Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Bukan Uang, Psikologis Dulu

Ratusan korban peristiwa G-30-S mendapat bantuan kesehatan dan perawatan psikologis dari Lembaga Perlindungan Saksi. Soal pemberian kompensasi uang terganjal keharusan adanya pengadilan ad hoc.

6 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUNTUHNYA Orde Baru membuat para korban kekerasan sekitar peristiwa G-30-S pada 1965 menuntut hak sekaligus ganti rugi kepada pemerintah. Bukan hanya mereka yang terkotak dalam golongan A, B, dan C, melainkan juga semua yang merasa menjadi korban.

Dua lembaga yang menjadi pintu paling depan tumpuan para korban memperoleh yang mereka tuntut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). "Kami memfasilitasi memberikan bantuan psikososial dan medis sejak 2009," ujar anggota LPSK, Lili Pintauli Siregar. Menurut dia, hingga kini lembaganya telah memfasilitasi 300 korban peristiwa 1965 untuk mendapatkan haknya.

Pemberian bantuan itu, kata Lili, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang LPSK dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 perihal Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Hanya, untuk mendapatkan bantuan tersebut, disyaratkan ada rekomendasi Komnas HAM. Menurut Lili, bantuan medis dan lain-lain yang diberikan lembaganya bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. "Sudah habis sekitar Rp 2 miliar," ucapnya.

Kepada Tempo, mantan anggota Komnas HAM, Yosep Adi Prasetyo, menyatakan pihaknya dulu menyerahkan 375 nama korban peristiwa pelanggaran HAM 1965 kepada LPSK. Nama-nama itu telah melalui proses verifikasi. "Para korban ini pernah ditahan, mendapat siksaan, dan mendapat pengalaman traumatis," ujarnya. Belakangan, kata Yosep, muncul permintaan dari 700 korban lain agar mereka juga mendapatkan bantuan fasilitas dan medis seperti rekan mereka yang sudah mendapatkannya dari LPSK.

Salah satu korban peristiwa 1965 yang mendapatkan bantuan itu adalah Nani Nurani, 72 tahun. Dia bahkan tercatat sebagai orang pertama yang menerima bantuan dari LPSK. Nani mendekam selama tujuh tahun di Tahanan Bukit Duri, Jakarta. Ia diciduk Polisi Militer pada Desember 1968. "Padahal saya bukan anggota PKI. Saya hanya pernah menyanyi saat ulang tahun PKI pada Juni 1965," ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Penahanan itu juga membuat kariernya sebagai pegawai Dinas Kebudayaan Cianjur langsung tamat.

Selama ditahan, dari 1968 hingga 1975, Nani menyaksikan beragam penyiksaan. "Ada orang yang tangannya dibakar bersama kertas tulisannya atau orang yang kakinya berkali-kali ditekan kaki meja," katanya. Pengalaman mengerikan itu mengguncang jiwanya.

Pada 2009, Nani mendapatkan bantuan gratis berupa pelayanan psikologis untuk mengatasi traumanya. Di luar itu, dia memperoleh bantuan penyembuhan sejumlah penyakitnya, antara lain penyakit batu empedu dan gangguan telinga. "Setiap tiga bulan sekali tes laboratorium untuk mengecek kondisi batu empedu," ucapnya. Pada 2011, Nani menggugat pemerintah untuk membayar ganti rugi Rp 7,46 miliar atas penderitaan yang ia alami. Tapi gugatannya ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

LPSK, kata Nani, pada 2013 menghentikan pemberian fasilitas pengobatan kepadanya. Karena itulah, dalam waktu dekat, dia akan meminta sejumlah lembaga yang selama ini mendampinginya, antara lain Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, membantu agar ia mendapatkan lagi fasilitas bantuan dari LPSK.

Menurut Yosep Adi, hingga kini belum satu pun korban pelanggaran HAM 1965 mendapatkan kompensasi uang. Itu karena prosedur mendapatkan ganti rugi uang harus melalui pengadilan HAM ad hoc, yang sampai sekarang belum terbentuk. "Ketentuan prosedur ini diatur dalam Undang-Undang tentang Pengadilan HAM," ucap Yosep.

Menurut Lili Siregar, aturan hukum yang mensyaratkan pemberian kompensasi terhadap korban melalui pengadilan HAM ad hoc adalah hal yang tak efektif. Saat ini, kata dia, sedang dikaji pemberian kompensasi uang tanpa melalui jalur pengadilan. Bentuknya, menurut Lili, bisa seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM Aceh. "Seperti itu, dan ini lebih baik ketimbang lewat pengadilan."

Yuliawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus