Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak masyarakat banyak berkeluh-kesah tentang kenaikan harga tiket pesawat, komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Guntur Saragih, menaruh perhatian pada industri penerbangan. Maka, setelah dikaji selama beberapa pekan, dugaan praktik persaingan usaha tidak sehat dalam industri penerbangan masuk ke tahap penyelidikan sejak pertengahan Februari lalu. “Kami merespons keluhan masyarakat,” kata Guntur, Jumat pekan lalu.
Menurut dia, ada beberapa hal yang berpotensi melanggar aturan. KPPU mengurainya menjadi tiga bagian: kenaikan harga tiket pesawat, biaya kargo, serta silang kepengurusan di maskapai Garuda Indonesia-Sriwijaya. Lembaga antimonopoli ini juga menelisik kemungkinan terjadinya penyalahgunaan penjualan avtur oleh PT Pertamina (Persero). “Karena pasar avtur di domestik memang masih monopoli,” ujar Guntur.
Persoalan kenaikan tarif tiket pesawat memang masih menjadi sorotan. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meminta maskapai menurunkan harga tiket pesawat, terutama menjelang masa mudik Lebaran. Imbauan serupa pernah dikeluarkan pertengahan Januari lalu, saat harga tiket tetap melambung meski musim liburan telah usai. “Saya hanya bisa mengimbau karena sudah mendekati Lebaran,” katanya di Jakarta, Ahad dua pekan lalu.
Pemerintah menilai perusahaan tak melanggar aturan mengenai tarif tiket. Menurut Budi, maskapai penerbangan memang boleh menentukan harga tiket sendiri asalkan tak melanggar aturan batas atas dan bawah. Namun perusahaan diminta mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat luas. “Boleh berbisnis, tapi harus sensitif terhadap kemampuan masyarakat.”
KPPU mulai mengkaji polemik tiket pesawat sejak harganya melambung pada musim liburan akhir 2018 hingga awal 2019. Topik itu ramai diperbincangkan warganet di media sosial. Salah satunya melalui petisi “Turunkan harga tiket pesawat domestik Indonesia” yang diunggah di situs Change.org pada 20 Desember 2018. Hingga Jumat pekan lalu, petisi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo itu telah mendapat lebih dari 373.600 tanda tangan.
Komisioner KPPU, Kodrat Wibowo, mengungkapkan bahwa timnya telah memanggil dan meminta keterangan sejumlah pelaku bisnis penerbangan, seperti Garuda Indonesia, Lion Air, serta Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA). KPPU juga meminta penjelasan dari beberapa agen penjual tiket.
Menurut Kodrat, Garuda dan pengurus INACA hadir memenuhi undangan KPPU. Sedangkan Lion mengirim surat yang menyatakan perusahaan menyerahkan urusan ini kepada INACA. Intinya, Kodrat menambahkan, para pebisnis menyatakan tidak sengaja menaikkan harga pada waktu yang bersamaan. “Ada pemain besar yang mendahului menaikkan harga, kemudian ada pemain lain yang mengikuti. Itu semikartel dalam ekonomi,” ucapnya.
Konsolidasi di Tengah Kompetisi
KPPU juga mengendus potensi pelanggaran dalam silang kepengurusan. Setelah penggabungan operasi Sriwijaya Air dengan Grup Garuda Indonesia, akhir tahun lalu, Garuda menempatkan beberapa pejabatnya dalam manajemen Sriwijaya. Direktur Utama Garuda I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra, misalnya, menjabat Komisaris Utama Sriwijaya. Selain itu, Direktur Niaga Garuda Pikri Ilham Kurniansyah menempati kursi komisaris Sriwijaya.
Jajaran direksi maskapai berkode IATA SJ itu juga diramaikan pejabat Garuda. Direktur utamanya, misalnya, adalah Joseph Adrian Saul, yang sebelumnya menempati posisi General Manager Garuda Indonesia di Denpasar. Adapun Direktur Niaga -Joseph Dajoe K. Tendean sebelumnya adalah Senior Manager Ancillary Garuda Indonesia. KPPU menilai silang kepengurusan itu memunculkan potensi dominan.
Rangkap jabatan tersebut dinilai menabrak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 26 undang-undang itu menyebutkan seseorang yang menduduki jabatan sebagai direktur atau komisaris suatu perusahaan pada waktu bersamaan dilarang merangkap menjadi direktur atau komisaris perusahaan lain. Apalagi bila perusahaan-perusahaan tersebut berada dalam pasar yang sama atau bergerak di bidang atau jenis usaha yang berkaitan, serta secara bersama dapat menguasai pangsa pasar yang bisa mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Juru bicara Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan, tak menampik pandangan bahwa harga tiket maskapai pelat merah ini mahal. Alasannya: produk perusahaan berbeda dengan yang lain. “Kami full service sehingga harganya memang moderat di atas,” tuturnya. Posisi maskapai yang memimpin pasar, dia menambahkan, juga cenderung membuat perusahaan lain mengikuti kenaikan harga tiket.
Adapun pengambilalihan operasi Sriwijaya—termasuk NAM Air—oleh Grup Garuda melalui kerja sama operasi (KSO) dilakukan karena utang maskapai swasta itu mencapai Rp 355 miliar. “Kami berkepentingan mengamankan agar Sriwijaya mempunyai kemampuan membayar utang,” ujarnya. Itu sebabnya maskapai penerbangan pelat merah ini menaruh beberapa orang di jajaran direksi dan komisaris Sriwijaya.
KPPU juga mengendus potensi pelanggaran dalam silang kepengurusan. Setelah penggabungan operasi Sriwijaya Air dengan Grup Garuda Indonesia, akhir tahun lalu, Garuda menempatkan beberapa pejabatnya dalam manajemen Sriwijaya.
Ikhsan menambahkan, kebijakan KSO itu, selain telah disetujui pemegang saham, yakni Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, sudah disampaikan kepada Kementerian Perhubungan. Ia menyebutkan, setelah konsolidasi itu, pangsa pasar Grup Garuda masih di bawah 50 persen. “Jadi tidak menguasai pasar juga,” katanya.
Adapun juru bicara Lion Air, Danang Mandala Prihantoro, menolak menjelaskan polemik kenaikan harga tiket. “Tentang itu saya belum bisa memberikan info,” ujarnya singkat. “Jika ada perkembangan lebih lanjut, akan kami kabari.”
KENAIKAN harga tiket, plus bagasi penumpang, rupanya berimbas pada jumlah penumpang penerbangan domestik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang penumpang pesawat domestik, Jumat pekan lalu, mencatat terjadinya penurunan jumlah penumpang secara signifikan di lima bandar udara utama. Kelima bandara itu adalah Polonia dan Kualanamu di Medan, Sumatera Utara; Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten; Juanda di Surabaya; I Gusti Ngurah Rai di Bali; dan Hasanuddin di Makassar.
Dalam empat bulan terakhir, BPS mencatat jumlah penumpang penerbangan domestik berkurang 1,45 juta orang. Pada Oktober 2018, penumpang masih mencapai 8,11 juta. Tapi angka itu terus menyusut menjadi 7,93 juta pada Desember 2018, dan tinggal 6,66 juta pada Januari 2019. Akibatnya, jumlah penerbangan pun berkurang. Penurunan terbesar terjadi di Bandara Soekarno-Hatta, yang mencapai 24,6 persen.
Berdasarkan data satu bulan terakhir, penurunan penumpang paling banyak juga terjadi di Bandara Soekarno-Hatta, yang mencapai 23,3 persen. Jumlah penumpang yang pada Desember 2018 tercatat 1,8 juta turun menjadi 1,4 juta pada Januari 2019. Posisi kedua ditempati Bandara Juanda, yang jumlah penumpangnya merosot 12,7 persen, disusul Bandara Ngurah Rai sebesar 9,8 persen.
Deputi Kepala BPS Yunita Rusanti mengatakan penurunan jumlah penumpang terjadi karena kenaikan harga tiket pesawat dan kebijakan bagasi berbayar. Lion Air Group mulai memungut biaya bagasi untuk penerbangan menggunakan Lion Air dan Wings Air per 8 Januari 2019. Penumpang maskapai tersebut hanya diperbolehkan membawa barang maksimal 7 kilogram di kabin.
Ombudsman Republik Indonesia, dalam kajiannya, juga mengidentifikasi lesunya sektor penerbangan. Komisioner Ombuds-man, Alvin Lie, mengatakan angkutan udara bukanlah industri yang fleksibel. Artinya, tak mudah menambah atau mengurangi jumlah pesawat. “Menambah pesawat butuh dua-tiga tahun untuk order. Untuk perizinan, harus memasukkan rencana bisnis lima-sepuluh tahun.”
Menurut dia, masalah muncul ketika terjadi deviasi kondisi pasar yang melenceng dari prediksi. Maskapai tidak bisa serta-merta berubah menyesuaikan dengan keadaan. Bila permintaan mendadak naik, perusahaan masih bisa menyewa armada. Yang membuat celaka adalah ketika kondisi mendadak sepi. Maskapai memang bisa mengajukan dispensasi tidak menerbangi rute tersebut selama 30 hari. Masalahnya, pesawat-pesawat yang telanjur didatangkan membawa beban biaya leasing dan ongkos pemeliharaan.
Alvin menjelaskan, Ombudsman tengah mengkaji alasan kenaikan harga tiket dari aspek efisiensi perusahaan. Lembaga ini memang berwenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik oleh penyelenggara negara, termasuk oleh BUMN. Selama ini maskapai menyatakan penyebabnya adalah biaya operasi, terutama avtur dan nilai tukar rupiah. “Kami sudah memanggil Pertamina. Mereka bisa menunjukkan bahwa tren harga avtur justru menurun,” kata Alvin.
Menurut juru bicara PT Pertamina (Persero), Arya Paramita, tren penurunan harga avtur terjadi sejak November 2018. Perusahaan minyak dan gas milik negara itu kembali merevisi harga pada pertengahan bulan lalu. Per 16 Februari 2019, harga avtur non-kontrak jangka panjang (published rate) di Bandara Soekarno-Hatta dikoreksi dari Rp 8.210 menjadi Rp 7.960 per liter.
Maskapai pun mulai menurunkan harga tiket. Kelompok usaha Garuda Indonesia mengklaim telah mengoreksi tarif semua rute penerbangan sebesar 20 persen per 14 Februari 2019. Kebijakan ini berlaku untuk semua maskapai di bawah naungan perusahaan, yakni Garuda Indonesia, Citilink Indonesia, Sriwijaya Air, dan NAM Air.
Tapi proses di KPPU terus berlanjut. Kodrat Wibowo mengatakan, pada tahap penyelidikan, KPPU akan memanggil kembali para pelaku industri. Meski harga mulai dikoreksi, KPPU melihat kecenderungan maskapai memberikan porsi penjualan tiket lebih banyak di kelas atas dari setiap kelompok ekonomi dan bisnis.
RETNO SULISTYOWATI, PUTRI ADITYOWATI, TAUFIQ SIDDIQ, FAJAR PEBRIANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo