningsih, Rabu, 20 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Survei persepsi publik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur pada 2021 mencatat hampir separuh dari 101 responden tak mengetahui pembangunan PLTSa Benowo. Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Wahyu Eka Setyawan mengatakan survei menunjukkan warga Surabaya tidak akrab dengan PLTSa. “Tak ada keterbukaan informasi, soal studi kelayakan, teknologi, dan dampak lingkungannya,” tutur Wahyu, Jumat, 22 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surabaya menjadi kota yang pertama mengoperasikan PLTSa. Sebelumnya, Surabaya ditunjuk bersama 11 kota lain sebagai lokasi percontohan dalam percepatan program pengolahan pengolahan sampah untuk energi listrik. Program ini bergulir lewat penerbitan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. "Kecepatan bekerja Pemerintah Kota Surabaya patut kita acungi jempol,” ucap Presiden Jokowi dalam sambutan peresmian. “Nanti kota-kota lain akan saya perintahkan untuk lihat aja di Surabaya, tiru, copy.”
Pemerintah Kota Surabaya menggandeng PT Sumber Organik, perusahaan listrik swasta, untuk membangun PLTSa sejak 2012. Dua PLTSa sudah beroperasi di TPA Benowo. Pembangkit pertama menggunakan teknologi landfill gasification atau pemanenan gas metana dari tumpukan sampah untuk menghasilkan 2 megawatt listrik. Pembangkit kedua dibangun sejak 2015 dengan teknologi gasifikasi dari Cina untuk menghasilkan 9 megawatt listrik lewat pemrosesan 1.000 ton sampah per hari.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya Agus Hebi Djuniantoro tidak bersedia menjelaskan kerja sama dengan PT Sumber Organik dalam PLTSa. Ia mengarahkan permintaan penjelasan kepada PT Sumber Organik. Namun permintaan wawancara Tempo tidak direspons hingga Sabtu, 23 April lalu. Koordinator Operasional PT Sumber Organik yang enggan namanya dikutip mengatakan permintaan itu sudah diteruskan kepada pemimpinnya.
Sementara PLTSa Benowo menjadi pionir bagi kota, PLTSa Merah Putih di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2017 menjadi proyek percontohan. Menurut Kepala Program PLTSa Merah Putih Widiatmini Sih Winanti, BPPT—kini melebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)—mendapat penugasan dari pemerintah untuk memberikan informasi kepada seluruh masyarakat mengenai keamanan PLTSa.
PLTSa berteknologi termal, baik insinerasi, gasifikasi, maupun pirolisasi, menimbulkan kontroversi. Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah mengajukan permohonan uji materi Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan PLTSa. Pada 2017, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan itu dan membatalkan Perpres Nomor 18 Tahun 2016 karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Kesehatan. Setahun berselang, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018.
Widiatmini mengatakan teknologi insinerasi dipilih karena peraturan presiden menekankan bahwa teknologi yang digunakan harus ramah lingkungan, memenuhi baku mutu, dan bisa mengurangi sampah secara signifikan serta telah teruji. “PLTSa berteknologi insinerasi ini yang paling teruji, sudah digunakan selama 125 tahun dan ada lebih dari 1.000 unit di banyak negara di dunia,” kata Perekayasa Ahli Utama Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih BRIN ini.
Presiden Joko Widodo (kanan) saat mengunjungi dan meresmikan fasilitas pengolahan sampah menjadi energi listrik di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo, Surabaya, Jawa Timur, Mei 2021. BPMI Setpres/Lukas
Jenis dan kondisi sampah Indonesia yang basah dan tercampur, Widiatmini melanjutkan, juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan teknologi insinerasi. Menurut dia, PLTSa insinerasi berpotensi mengurangi sampah hingga 80 persen. PLTSa jenis ini juga berkapasitas besar. “Beberapa kota sudah mengalami darurat sampah. TPA-nya sudah penuh menggunung,” tutur Widiatmini di kantornya, Senin, 18 April lalu.
Widiatmini menjelaskan, PLTSa yang mampu mengolah 100 ton sampah per hari untuk menghasilkan 750 kilowatt listrik itu ramah lingkungan karena menerapkan pembakaran terkontrol. Suhu pembakaran diatur di atas 800 derajat Celsius dan waktu tinggal gas hasil pembakarannya di atas dua detik agar bahan berbahaya hancur sempurna. PLTSa ini juga dilengkapi unit pengendali pencemaran udara. “Unit pengendali pencemarannya lebih dari separuh ukuran PLTSa,” ujarnya.
Pengendali pencemaran itu, Widiatmini menambahkan, terdiri atas quenching yang seketika mendinginkan gas buang yang keluar dari insinerator untuk mencegah terbentuknya dioksin dan furan. Gas buang lalu dialirkan ke unit dry scrubbing untuk menangkap bahan polutan seperti asam, logam, dan komponen organik berbahaya menggunakan bubuk kapur dan karbon aktif. Lantas, sebelum dilepaskan ke atmosfer, gas buang akan melewati kantong filter untuk menangkap debu (fly ash).
Widiatmini menegaskan, pihaknya telah mengukur dioksin dan furan PLTSa Merah Putih menggunakan laboratorium independen yang terakreditasi. Hasilnya di bawah baku mutu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal. “Total PCCDs and PCDFs (dioksin dan furan) sebesar 0,00882 nanogram per meter kubik normal (ng/Nm3). Adapun baku mutunya 0,1 ng/Nm3,” ucapnya.
Yuyun Ismawati, penasihat senior Nexux3 Foundation—salah satu anggota Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah—mengatakan koalisinya tetap tidak mendukung teknologi termal untuk mengolah sampah. “Meski pakai imbuhan ‘teknologi ramah lingkungan’, kami masih yakin proyek-proyek ini tidak akan berhasil dan tidak akan sustainable baik secara teknis, finansial, maupun lingkungan,” kata Yuyun melalui WhatsApp, Kamis, 21 April lalu.
Menurut Yuyun, berbagai referensi dan kesepakatan internasional—yang diikuti Indonesia sebagai negara pihak—menegaskan bahwa PLTSa, terutama teknologi termal, adalah pilihan terakhir untuk menangani sampah. “Poin paling penting dari pembangunan dan pengoperasian PLTSa adalah pengendalian emisi, lepasan, dan fly ash-bottom ash (FABA),” ucapnya.
Perihal pengukuran dioksin dan furan PLTSa Merah Putih yang rendah, Yuyun mengatakan semestinya dilakukan pengukuran secara kontinyu (CEMS). “Pengukuran dioksin yang rendah dari satu kali pengambilan sampel tidak menjamin emisi dioksin rendah dalam satu jam kemudian,” tutur Yuyun. “Para operator insinerator di berbagai negara paham trik-trik untuk menjaga emisi dioksin rendah saat dilakukan sampling.”
Saat berkunjung ke PLTSa Merah Putih pada Januari lalu, kata Yuyun, tim Nexus3 dan Aliansi Zero Waste Indonesia menemukan FABA ditumpuk di pinggir pagar. “Kalau proyek percontohan, semestinya menerapkan contoh praktik-praktik yang baik,” ujarnya. “Kami uji sampel FABA itu ke laboratorium CENTER di Cheng-Shiu University, Taiwan. Bottom-ash-nya mengandung dioksin 33,03 nanogram I-TEQ/gram dan fly ash-nya 1,16 nanogram I-TEQ/gram,” kata Yuyun. Sayangnya, saat ini tak ada baku mutu dioksin dalam FABA dari PLTSa.
KUKUH WIBOWO (SURABAYA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo