Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Ini Penyebab Tren Kelas Menengah Melorot Menurut Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan alasan jumlah penduduk ekonomi kelas menengah di Indonesia merosot dalam beberapa tahun terakhir.

7 Oktober 2024 | 20.21 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah penduduk ekonomi kelas menengah di Indonesia mengalami tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir, yang disertai dengan perubahan prioritas pengeluaran. Menteri Keuangan atau Menkeu Sri Mulyani punya pandangan tersendiri ihwal penyebab sejumlah kelas menengah yang turun kasta tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Penurunan kelas menengah biasanya karena inflasi. Dengan inflasi tinggi, maka garis kemiskinan naik, mereka tiba-tiba akan jatuh ke bawah,” ujar Sri Mulyani di Kementerian Keuangan atau Kemenkeu di Jakarta, Jumat, 4 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sri Mulyani menambahkan, meski sebagian kelas menengah turun, ada juga kelompok ekonomi bawah yang naik menjadi kelompok menuju kelas menengah atau aspiring middle class. Dia mencontohkan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) memang terjadi di satu tempat, namun di tempat lain ada penciptaan lapangan kerja baru.

“Hal ini terlihat dalam data statistik di mana ada 11 juta lebih dalam tiga tahun terakhir angkatan kerja baru atau lapangan kerja baru terbuka, tetapi tetap ada PHK. Sehingga, semuanya harus dilihat secara keseluruhan,” katanya.

Perekonomian Indonesia, kata dia, mengalami perubahan karena adanya berbagai faktor. Perubahan itu antara lain karena teknologi maupun disebabkan perubahan struktur ekonomi. Pihaknya mengatakan pemerintah akan memperhatikan agar masyarakat yang paling rentan mendapatkan dukungan.

“Apakah itu dalam bentuk bantuan sosial atau pelatihan. Dan di sisi lain memperbaiki iklim investasi sehingga muncul lapangan kerja baru,” kata Bendahara Negara ini.

Sementara itu menurut Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, banyak kelas menengah di Indonesia yang turun kelas menjadi kelompok miskin atau rentan karena lesunya sektor industri manufaktur. Sektor sekunder ini tak mampu menopang arus peralihan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor jasa.

Data Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat porsi masyarakat dengan ekonomi kelas menengah menurun sejak pandemi Covid-19 pada 2019 lalu. Dari 57,33 juta atau 21,45 persen pada 2019, jumlah kelas menengah kini tinggal 47,85 juta atau 17,13 persen pada 2024 –turun hampir 9,48 juta atau 16,5 persen.

Andri mengatakan, sektor industri manufaktur menopang kelas-kelas menengah baru yang sebelumnya di sektor primer atau agraris. Jika industrialisasi berjalan mumpuni, masyarakat di sektor ini bisa naik menjadi kelas menengah. Namun karena tren deindustrialisasi, masyarakat beralih dari sektor agraris ke sektor jasa. Padahal, sektor jasa belum memiliki nilai tambah yang mumpuni.

“Syarat sektor jasa yang bernilai tambah tinggi adalah sektor sekundernya harus mumpuni dan banyak, karena dari manufaktur akan banyak turunan jasa-jasa yang dikerjakan masyarakat,” kata Andri dalam diskusi yang disiarkan secara daring, Selasa, 1 Oktober 2024.

Akibat tren penurunan, Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyebut fenomena “makan tabungan” bukan hanya dialami oleh masyarakat kelas bawah, tapi mulai menjalar ke kelas menengah. Kelas menengah disebutnya tampak beralih ke mode survival dan rentan menjadi miskin.

Menurut Achmad, kelas menengah semakin bergantung pada tabungan untuk bertahan hidup karena adanya tekanan inflasi pada kebutuhan pokok dan energi yang dibarengi gelombang PHK di berbagai sektor. Kendati demikian, kata dia, penurunan tabungan di kelas menengah belum sebesar kalangan bawah.

“Namun, dalam jangka panjang pola ini dapat menjadi sinyal awal bahwa kelas menengah sedang berjuang untuk mempertahankan gaya hidup mereka,” kata Achmad kepada Tempo, Jumat, 27 September 2024.

Selanjutnya, meski deflasi bisa terjadi dalam sektor tertentu, menurut Achmad kenaikan harga pada kebutuhan pokok seperti pangan dan energi tetap bisa menekan daya beli masyarakat. Hal itu, kata dia, menyebabkan masyarakat terpaksa menggunakan tabungan meskipun harga beberapa barang lainnya menurun.

Selain itu, Achmad juga menyebut ketidakpastian global seperti ketegangan geopolitik, krisis pangan, dan krisis energi global turut membebani kondisi ekonomi domestik. Hal ini kemudian menyebabkan masyarakat beralih ke mode bertahan dengan mengandalkan tabungan.

Achmad juga menyebut bahwa kelas menengah selama ini dianggap sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia. Kalangan ini menjadi penyokong utama dalam mendorong konsumsi barang dan jasa. Di sisi lain, kelompok ini mengalami tekanan ekonomi yang cukup berat.

Berdasarkan data penelitian yang dikumpulkan dari indeks tingkat belanja dan tabungan per individu. Di awal 2023, indeks simpanan masyarakat kelas bawah masih lebih tinggi dibanding pengeluarannya. Namun, hingga Juli 2024, angka pengeluaran mencapai 110,6 sementara tabungan hanya 47,9.

HENDRIK KHOIRUL MUHID | HAMMAM IZZUDDIN | ILONA ESTHERINA | HAN REVANDA PUTRA
Pilihan editor: Rencana Prabowo Ubah Subsidi Energi Jadi Bantuan Tunai, Perlu Sasar Calon Kelas Menengah

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus