Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIREKTUR Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris melihat putusan tersebut bisa menjadi momentum untuk mereformasi program Jaminan Kesehatan Nasional secara keseluruhan. Salah satu caranya adalah menyesuaikan layanan dengan dana yang ada. “Kualitas tidak dikurangi, (tapi) sesuai dengan dana yang dimiliki,” kata Fachmi, Rabu, 11 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan putusan MA ini, apakah iuran peserta mandiri akan kembali ke ketentuan sebelum dinaikkan?
Kalau memang betul pembatalan hanya untuk pekerja bukan penerima upah, akan beda jika dibandingkan dengan pembatalan semua (isi peraturan presiden). Akan kami hitung lagi proyeksi cash flow kami di 2020 ini. Berapa sebetulnya akan terjadi defisit, itu yang harus dihitung.
Kalau benar defisit akan meningkat, bagaimana rencana menambalnya?
Kalau kita bicara soal defisit BPJS, ada tiga pilihan atau campuran dari tiga pilihan. Pertama, iuran disesuaikan. Kedua, penyesuaian manfaat. Ketiga, dana tambahan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Kenaikan iuran sudah dilakukan, tapi kini justru dianulir….
Tentu kita kembali pada pilihan kedua, penyesuaian manfaat, atau ketiga, penyuntikan dana. Dengan kondisi fiskal pemerintah yang seperti ini, pilihan suntikan dana pasti berat. Kita juga harus mempertimbangkan jangka panjang. Prinsip program ini adalah gotong royong. Jadi tidak mungkin program ini semuanya mengandalkan pemerintah.
Sebetulnya pembatalan (kenaikan iuran) ini momentum juga. Pemerintah sudah bertanggung jawab terhadap rakyat miskin. Kemudian pemerintah ingin bergotong royong membantu mereka yang sakit tapi sebetulnya tidak masuk kelompok penerima bantuan iuran, dengan biaya yang terjangkau. Kalau opsi itu (kenaikan iuran) kemudian tidak bisa dijalankan dengan luwes, otomatis kita harus meninjau, kembali ke Undang-Undang Dasar, mendefinisikan apa itu kebutuhan dasar kesehatan. Penjaminan seperti apa yang bisa dipenuhi dengan uang yang dimiliki. Jadi based on budget.
Misalnya bagaimana?
Operasi katarak adalah kebutuhan dasar kesehatan. BPJS melihat tentu butuh penyesuaian, bukan pengurangan manfaat. Katarak diatasi dengan teknologi yang sesuai dengan kemampuan biaya. Intinya, tindakannya cukup untuk menjamin kebutuhan dasar terpenuhi. Ini akan kami bicarakan bersama dalam kondisi putusan MA ini. Kualitas tidak dikurangi, (tapi) sesuai dengan dana yang dimiliki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta BPJS Kesehatan transparan soal keuangan dan meningkatkan iuran peserta....
Pada saat beliau memerintahkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit penuh BPJS Kesehatan, sebagai orang yang diperiksa pasti kan bertanya, “Lho, ada apa nih?” Menteri Keuangan Sri Mulyani ingin memastikan, setelah dilakukan audit penuh, apa sih masalah mendasarnya? Oh, ada potensi fraud, ada pelanggaran regulasi tentang kelas rumah sakit yang, misalnya, seharusnya kelas C dibuat kelas B agar tagihan lebih besar. Itu menjadi temuan BPKP. Termasuk masalah kolektabilitas BPJS. Tapi, di luar tiga hal itu, kalau fraud dibuat nol, kalau penentuan kelas rumah sakit benar dan kolektabilitas BPJS bersih, ternyata masih ada defisit sekitar Rp 10,5 triliun pada 2018. Itu defisit riil di luar semuanya beres. Kolektabilitas ini harus didukung penegakan hukum. Angka sekarang, 60 persen, sudah bagus dalam konteks persuasif.
Sekarang belum ada penegakan hukum bagi yang menunggak iuran?
Belum ada. Kami mewacanakannya lewat prasyarat pelayanan publik. Seperti pembuatan surat izin mengemudi, surat tanda nomor kendaraan, atau apa pun yang ada kaitannya dengan layanan publik, bisa diberi persyaratan tidak menunggak iuran Jaminan Kesehatan Nasional.
Sudah berlaku?
Untuk peserta bukan penerima upah belum. Sudah disusun instruksi presidennya.
Apa langkah lain yang sudah dikerjakan BPJS Kesehatan setelah audit BPKP?
Pembersihan data sebanyak 2,7 juta peserta. Selain itu, persoalan kelas rumah sakit sedang berproses. BPKP meminta kami menagih kelebihan bayar. Ada juga tentang dana kapitasi. Ini dana sisa yang ada di fasilitas kesehatan pertama (pusat kesehatan masyarakat), diusulkan bisa dimanfaatkan dengan cara di-carry over. Nilainya sekitar Rp 3,5 triliun. Saat ini juga sedang disiapkan peraturan presiden untuk penggunaan dana tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo