Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) David Sumual menganalisis, Indonesia harus mencapai pertumbuhan ekonomi setidaknya 6 persen untuk bisa keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada kuartal I 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia dilaporkan 5,11 persen. Sepanjang tahun 2023, ekonomi nasional tumbuh 5,05 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
David menjelaskan, Indonesia bisa bebas dari middle income trap jika pendapatan per kapita telah melebihi US$ 13.800. Pada 5 juni 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut pendapatan per kapita Indonesia US$ 4.806.
"Kalau udah lepas di atas US$ 13.800, baru bisa dikatakan kita udah masuk high income. Nah, kita kalau mau di atas US$ 13.800, memang tumbuhnya harus 6 persen terus, minimal," kata David kepada Tempo, dikutip Selasa, 23 Juli 2024.
Bila bisa mencapai 8 persen, maka akan lebih cepat lagi Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi atau high income. David memproyeksikan, Indonesia bisa keluar dari middle income trap sekitar tahun 2030 hingga 2035.
"Sebelum demographic dividend (bonus demografi) kita berakhir, karena kan ini juga kita harus hitung dengan betul. Penambahan penduduk dan seterusnya secara demografik," katanya.
Dia menekankan, kesempatan Indonesia untuk mengejar target tersebut tidak lagi panjang. "Kalau misalnya lewat dari 2030-2035, ya, kita mungkin sulit untuk bisa lepas dari perangkap pendapatan menengah. Kita akan stay di sini."
Selanjutnya: David mencontohkan negara Argentina atau negara-negara Amerika Latin....
David mencontohkan negara Argentina atau negara-negara Amerika Latin yang tak bisa beranjak dari middle income trap. Berbeda dengan Korea, Taiwan, Jepang, dan Cina yang sudah maju alias terlepas dari perangkap itu.
Di sisi lain, kata David, ada persoalan yang akan muncul setelah perekonomian Indonesia tumbuh di atas 5 persen. Jika tumbuh melampaui 5 persen, maka ekonomi mulai memanas atau overheating. "Memanasnya ditandai dengan inflasinya mulai naik, itu pertama. Kedua, defisit transaksi berjalan membengkak, ujung-ujungnya juga rupiah goyang. Memang ini kaitannya erat sekali dengan struktur ekonomi," tutur dia.
Hingga saat ini, David menyebut, belum ada ekspor andalan Indonesia yang benar-benar bersaing di pasar dunia. Indonesia kini masih bergantung pada komoditas. Berdasarkan analisisnya, secara historis ekonomi RI bisa tumbuh di atas 5 persen hanya ketika periode harga komoditas relatif tinggi. Jika harga komoditas mulai turun, maka semua sektor juga langsung ikut turun.
"Saya pernah menghitung, 32 persen dari revenue (pendapatan) perusahaan-perusahaan di Indonesia itu bisa dijelaskan dari naik-turunnya harga komoditas. Kalau CPO (minyak kelapa sawit), batu bara, mineral, wajar di atas 65 persen pendapatannya bisa dijelaskan dari naik atau turunnya komoditas. Jasa dan properti juga bisa dijelaskan, tapi hanya sekitaran 30 persen," ujarnya.
Persoalannya, kata David, karena sampai sekarang Indonesia belum bisa lepas dari komoditas. Artinya, model ekonomi negara masih sangat ditentukan oleh gerak-gerik komoditas.
"Beda kalau misalnya di pasar global Indonesia jualan barang lain yang kompetitif. Tapi kalau komoditas, itu (harganya) naik turun. Kalau hanya ekspor yang mentah, nilai tambahnya juga kecil sekali buat ekonomi," kata David.