Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Proyek FSRU Lampung menyebabkan PGN merugi bertahun-tahun.
FSRU Lampung tidak beroperasi optimal dan biayanya mahal.
Penyelidikan kasus FSRU Lampung sempat dihentikan Kejaksaan Agung.
SEPUCUK surat singgah ke meja Direktur Utama PT PGN LNG Indonesia (PLI) Nofrizal pada Selasa, 30 Mei lalu. Pengirimnya adalah Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN waktu itu, M. Haryo Yunianto. Dalam surat itu, PGN selaku pemegang saham PLI memerintahkan Nofrizal dan direksi PLI segera membereskan masalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan mengenai kerugian dalam proyek unit penyimpanan dan regasifikasi terapung atau floating storage regasification unit (FSRU) Lampung. “Agar direksi segera menindaklanjuti hasil temuan BPK tersebut sesuai dengan tata waktu,” kata Haryo dalam suratnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BPK mengidentifikasi operasi FSRU Lampung belum optimal. Akibatnya, pada 2020-2022, PGN merugi hingga US$ 131,27 juta atau sekitar Rp 1,97 triliun. BPK juga menyatakan ada kelemahan dalam klausul kontrak dan direksi PGN belum memitigasi risikonya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menanggapi temuan BPK tersebut, Haryo menginstruksikan Direktur Utama PLI membuat kajian internal dan eksternal lanjutan untuk menjadi basis restrukturisasi perjanjian sewa, operasi, dan pemeliharaan alias lease, operation, and maintenance (LOM) FSRU Lampung. PLI juga diperintahkan menegosiasikan kontrak LOM dengan Höegh LNG Ltd selaku pemilik kapal FSRU Lampung paling lambat pada triwulan keempat 2024.
Direktur Utama PT PGN LNG Indonesia (PLI), Nofrizal. pgnlng.co.id
FSRU Lampung adalah kapal yang memiliki fasilitas pengolah gas alam cair (LNG) untuk diubah menjadi gas bumi. Kapal ini dibuat oleh Hyundai Heavy Industries di galangan kapal Ulsan, Korea Selatan, pada 2012. Kapal tersebut selesai dua tahun kemudian dan mulai beroperasi di Labuhan Maringgai, Lampung. FSRU ini memiliki tangki penyimpanan LNG berkapasitas 170 ribu meter kubik dengan kemampuan regasifikasi maksimal 240 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).
Dalam proyek itu, PGN menggelontorkan dana hingga US$ 250 juta atau sekitar Rp 2,88 triliun pada 2012 dan Rp 3,75 triliun jika memakai kurs saat ini. Duit ini antara lain digunakan untuk membayar sewa kapal milik Höegh, perusahaan asal Norwegia, dengan masa pakai 20 tahun.
Semula FSRU ini akan dipasang di Belawan, Medan, untuk memenuhi kebutuhan gas industri di Sumatera Utara dan sekitarnya. PGN menggagas pembangunannya sejak 2010 dan meneken perjanjian LOM dengan Höegh pada 25 Januari 2012. Namun, pada Maret 2012, Dahlan Iskan yang saat itu menjabat Menteri Badan Usaha Milik Negara memutuskan pasokan gas untuk Sumatera Utara dan Aceh didatangkan dari kilang LNG Arun. Kilang ini diubah fungsinya dari penghasil LNG menjadi fasilitas regasifikasi, yang mengubah LNG menjadi gas bumi.
FSRU milik PGN kemudian dipindahkan ke Lampung untuk mengisi kebutuhan industri di kawasan itu serta di Jawa bagian barat. PGN lantas mengubah perjanjian dengan Höegh melalui amended and restated lease, operation, and maintenance agreement pada 17 Oktober 2012. Höegh menovasikan perjanjian ini kepada PT Höegh LNG Lampung pada September 2013, sementara PGN menovasikannya kepada PLI pada Februari 2014. Perjanjian ini pun menjadi ikatan kerja sama antara Höegh LNG Lampung dan PLI.
Setelah kontrak ini terbuhul, PLI mengoperasikan FSRU Lampung dengan mengolah LNG dari Kilang Tangguh, Papua. Pada September 2014, PLI mengalirkan gas sebanyak 40,5 MMSCFD ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Tawar di Bekasi, Jawa Barat. Namun kontrak jual-beli gas seharga US$ 18 per juta metrik British thermal unit (MMBTU)itu tidak dilanjutkan pada Januari 2015. PLN meminta renegosiasi karena harga gas itu terlalu mahal.
Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Lampung yang dikelola PGN menerima pengiriman LNG dari kilang LNG Tangguh Papua di perairan Labuan Maringgai, Lampung, April 2016. Dok.PGN
Manajemen PGN yang baru, di bawah kepemimpinan Direktur Utama Arief Setiawan Handoko, tak bersedia menjelaskan kasus FSRU Lampung. Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama juga tak menanggapi pertanyaan Tempo. Hanya komisaris PLI, Junaidi Elvis, yang menjawab bahwa manajemen sedang berdiskusi untuk mencari solusi terbaik. “Perlu kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini,” ujarnya pada Kamis, 20 Juli lalu.
•••
MASALAH FSRU Lampung menjadi satu dari empat temuan signifikan dalam laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap pengelolaan, biaya, dan investasi PGN periode 2017-semester I 2022. Lembaga auditor negara itu pun merekomendasikan manajemen PGN berkoordinasi dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara untuk melaporkan hal ini kepada penegak hukum.
Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan Kementerian BUMN Carlo Brix Tewu memastikan rekomendasi BPK sudah diteruskan ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI untuk ditindaklanjuti. “Tidak lama setelah rekomendasi BPK diterima,” ucapnya pada Jumat, 21 Juli lalu.
BPK juga telah mengirim segepok hasil audit ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, tak lama setelah laporan dirilis pada April lalu. “Sudah (melaporkan ke KPK),” tutur Hendra Susanto, Anggota BPK VII yang membidangi masalah ini, pada Kamis, 20 Juli lalu. Hendra tak bersedia menjelaskan lebih lanjut. Namun laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada semester II 2022 ini menyimpulkan bahwa pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi PGN belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan kriteria.
Selain mendapati pengoperasian proyek yang tidak optimal, BPK menemukan klausul kontrak yang lemah dalam proyek FSRU Lampung. Kontrak ini mewajibkan PGN membayar harga sewa untuk kapasitas maksimal 27 kargo per tahun, meski kenyataannya kapasitas itu tidak tercapai. Faktanya, realisasi volume regasifikasi hanya 10-15 persen dari kapasitas maksimal. Akibatnya, selama 2020-2022 proyek ini membukukan rugi operasi US$ 131,27 juta atau Rp 1,97 triliun. Kerugian muncul karena pendapatan yang diterima sangat kecil jika dibandingkan dengan biaya operasional akibat klausul kontrak yang melemahkan posisi PGN.
Masalah ini pun masuk ke meja Kejaksaan Agung. Organisasi masyarakat sipil Energy Watch Indonesia melaporkan kerugian PGN pada Mei 2015. Sejumlah petinggi PGN saat itu dipanggil Kejaksaan Agung. Mereka antara lain Hendi Prio Santoso selaku Direktur Utama, Wahid Sutopo yang saat itu menjabat Direktur Perencanaan dan Manajemen Risiko, Jobi Triananda sebagai Direktur Pengusahaan, serta M. Riza Pahlevi yang menduduki posisi Direktur Keuangan.
Pada April 2016, Kejaksaan Agung mencegah Hendi bepergian ke luar negeri untuk menghindari kemungkinan dia menghilangkan barang bukti. Saat itu Kejaksaan Agung meningkatkan tahap penanganan kasus ini dari penyelidikan ke penyidikan, meski belum ada tersangka. Namun, setahun kemudian, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tidak Pidana Khusus menghentikan penyidikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan Nomor Print-31/F.2/04/2017 tertanggal 26 April 2017. Kejaksaan menyimpulkan kasus ini bukan tindak pidana, meski bila di kemudian hari ada alat bukti bisa saja disidik kembali.
Penghentian penyidikan itu terungkap dalam sidang gugatan praperadilan yang diajukan Jaringan Advokasi Rakyat Indonesia (JARI) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 31 Januari 2019. Saat itu JARI menilai Kejaksaan Agung menghentikan penyidikan dengan proses yang cacat formil dan materiil. Kejaksaan belum mendapatkan keterangan ahli atau hasil audit BPK ataupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Saat dimintai tanggapan pada Sabtu, 22 Juli lalu, Hendi Prio Santoso mengatakan PGN saat itu hanya melaksanakan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2011 tentang pembangunan terminal penerima terapung LNG untuk penyediaan listrik dan urgensi kebutuhan pasokan gas. “Untuk perkembangan status FSRU saat ini, dapat menghubungi pihak PGN,” ujar Hendi, yang kini menjabat Direktur Utama Mind Id.
Tempo menerima tanggapan dari manajemen PGN pada Senin 24 Juli 2023. Sekretaris Perusahaan PGN, Rachmat Utama, mengatakan keputusan pembangunan proyek infrastruktur gas bumi dan investasi yang dilakukan oleh perusahaan di setiap periode telah melalui proses kajian yang matang secara internal, dengan
melibatkan lembaga-lembaga terkait yang independen dan kredibel di dunia.
Menurut dia setiap keputusan strategis perusahaan, termasuk diantaranya pembangunan proyek infrastruktur gas bumi dan investasi di sektor minyak dan gas, telah dilaporkan dan mendapatkan persetujuan dari para pemegang saham. "Baik melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) ataupun Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), jika dibutuhkan," kata dia dalam keterangan tertulis. Rachmat mengatakan saat ini, manajemen PGN telah berupaya optimal dalam melaksanakan mitigasi risiko dari setiap proses dan keputusan bisnis yang sudah berjalan. Dengan prinsip kehati-hatian namun juga di sisi lain dituntut untuk akseleratif sesuai dinamika bisnis dan kondisi perekonomian yang berjalan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Khairul Anam berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bisnis Buntung Terminal Terapung"