Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembayaran klaim BPJS Kesehatan dinilai membaik setelah iuran JKN naik.
Putusan MA membuat sejumlah pengelola rumah sakit khawatir masalah lama terjadi lagi.
BPKP dan KPK mengendus lemahnya sistem pelayanan klaim JKN.
IDA Bagus Nyoman Banjar mulai harap-harap cemas mencermati babak baru program Jaminan Kesehatan Nasional. Putusan Mahkamah Agung menganulir kenaikan iuran bagi peserta di kelompok pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) bisa membuat keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan kembali seret.
Sejak awal tahun ini, Banjar sebenarnya mulai bisa bernapas lega melihat arus kas Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta Utara, yang dipimpinnya. Secara bertahap, BPJS Kesehatan mulai membayarkan tunggakan klaim pelayanan yang pada 2019 menumpuk hingga Rp 80 miliar. Kini piutang RSUD Koja tersebut tersisa Rp 28 miliar. “Kalau telat, kami pasti akan kewalahan di pelayanan, juga penyediaan obat, apalagi di musim Covid ini,” kata Banjar kepada Tempo, Jumat, 13 Maret lalu.
Pemerintah menaikkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional mulai 1 Januari 2020. Besaran kenaikan beragam berdasarkan kelompok peserta dan kelas pelayanan. Bahkan kenaikan iuran bagi peserta penerima bantuan iuran yang ditanggung pemerintah telah diberlakukan pada Agustus 2019 untuk mempercepat upaya mengurangi defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp 32,87 triliun pada tahun berjalan.
Keputusan pemerintah menaikkan iuran itu pula yang belakangan menjadi harapan baru bagi Banjar. Asumsinya, jika BPJS Kesehatan tak lagi mengalami defisit, pembayaran klaim pelayanan akan lancar. Arus kas rumah sakit pun, kata dia, tidak terganggu. “Tidak defisit juga untuk pelayanan,” ujarnya. Saat ini, sekitar 95 persen pasien RSUD Koja adalah pengguna BPJS Kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Loket penyerahan resep psien BPJS di RSUD Koja, Jakarta./Dok.TEMPO/M Iqbal Ichsan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun kabar baru mencuat pada Senin, 9 Maret lalu. Mahkamah Agung mengumumkan bahwa perkara uji materi terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan telah diketuk pada 27 Februari lalu. Mahkamah mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia tersebut.
Dari sejumlah pasal perubahan nilai iuran peserta jaminan kesehatan, hanya pasal 34 ayat 1 dan 2 yang dianulir MA. Pasal ini khusus mengatur iuran untuk kelompok PBPU dan BP, yang biasa dikenal sebagai peserta mandiri. Data menunjukkan sebagian besar defisit yang disebabkan oleh besarnya tanggungan klaim ketimbang penerimaan BPJS Kesehatan justru berasal dari kelompok peserta ini.
•••
RUMAH sakit menjadi salah satu pihak yang bakal terkena dampak jika BPJS Kesehatan mengalami kesulitan keuangan. Ketika pelayanan kesehatan kepada pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah rampung, fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan ini mesti mengklaim biaya layanan tersebut.
Sesuai dengan ketentuan, BPJS Kesehatan mesti membayarkan klaim tersebut paling lambat 15 hari sejak ditagihkan. Namun, beberapa tahun terakhir, pelaksanaannya jauh panggang dari api. Klaim bisa berbulan-bulan tak terbayarkan. Beban utang jatuh tempo BPJS Kesehatan per Oktober 2019 yang mencapai Rp 21,16 triliun turut menjadi pertimbangan pemerintah ketika menaikkan iuran JKN.
Jumlah Peserta Program JKN
Kenaikan iuran itu pula yang sempat membuat Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris hakulyakin bisa melunasi tunggakan tersisa kepada rumah sakit yang mencapai Rp 14 triliun pada 2020. “Tahun ini utang-utang rumah sakit akan bersih semua. Mungkin di akhir tahun, walaupun tidak banyak, sudah mulai ada tanda-tanda program ini sustained,” ucapnya di kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jakarta, 6 Januari lalu.
Ikrar Fachmi itu mulai terlaksana dua bulan terakhir. Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia Susi Setiawaty mengungkapkan, pembayaran klaim rumah sakit sejak Januari lalu makin cepat. Dari pantauan Asosiasi, BPJS Kesehatan kini telah membayarkan klaim sejumlah rumah sakit swasta di daerah yang diajukan pada November dan Desember 2019.
Meski umur piutang tersebut masih bisa mencapai tiga bulan, kondisi ini dinilai lebih baik ketimbang sebelumnya, saat pembayaran bisa beberapa bulan lebih lama. “Ada di beberapa rumah sakit masih terlambat, tapi bisa jadi ada kesalahan juga dari pihak rumah sakitnya,” ujar Susi kepada Tempo, Kamis, 12 Maret lalu.
Selama ini, seretnya pembayaran biaya pelayanan membuat manajemen rumah sakit pontang-panting. Kondisi tersebut dialami pula oleh Grup Rumah Sakit Hermina yang dipimpin Susi. Ketika klaim yang diajukan kepada BPJS Kesehatan tak kunjung cair, RS Hermina Kemayoran beroperasi dengan mengandalkan dana talangan yang diperoleh lewat skema supply chain financing dari salah satu bank badan usaha milik negara.
Pasien di sejumlah rumah sakit swasta terkemuka, kata dia, memang masih banyak yang membayar secara pribadi atau menggunakan asuransi swasta. “Tapi bayangkan kalau di rumah sakit daerah, yang bisa 85 persen pasiennya pengguna BPJS,” tutur Susi. Untuk alasan yang sama dengan Ida Bagus Nyoman Banjar, Susi khawatir umur piutang klaim bisa kembali mulur ke lima-enam bulan akibat dibatalkannya kenaikan iuran peserta mandiri JKN.
•••
Fasilitas Kesehatan BPJS Kesehatan
PAHITNYA urusan klaim sebenarnya tak hanya dirasakan rumah sakit. BPJS Kesehatan, yang harus membayarnya, bahkan menghadapi masalah ganda. Tak hanya berhadapan dengan neraca keuangan yang defisit, pelaksana program Jaminan Kesehatan Nasional itu juga terancam oleh klaim-klaim bermasalah. Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 2018 bahkan menemukan dugaan kecurangan (fraud) pada sebagian klaim yang ditagih oleh fasilitas kesehatan.
BPKP antara lain menemukan klaim layanan oleh peserta nonaktif, jumlah klaim yang dilipatgandakan, dan kelebihan pembayaran kepada fasilitas kesehatan akibat urusan administrasi yang tak sesuai. Untuk temuan yang terakhir ini, BPJS Kesehatan sempat menagih lebih bayar tersebut.
Temuan Audit di Layanan Rujukan
Pada Jumat, 13 Maret lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi juga membeberkan alasan defisit yang dialami BPJS Kesehatan. Pemborosan pembayaran pada standar rumah sakit salah satu pemicunya. Tim Kedeputian Pencegahan KPK menemukan adanya klaim pembayaran yang diajukan tak sesuai dengan layanan yang diberikan kepada pasien. Sistem verifikasi yang dimiliki BPJS Kesehatan juga dinilai lemah sehingga masih kecolongan soal data diagnosis pasien.
Ida Bagus Nyoman Banjar mengatakan pengajuan dokumen klaim sebenarnya tak bisa sembarangan. Semuanya didata berdasarkan sistem pengodean tersendiri sehingga jika ada pihak yang mencoba melakukan kecurangan, misalnya memasukkan data ganda, akan mudah terdeteksi. “Menjadikan dokumen layanan menjadi uang itu prosesnya panjang. Dari coding, grouping, lalu jadi nilai. Setelah itu ada proses verifikasi lagi,” ujarnya.
BPJS Kesehatan, kata Banjar, akan mengevaluasi permohonan tersebut sebelum meloloskan dokumen klaim. “BPJS itu badan yang dibangun pemerintah untuk mengelola dana kesehatan. Kalau keluarnya banyak, itu karena tagihannya banyak. Dicek saja, karena kami juga dicek BPK, BPKP, bener-enggak ada markup,” dia menambahkan.
Susi Setiawaty/arssipusat.org
Susi Setiawaty mengakui bahwa masalah pada pemasukan data memang perlu lebih diperhatikan. Kesalahan, dia menjelaskan, bisa jadi tidak disebabkan oleh faktor kesengajaan, tapi ketidaktahuan atas begitu banyaknya kode dalam sistem pelayanan. “Perlu diperiksa betul karena human error itu pasti ada,” ucapnya.
Kendati begitu, dia tak menampik kabar bahwa praktik penyalahgunaan seperti phantom billing bisa terjadi. “Kalau memang ada rumah sakit seperti itu, kerja samanya harus ditinjau lagi oleh BPJS,” tutur Susi.
Pada sisi lain, masalah modus menaikkan kelas rumah sakit agar mendapatkan pembayaran klaim lebih tinggi tidak berada di ranah pengelola. Penentuan kelas berada di tangan Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan. Namun, menurut Susi, masalah ini sebenarnya tuntas dibahas pada pertengahan 2019. “Kementerian sudah me-review kelas rumah sakit dan membuat beberapa kebijakan, misalnya sistem rujukan.”
AISHA SHAIDRA, RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo