Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Penyebab Rupiah Terus Tertekan

The Fed masih akan menahan suku bunga demi menekan inflasi. Isyarat buruk untuk rupiah dan pasar keuangan.

19 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • The Fed masih menahan bunga untuk mengendalikan inflasi Amerika Serikat.

  • Bank Indonesia harus agresif melakukan intervensi terhadap rupiah.

  • Rupiah akan mengalami tekanan ganda.

PASAR keuangan global masih bergejolak pekan-pekan ini. Pemicunya, investor masih terus melawan asumsi bahwa bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) tidak akan menurunkan bunga. Setiap terbit data baru yang bisa menjadi alasan penurunan bunga, pasar keuangan langsung bereaksi optimistis. Padahal berulang kali ada pernyataan dari pimpinan The Fed bahwa mereka tak akan gegabah menurunkan bunga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selasa, 14 Mei 2024, misalnya, Ketua The Fed Jerome Powell kembali menyampaikan pesan di depan para bankir Belanda. Intinya, The Fed akan menahan bunga lebih lama demi mengendalikan inflasi di Amerika Serikat. Para analis membaca pernyataan ini sebagai isyarat: bunga rujukan The Fed paling cepat baru akan turun pada September mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun esoknya pasar seolah-olah tak peduli terhadap pernyataan Powell, ketika data inflasi terbaru terbit. Pada April 2024, angka inflasi tahunan Amerika Serikat tercatat 3,4 persen, turun tipis dari Maret yang mencapai 3,5 persen. Inflasi inti juga lebih rendah, yaitu 0,3 persen per April ketimbang 0,4 persen pada bulan sebelumnya. Inflasi inti tidak memasukkan harga pangan dan energi yang gampang bergejolak.

Melunaknya inflasi membuat pasar tersengat euforia. Harga saham di Wall Street sontak terbang tinggi. Indeks S&P 500 kembali menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah. Pada tahun ini saja, S&P 500 sudah 23 kali mencetak rekor. Sebaliknya, kurs dolar Amerika Serikat langsung turun. Indeks Dolar, yang mencerminkan pergerakan dolar Amerika terhadap enam mata uang utama dunia, merosot menjadi 104,181 dari posisi 106,2 di awal Mei.

Gejolak pasar global itu menular pula ke Jakarta. Kurs rupiah langsung menguat ke kisaran Rp 15.900 per dolar Amerika Serikat, dari sebelumnya di atas Rp 16.100. Harga saham di bursa Jakarta juga melonjak. Indeks Harga Saham Gabungan, Kamis, 16 Mei 2024, naik hampir 1 persen hanya dalam sehari.

Sebetulnya ada pertanyaan di kalangan analis: apakah penurunan inflasi yang relatif tipis itu sudah cukup kuat untuk mendorong The Fed segera menurunkan bunga? Namun optimisme yang merebak jauh lebih kuat. Pasar yakin inflasi Amerika Serikat sudah cukup terkendali. Lagi pula, angka serapan tenaga kerja di Amerika pada April sudah mulai menurun. Ini pertanda bahwa ekonomi Amerika tak lagi bergerak cepat. Inflasi di bulan-bulan mendatang bisa makin lunak. 

Jika asumsi ini kelak terbukti benar, itu berarti kabar baik bagi Indonesia. Sebab, dalam beberapa bulan terakhir, pasar keuangan Indonesia masih tertekan oleh spekulasi bahwa bunga The Fed tidak akan turun. Akibatnya, dana investasi portofolio asing masih mengalir deras keluar dari Indonesia. Di pasar obligasi pemerintah, ada Rp 15 triliun dana asing yang keluar dalam sebulan terhitung per 15 Mei 2024. Dari pasar saham, dalam kurun waktu yang sama, jumlah kapital asing yang kabur mencapai Rp 21,82 triliun.

Tekanan pasar juga membuat cadangan devisa merosot. Bank Indonesia harus agresif melakukan intervensi demi mempertahankan kurs rupiah. Operasi pasar ini turut menguras cadangan devisa. Per akhir April 2024, posisinya tercatat US$ 136,2 miliar, berkurang US$ 4,2 miliar hanya dalam sebulan. 

Jika pasar akhirnya yakin The Fed akan menurunkan bunga, aliran keluar modal asing akan mereda. Kurs rupiah juga bisa lebih stabil, tak terus merosot. Namun investor tetap harus waspada. Sentimen positif yang timbul karena spekulasi turunnya bunga The Fed biasanya tak berumur panjang. Nilai rupiah bisa kembali melorot begitu ada isyarat The Fed tak menuruti tekanan pasar. 

Lagi pula, tekanan pada stabilitas eksternal Indonesia tak hanya berasal dari sektor finansial. Di sektor riil, ancaman menurunnya surplus perdagangan karena rendahnya harga-harga komoditas ekspor Indonesia masih berlanjut. Per April 2024, angka surplus perdagangan Indonesia kembali turun, menjadi US$ 3,56 miliar. Ada penurunan US$ 1 miliar dibanding angka surplus Maret 2024.

Mengingat ekonomi dunia masih belum tumbuh pesat, ada risiko angka surplus perdagangan Indonesia akan terus menurun sepanjang tahun ini. Kalau itu benar terjadi, dan sentimen positif terhadap bunga di pasar keuangan pun pupus, rupiah berisiko menghadapi tekanan ganda yang amat berat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ancaman Tekanan Ganda pada Rupiah"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus