Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Keras Kepala Melawan Pasar

Pemerintah berkukuh memaksakan harga minyak goreng dan bahan bakar minyak murah. Kebijakan sia-sia melawan pasar demi popularitas.

2 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pandangan keliru yang terus dipelihara oleh pemerintah lintas zaman.

  • Hukum besi pasar akan selalu berlaku.

  • Salah pilih mencegah kelangkaan atau melawan inflasi.

BANYAK orang Indonesia punya pandangan keliru tentang harga komoditas di pasar. Masyarakat umumnya berpendapat pemerintah harus selalu bisa mengatur harga. Dan pemerintah, mungkin karena takut kehilangan popularitas, terperosok mengikuti pendapat keliru itu. Muncullah berbagai keputusan mengatur-atur harga yang sering sia-sia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harga barang, terutama yang sudah menjadi komoditas perdagangan global, tak mungkin semata-mata tunduk pada keputusan pemerintah. Dampak gejolak harga di pasar dunia pasti merambat hingga ke sudut terpencil di Indonesia. Jika pemerintah tetap memaksakan intervensi pasar, konsekuensi yang kerap terjadi adalah barang itu hilang dari pasar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayangnya, kebebalan melawan pasar ini berulang dari zaman ke zaman. Masyarakat tak pernah mau menerima logika ekonomi pasar paling mendasar, meski pada kenyataannya ekonomi Indonesia berjalan dengan prinsip pasar bebas. Selalu ada ilusi bahwa pemerintah harus mampu menjamin harga barang-barang serba murah, apa pun kondisinya.

Pemerintah pun demikian, tak pernah belajar, selalu mengulangi kekeliruan. Popularitas selalu lebih penting. Tak pernah ada upaya konsisten memberikan edukasi kepada khalayak luas bahwa pemerintah punya keterbatasan dan tak mungkin habis-habisan melawan pasar, apalagi pasar global. Mengatasi gejolak harga lewat peraturan atau mengobral subsidi, misalnya, ibarat menggarami lautan.

Tengoklah cara pemerintah meredam gejolak harga minyak goreng beberapa bulan terakhir. Pemerintah tetap memaksakan berlakunya harga eceran tertinggi. Padahal di luar sana pasar minyak pangan sedunia sedang guncang. Invasi Rusia ke Ukraina kian melambungkan harga minyak sawit yang sebelumnya melonjak karena kenaikan permintaan sejalan dengan pemulihan ekonomi di dunia setelah wabah Covid-19 mereda.

Bisa ditebak, memaksakan harga murah hanya akan membuat barang hilang. Antrean muncul di mana-mana. Muncul pasar gelap. Pedagang takut serba salah. Menjual minyak goreng seturut harga paksaan pemerintah hanya bikin rugi. Jika tak mau menjual stok minyak goreng pun tetap salah, bisa-bisa dituding sebagai penimbun. Setelah menambal-sulam kebijakan, pemerintah mencabut ketentuan harga eceran tertinggi untuk minyak goreng dalam kemasan. Tapi ini kebijakan tanggung lantaran harga minyak goreng curah masih dipatok Rp 14 ribu per liter.

Pelajaran dari masalah minyak goreng belum berlalu, pemerintah kembali membuat kekeliruan. Ketika harga minyak dunia sudah melonjak sangat tinggi, pemerintah hanya membolehkan PT Pertamina (Persero) menaikkan harga Pertamax per 1 April 2022.

Seperti kebijakan harga minyak goreng, kebijakan ini setengah hati, tak menyelesaikan masalah. Pertama, Pertamina tetap merugi sekitar Rp 3.500 per liter meski harga Pertamax sudah naik. Kedua, konsumen justru akan beralih ke bahan bakar yang lebih murah, seperti Pertalite. Jika konsumsi Pertalite melonjak, otomatis kerugian Pertamina akan makin besar. Alih-alih mengurangi kerugian Pertamina secara signifikan, kenaikan harga Pertamax justru menimbulkan masalah baru.

Harga solar juga tak berubah. Tentu kisah solar tak akan berbeda dengan cerita minyak goreng dalam kemasan. Sekali lagi, ini hukum besi pasar. Ketika pemerintah memaksakan harga barang yang lebih rendah daripada harga pasar, barang itu akan hilang. Pemerintah memilih risiko terjadi kelangkaan solar ketimbang inflasi. Padahal kelangkaan sebetulnya risiko yang lebih besar karena ketiadaan bahan bakar bisa memacetkan roda ekonomi. Belum lagi risiko muncul keresahan sosial yang bisa berdampak lebih luas. Popularitas pemerintah juga pasti rontok jika untuk membeli solar saja orang harus antre lama.

Inflasi, yang kini merebak secara global karena perang, adalah keniscayaan. Percuma saja pemerintah melawannya. Ada berbagai opsi kebijakan lain untuk meredam dampak inflasi, bukan melawan inflasi itu sendiri dengan cara main paksa menurunkan harga. Orang-orang pintar yang kini membantu presiden tentunya paham akan berbagai pilihan kebijakan itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus