Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BPJS Kesehatan memperkirakan defisit dana jaminan kesehatan sebesar Rp 16 triliun tahun ini.
Beban BPJS terus melonjak tanpa ada kenaikan iuran.
BPJS Kesehatan menyiapkan strategi antisipasi gagal bayar.
DANA jaminan sosial Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan berisiko mengalami defisit Rp 16 triliun pada tahun ini. Catatan minus ini bisa berujung pada gagal bayar dua tahun ke depan jika tak ada intervensi pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Estimasi defisit tersebut muncul dari rencana kerja anggaran BPJS Kesehatan 2024. Badan ini memperkirakan pendapatan sepanjang 2024 hanya Rp 160 triliun, sedangkan pengeluarannya mencapai Rp 176 triliun. "Tapi aset neto kita masih sehat," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti di kompleks DPR, Jakarta, kemarin, 13 November 2024.
Ghufron mengungkapkan badan ini mengantongi aset bersih dana jaminan sosial sekitar Rp 51 triliun saat ini. Dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk menutup defisit tadi. Artinya, tak akan ada masalah soal pembayaran klaim rumah sakit tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ghufron, pemicu utama defisit adalah kenaikan utilisasi jaminan sosial kesehatan. Seiring dengan pertambahan peserta, total pemanfaatan layanan per hari bisa mencapai 1,7 juta. Sebagai perbandingan, pada 2014, total pemanfaatannya hanya 252 ribu per hari. Layanan-layanan itu ada ongkosnya.
Setelah bertahun-tahun defisit, BPJS Kesehatan akhirnya mencatat surplus dana jaminan sosial Rp 38,76 triliun pada 2021. Tahun berikutnya surplus BPJS naik menjadi Rp 56,51 triliun. Pada 2023, nilainya merangkak menjadi Rp 56,66 triliun. Adapun pada 2018-2020, BPJS mengalami defisit dana jaminan sosial berturut-turut Rp 33,96 triliun pada 2018, Rp 50,99 triliun pada 2019, dan Rp 5,68 triliun pada 2020.
Namun, sejak 2023, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mencatat pengeluaran badan ini cenderung membengkak. Dalam laporan keuangan BPJS Kesehatan 2023, beban badan ini naik menjadi Rp 157 triliun dari Rp 130 triliun pada 2022.
Pemicunya adalah penyesuaian tarif fasilitas kesehatan, seperti tarif kapitasi dan tarif Indonesian-Case Based Groups (INA-CBG) lewat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pemerintah juga memutuskan menambah biaya skrining penyakit untuk memperkuat upaya pencegahan penyakit. "Ditambah lagi penyakit katastropik terus bertambah sehingga meningkatkan pembiayaan," tuturnya.
Sementara itu, di sisi pendapatan, nilainya tak banyak bertambah. Sejak 2020, pemerintah belum menaikkan tarif iuran. Padahal pendapatan dari iuran menjadi sumber utama penerimaan BPJS Kesehatan. Sebagai contoh, dari total pendapatan 2023 sebesar Rp 158 triliun, pendapatan iurannya mencapai Rp 151 triliun.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti di kantor BPJS Kesehatan, Jakarta, 29 Mei 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Timboel mengatakan beban pembiayaan BPJS Kesehatan tak akan berkurang ke depan. Jika tak ada penyesuaian iuran yang bisa signifikan mendongkrak pendapatan, badan ini harus kembali mengandalkan aset bersih mereka untuk menutup defisit tahun depan. Dia memperkirakan dana tersebut bisa habis pada 2026 dan berujung membuat BPJS gagal bayar.
Perhitungan serupa diungkapkan oleh Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan Mahlil Ruby. "Kalau kita tidak melakukan suatu kebijakan apa pun, pada 2026, kita akan mengalami aset negatif. Gagal bayar bisa terjadi pada Maret 2026," tuturnya di kantor Bappenas, Jakarta, Senin, 11 November 2024.
Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan Arief Witjaksono Juwono Putro menjabarkan tiga langkah antisipasi defisit dana jaminan kesehatan. Pertama, penyesuaian manfaat. "Ini tentu akan susah karena manfaatnya bagi masyarakat akan mengecil," katanya.
Opsi lain adalah penyuntikan dana pemerintah kepada BPJS Kesehatan. Skema ini sudah berulang kali ditempuh. Terakhir, saat pemerintah berusaha mengatasi defisit badan ini pada 2019 dengan mengambil dana dari APBN hingga Rp 9 triliun.
Cara ketiga adalah penyesuaian iuran. Lewat Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, iuran jaminan kesehatan harus ditinjau tiap dua tahun sekali. Namun sejak kenaikan pada 2020, tak ada perubahan besaran iuran.
Aturan tersebut kemudian direvisi menjadi Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024. Dalam Pasal 103B ayat (8) disebutkan pemerintah bakal menetapkan manfaat, tarif, dan iuran jaminan kesehatan yang baru paling lambat 1 Juli 2025.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional, Muttaqien, menyatakan pihaknya sudah membentuk kelompok kerja untuk menghitung manfaat, tarif, dan iuran JKN. Pesertanya antara lain Kementerian Kesehatan, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Keuangan, serta BPJS Kesehatan dibantu oleh aktuaria independen. "Sampai saat ini tim masih bekerja untuk meng-update penghitungan teknokratis dengan asumsi dan opsi bauran kebijakan," ujarnya.
Suasana Rapat Dengar Pendapat Komisi IX DPR RI bersama Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti di Kompleks Parlemen, Jakarta, 13 November 2024. ANTARA/Tri Meilani Ameliya
Dari hasil ini kerja kelompok ini, Ketua DJSN akan mengusulkan besaran iuran kepada Presiden ditembuskan kepada menteri yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang keuangan. Dalam menentukan nilainya, beberapa faktor bakal jadi pertimbangan, seperti keberlanjutan program, peningkatan mutu layanan, dan kondisi kemampuan masyarakat dalam membayar iuran.
Selagi menanti penghitungan tersebut, Ghufron mengatakan timnya juga mempersiapkan alternatif antisipasi defisit selain menaikkan iuran. "Salah satunya menerapkan cost sharing." Contohnya, saat peserta JKN ingin ke rumah sakit, mereka harus membayar iuran, yang nilainya tidak memberatkan, tapi bisa memberi efek. Tujuannya untuk mengurangi utilisasi yang tidak perlu sehingga biaya bisa ditekan. Di sisi lain, dana ini bisa jadi sumber pendapatan.
Dia mengklaim masih ada strategi lain yang disiapkan timnya. Langkah ini penting lantaran ia memahami tak mudah menaikkan iuran. "Semua ini banyak pertimbangannya, seperti politik, kemampuan bayar, kemauan bayar, macam-macam," katanya.
Anggota Komisi IX DPR, Edy Wuryanto, berharap pemerintah berhati-hati mempertimbangkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Selain itu, kenaikan iuran harus dipastikan disertai dengan peningkatan pelayanan bagi masyarakat.
Dia mengusulkan alternatif lain, misalnya mengoptimalkan pendapatan dari iuran peserta pekerja penerima upah (PPU). Merujuk pada data Survei Kesehatan Indonesia 2023, sebanyak 35 persen PPU justru terdaftar sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang setorannya ditanggung pemerintah karena kelompok ini merupakan kelompok tak mampu.
Selain menyangkut ketidakadilan layanan, temuan tersebut menunjukkan ada risiko penerimaan yang hilang. Edy mencatat saat ini ada 142 juta orang di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik. Sebanyak 40 persennya atau setara dengan 56 juta orang merupakan pekerja formal. Dikurangi jumlah pegawai negeri serta anggota TNI dan kepolisian yang sebanyak 6 juta, artinya peserta PPU swasta seharusnya bisa mencapai 50 juta orang.
Dengan estimasi rata-rata gaji mereka sebesar Rp 3 juta dan iuran sebesar 5 persen per bulan, per tahun ada potensi pendapatan iuran dari PPU sekitar Rp 90 triliun. "Itu tiga kali lipat dari pendapatan PPU sekarang yang hanya Rp 30 triliun," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo